MALANG, Tugumalang.id – 17 Agustus menjadi momentum untuk memperingati jasa para pahlawan yang telah gugur demi kemerdekaan Indonesia. Dari sekian banyak pahlawan yang gugur, ada juga para veteran yang masih hidup hingga saat ini.
Salah satunya adalah Soetarjo, pejuang asal Solo yang kini hidup di Malang, Jawa Timur, persisnya di Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.
Pria itu sudah berusia 99 tahun. Namun raganya masih tampak bugar meski sejumlah inderanya seperti mata dan telinga mulai tak berfungsi.
Baca Juga: Pahlawan Nasional Mohammad Tabrani, Wartawan Asal Madura yang Gagas Bahasa Indonesia jadi Bahasa Nasional
Tugumalang.id berkesempatan mengulik kisah-kisah perjuangan kemerdekaan 79 tahun silam. Soetarjo sendiri adalah pejuang gerilyawan yang merasakan situasi mencekam di beberapa periode perjuangan kemerdekaan.

Mulai era Agresi Militer Belanda 1 tanggal 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947 dan Agresi Militer Belanda 2 tanggal 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949. Dalam situasi itu, Soetarjo merasakan bagaimana mencekamnya situasi karena Belanda masih terus merongrong negeri.
Mulanya, Soetarjo adalah anak muda biasa. Namun, dua kakaknya merupakan tentara pejuang. Bahkan, kakak keduanya gugur saat terjadi perang di Semarang pada 1947. Sejak itu, anak ketiga dari enam bersaudara ini memutuskan untuk ikut dalam barisan perjuangan kemerdekaan.
Baca Juga: Abdul Manan Wijaya, Pahlawan Nasional Asli Malang yang Ahli Strategi Perang
Ia kemudian menempuh pendidikan sebagai calon prajurit Keraton Solo pada 1945. Kemudian, setelah kakak keduanya gugur pada 1946, ia memutuskan untuk ikut dalam barisan pasukan gerilyawan dan ditempatkan di Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri.
”Saya sendiri terinspirasi dari kakak kedua saya yang gugur. Namanya Soedijono yang kini dimakamkan di TMP Solo. Saya ingat, dia punya semboyan sendiri, yaitu ‘Berani Membunuh, Berani Dibunuh.’,” kisah Soetarjo pada Tugumalang.id , Jumat (23/8/2024).
Soetarjo mengisahkan, selama masa perang kemerdekaan itu, dirinya kerap melakoni taktik perang gerilya di malam hari. Ia bermarkas selama 2 tahun di Pemerintahan Militer Kecamatan (Koramil, red) Sidoharjo.
Pria dari 5 anak dan 6 cucu ini mengisahkan, dirinya kerap kali tertangkap oleh Tentara Belanda. Ini lantaran tugas yang diemban kepadanya untuk memata-matai pergerakan tentara Belanda di wilayah Kota Solo.
”Kira-kira empat kali saya tertangkap. Saya dipukuli, dipopor sama senjata. Tapi mereka tidak bisa membuktikan bahwa saya adalah mata-mata (intel). Akhirnya bisa lepas dan kembali ke markas,” kata dia.
Selama masa itu pula, kisahnya, ia mengalami ikut perang sebanyak 2 kali saat agresi militer 1 dan 2. Namun jangan dikira pasukan melakukan gencatan senjata, melainkan menjalankan taktik perang gerilya di wilayah hutan-hutan dan pedalaman.
”Jelas kita pakai taktik gerilya, pasukan kita kurang, senjata kita juga kurang. Saat gerilya itu ya kita pakai senjata seadanya. Ada pun, itu hasil rampasan saat menghadang tentara Belanda,” ujarnya.
Soetarjo sendiri baru benar-benar bisa merasakan kemerdekaan usai Agresi Militer Belanda 2 berakhir pada 5 Januari 1949. Hingga kemudian, ia berpindah ke Malang untuk mencari pekerjaan dan akhirnya tinggal di Kota Dingin ini hingga di usia senjanya kini.
Di usia Indonesia yang ke-79, Soetarjo berpesan kepada generasi muda untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa. Tentu dengan jalan yang berbeda, bukan lagi gencatan senjata. Melainkan gencatan pemikiran dan ilmu pengetahuan.
”Tugas anak muda sekarang itu sudah bukan lagi perang senjata. Tapi memerangi kebodohan dan kemiskinan. Lewat pendidikan,” pesannya.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A