Tugumalang.id – Siapapun yang melewati kawasan Songgoriti pasti tidak asing dengan mereka, para ojek vila. Para pria baik muda maupun tua duduk-duduk di atas sepeda motornya. Jika kita lewat, mereka akan spontan mendatangi bahkan tak segan mengejar kita untuk menawarkan vila atau penginapan.
Pemandangan itu bukan hal yang asing dan bahkan sudah berlangsung sejak sekitar medio 80-90an silam. Mereka merupakan pramuwisata Songgoriti yang lebih dikenal dengan julukan ‘Ojek Vila’. Bahkan, hal itu seolah menjadi kearifan lokal tersendiri kawasan Songgoriti yang tiada duanya.
”Vila vila vila,” begitu kata para Ojek Vila sembari mengendarai motor menjejeri pengendara. Beberapa memilih nongkrong di depan vila mereka atau di gang-gang untuk menawarkan vila atau kamar kepada pengendara yang lewat.
Baca Juga: Menolak Mati, Menanti Realisasi Aplikasi Info Vila Songgoriti
Namun, seiring perkembangan zaman, popularitas Songgoriti sebagai kawasan wisata legendaris di Malang Raya perlahan mulai meredup. Teknik promosi gaya lama warga Songgoriti ini sudah tak lagi mampu mengerek perekonomian mereka seperti dulu lagi.
Seperti diakui salah satu pelaku Sugiono (74) yang sudah melakoni profesi ini puluhan tahun. Bahkan pria yang dikenal dengan nama Mbah Kacong ini menjadi salah satu tokoh sesepuh di Songgoriti. Menurut dia, hanya profesi ini yang bisa dilakukan warga.
“Bedanya Songgoriti sama kawasan lain ini kan mereka gak punya sawah, enggak punya kebun, tapi punyanya vila. Ya praktis sumber pemasukannya ya dari sektor ini saja,” terang Sugiono pada reporter Tugumalang.id, Jumat (3/3/2023).
Awal Mula Wisata Songgoriti
Wisata di Songgoriti sendiri sudah populer sejak 1980-an. Bermula dari penawaran insidental, jasa penginapan di Songgoriti mulai dikenal saat hotel di Songgoriti kebanjiran tamu. Hingga kemudian warga berinisiatif menawarkan tamu tersebut menginap di rumahnya.
Uniknya, para pramuwisata ini juga pernah melakoni aktivitas mereka dengan sepeda ontel. Tidak seperti sekarang yang menggunakan sepeda motor. “Dulu awalnya ya jalan kaki, nunggu di gerbang depan. Lalu tahun 1990-an itu pakai sepeda ontel juga,” kisahnya.
Lama-kelamaan, banyak wisatawan yang tertarik dan semakin banyak rumah-rumah warga yang disewakan.
“Dari hanya dua rumah (vila, red), lama-kelamaan semakin banyak rumah warga disewakan. Sampai dibentuk paguyuban dan berkembang hingga menjadi yang disebut ojek vila seperti saat ini,” jelasnya.
Profesi ini menurut Sugiono bukan hanya sekedar makelar, karena itu disebut pramuwisata. Karena selain menawarkan jasa, mereka juga mengantar tamu hingga ke vila. Karena terkadang, banyak tamu yang tersesat tidak menemukan vila yang mereka tuju.
Di situlah mereka mendapat ‘persenan’ atau profit dari pemilik vila. Dulu, ketika masih ramai-ramainya pada medio 1998-2014, penghasilan para tukang ojek vila ini bisa mencapai Rp500 ribu dalam sehari.
Namun, penurunan mulai kentara pada 2015-an. Seiring dengan perkembangan pesat pariwisata Kota Batu. Hotel-hotel menjamur, begitu juga pilihan destinasi wisatanya. Wisatawan mendapat banyak opsi tempat menginap, selain di Songgoriti.
Pamor mereka semakin meredup sejak ada aplikasi jasa penginapan. Mereka dihadapkan dengan strategi perang harga yang ditabuh pengusaha hotel hingga vendor aplikasi penyedia jasa penginapan.
Ketua Paguyuban Vila Songgoriti, Indra Tri Ariyono menjelaskan, persaingan harga dengan hotel-hotel sekitar. Misal, ketika harga tertinggi vila-vila di Songgoriti mencapai Rp150 ribu, tapi hotel-hotel menawarkan promo hingga Rp200 ribu.
Jawabnya, sudah jelas pengusaha vila akan kalah secara fasilitas. Dalam situasi ini, pengusaha merasakan dilema karena mereka juga menghadapi persoalan biaya operasional vila yang tinggi.
”Mau atau tidak, kita memang kalah saing dengan hotel-hotel dan vendor penginapan dengan strategi perang atau banting harga habis-habisan. Di situlah kami angkat tangan,” paparnya.
Hanya saja, sebagian besar masyarakat masih tetap memilih bertahan dengan kondisi yang ada. Total ada 324 vila di Songgoriti yang masih beroperasi hingga saat ini. Hanya saja, tingkat okupansinya memang mulai meredup dari tahun ke tahun.
”Saat ini di akhir pekan tingkat okupansi kita mentok sampai 60-70 persen. Kalau dulu di masa kejayaan kami ya bisa sampai 100 persen lebih,” tuturnya.
Hidup Segan, Mati Tak Mau
Salah satu hal yang bisa dilakukan warga Songgoriti hingga saat ini hanyalah bertahan. Hanya dari situ, mereka dapat berpenghasilan, meski minim. Di lain waktu, mereka terpaksa bekerja serabutan. Bahkan, tak sedikit dari mereka mendapat blacklist pinjaman dari bank.
Mereka berharap Pemerintah Kota Batu bisa serius membantu untuk kembali mengenalkan pesona Songgoriti. Mereka tak hanya ingin sekedar bantuan. Namun, tindakan nyata untuk mengembalikan kejayaan Songgoriti.
“Sebenarnya gampang buat meramaikan. Harus ada semacam ‘magnet’ untuk menarik wisatawan. Bisa ada taman hiburan, kegiatan seni budaya digalakkan lagi. Tapi sejauh ini yang kami lihat hanya sebatas seremonial saja,” ungkap Mbah Kacong.
“Kalau adem ayem aja kayak gini mana bisa ramai. Sampai ada anggapan, Ngapain ke Songgoriti? Mau lihat hutan,” imbuhnya.
Menanti Realisasi Aplikasi Info Vila
Rencana Pemerintah Kota Batu menyiapkan aplikasi informasi vila menjadi langkah yang ditunggu-tunggu warga, khususnya di kawasan Songgoriti. Aplikasi ini menjadi solusi agar kawasan wisata legendaris itu kembali berjaya.
Dengan adanya aplikasi pendukung tersebut akan semakin memudahkan wisatawan untuk memilih alternatif penginapan, selain di hotel. Tak hanya itu, wisatawan juga dimudahkan karena bisa memesan vila dalam satu genggaman (gadget, red).
Ketua Paguyuban Vila Songgoriti, Indra Tri Ariyono menyambut baik rencana itu. Bahkan, langkah kongkrit seperti itulah yang ditunggu-tunggu warga dan pengusaha vila.
”Terus terang, rencana aplikasi info vila itu adalah rencana yang sudah kami tunggu-tunggu. Semoga bisa segera direalisasikan,” ungkap Indra.
Hanya saja, sejak wacana itu bergulir, sambung Indra, hingga saat ini belum ada pertemuan dan komunikasi lebih lanjut dengan dinas terkait. Sebab itu, pihaknya sendiri juga belum bisa berkomentar lebih jauh.
Terpenting, kehadiran aplikasi itu tidak serta merta menghilangkan kearifan lokal yang sudah ada. Misal, seperti jasa ojek vila atau pramuwisata yang membuat kawasan tersebut dikenal.
”Di mana itu sudah menjadi kearifan lokal dan ciri khas tersendiri dari Songgoriti sendiri. Tapi saya kira misal nanti memang ada aplikasi itu mereka masih bisa tetap aktif,” timpalnya.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A