Tugumalang.id – Ruangan terapi hemodialisa atau cuci darah di RS Umum Persada Hospital Kota Malang malam itu tampak sunyi. Di ruangan serba putih itu hanya didominasi suara dari mesin dialisis dan helaan nafas para pasien sesekali.
Begitu masuk ke dalam, suasana kemurungan lebih terasa menggelayuti raut wajah para penyintas gagal ginjal di sana. Ada pasien yang memilih tidur, ada juga yang menatap langit-langit dengan mata menerawang.
Namun, raut berbeda tampak dari wajah salah satu penyintas di Bed 17. Dibanding pasien lainnya, pria berkacamata itu tampak paling santai. Sembari berbaring, ia rupanya tengah menonton film di gawainya. “Ya, dibuat asyik saja,” ujarnya ditemui pada Selasa (29/8/2023).
Baca Juga: Sempat Dapat Penghargaan UHC, Kabupaten Malang Nonaktifkan 679 Ribu Penerima BPJS Kesehatan
Namanya Nedi Putra Arja Wiradi (54), divonis gagal ginjal kronis pada 2019 lalu. Vonis penyakit katastropik stadium 5 membuat jurnalis di Kota Malang itu menjalani terapi cuci darah seumur hidup.
Banyak orang bilang, kata Nedi, menjalani cuci darah itu seperti bertemu dengan maut. ”Secara fisik kita melemah. Secara ekonomi, kita dikuras habis. Begitu dengar vonis itu, di pikiran saya, dunia serasa runtuh,” ungkapnya.
Dalam seminggu, Nedi harus cuci darah dua kali. Jika merogoh kocek pribadi, biayanya mencapai Rp 1,1 juta sekali terapi, belum termasuk obat-obatnya. Meski sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan sejak 2016, Nedi tak bisa memanfaatkannya langsung.
Pasalnya, saat itu ada masalah administratif rujukan hemodialisa sehingga dalam pengurusannya butuh waktu. Nedi terpaksa mengakses layanan cuci darah dengan biaya mandiri. Padahal, saat itu dia baru saja di-PHK oleh media tempatnya bekerja akibat pandemi COVID-19.
“Saat itu, saya sudah down. Kepikiran istri dan anak, cari uang Rp 8 juta per bulan hanya untuk kesehatan ayahnya,” tuturnya.
Cuci Darah Bisa Nol Rupiah
Saat berjuang melalui titik terendah kehidupannya itu, senyum Nedi kembali merekah. Urusan berkas rujukan hemodialisa miliknya rampung. Artinya, semua biaya terapi, obat-obatan hingga operasi vaskular yang dijalaninya telah ditanggung BPJS Kesehatan.
Baca Juga: Kontribusi BPJS Kesehatan Menuju Satu Dekade JKN
Sejak itu, Nedi tak lagi pusing perkara finansial. Istrinya bisa kembali tenang dan anak perempuan semata wayangnya bisa fokus sekolah. Jika tak ada proteksi JKN-KIS, Nedi mungkin sudah stres bukan kepalang.
Terhitung 4 tahun ini, Nedi rutin melakoni terapi cuci darah itu dengan kepala tegap. Vonis gagal ginjal kronis tak membuatnya pesimis menjalani hari-hari di masa depan.
Seiring waktu, kesehatannya berangsur pulih. Nedi kembali melanjutkan aktivitas hariannya dengan normal. Mencari berita, seperti jurnalis lain pada umumnya.
“Hidup saya lebih berkualitas. Hari-hari diisi saja dengan bekerja dan berbahagia. Kok bisa? Karena ada satu hal mendasar yang tak lagi saya pikirkan, yaitu biaya,” ucapnya.
Hidup Tenang, Tidak Bingung Utang
Yoseph Rudi (64), warga asal Kelurahan Polehan, Kota Malang juga merasakan manfaat program JKN-KIS. Apalagi setelah pensiun. Tidak punya penghasilan tetap bukan berarti membuatnya mengesampingkan kesehatan.
Begitu program JKN-KIS bergulir pada 2014, Yoseph mendaftarkan dirinya sekeluarga menjadi peserta mandiri BPJS Kesehatan. Manfaat menjadi peserta JKN-KIS baginya sangat terasa saat memasuki usia lanjut. Pernah saat di usia 55 tahun, dia harus menjalani opname akibat diagnosa paru-paru basah.
“Untung, waktu itu aku sudah daftar BPJS, misal belum ya pasti buntung. Cari utangan ke sana ke mari atau jual apa. Saya sudah gak kerja. Sudah pasti istri dan anak saya nanti yang repot,” ujarnya.
“Makanya, saya heran misal ada orang tidak mau ikut BPJS. Bagi saya, keluar uang Rp100 ribu per bulan gak masalah karena manfaatnya lebih dari Rp100 ribu. Lagipula, ini juga asasnya gotong royong, saling bantu sesama,” imbuhnya.
Semakin ke sini, Yoseph sadar akan banyak manfaat dari program JKN-KIS, terutama dalam aspek preventif. Dalam sebulan, dia rutin memeriksakan diri meski hanya merasakan gejala kecil. Tidak seperti dulu, pergi ke rumah sakit kalau sakitnya sudah parah.
“Berkat jadi peserta BPJS, secara finansial saya terbantu sekali. Saya tinggal fokus kesehatan dan menggenapi iuran bulanan. Hidup tenang di masa tua, tidak bingung utang,” tuturnya.
Gotong-Royong Panjangkan Umur JKN-KIS
Kekhawatiran masyarakat soal biaya berobat kerap dijumpai di sekitar kita. Namun program JKN-KIS telah menjawabnya. Seiring waktu, manfaat JKN-KIS terutama dari segi bantuan biaya hingga kemudahan akses pelayanan kesehatan kian terasa.
Di Kota Malang, kesadaran membangun kualitas pelayanan kesehatan menjadi perhatian bersama. Komitmen itu semakin terlihat dari meningkatnya jangkauan kepesertaan program JKN-KIS dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan Malang, capaian Universal Health Coverage (UHC) di Kota Malang pada 2023 mencapai 107,84 persen. Meningkat pesat dibanding pada 2021 sebesar 95 persen. Artinya, seluruh warga Kota Malang telah mendapat jaminan pelayanan kesehatan.
Capaian manis itu tercipta berkat kolaborasi BPJS Kesehatan dan Pemkot Malang, terutama sejak merebaknya wabah COVID-19. Saat itu, Wali Kota Malang Sutiaji mengalokasikan anggaran sekitar Rp150 miliar sejak 2020 untuk menjamin pembiayaan kesehatan warganya.
Hingga kini, total seluruh penduduk Kota Malang yang berjumlah 874.890 orang telah menjadi peserta JKN-KIS, baik sebagai peserta PPU, PBPU, BP, PBI APBN dan PBI Daerah. Dari jumlah itu, sebanyak 389.709 warga mendapat jaminan kesehatan dengan dibiayai pemerintah.
“Niatan kita saat itu untuk membantu warga yang kurang beruntung, secara kesehatan dan finansial. Kita permudah lagi dengan menjamin pembiayaan iuran BPJS Kesehatan-nya,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, Husnul Muarif.
Pemkot Malang dan BPJS Kesehatan Malang juga mengelaborasikan percepatan layanan melalui e-JKN Cekat (Cepat, Efektif dan Akurat). e-JKN Cekat dibuat untuk memudahkan proses kepesertaan JKN-KIS di tingkat kelurahan.
Berbagai fitur kemudahan sebenarnya sudah tersaji di dalam layanan mobile JKN, antara lain seperti antrean online, informasi ketersediaan bed hingga kemudahan administratif lainnya, termasuk untuk pelayanan hemodialisa.
Berbagai kemudahan itu masih ditunjang dengan komitmen seluruh fasilitas kesehatan (faskes) untuk percepatan pelayanan. Sejauh ini, 95 persen Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pratama (FKTP) di Kota Malang telah menerapkan antrean online.
“Artinya, sudah tidak ada lagi faskes yang lambat pelayanannya. Kami juga sudah membuat pakta integritas dengan seluruh faskes untuk percepatan layanan,” kata Husnul.
Dengan begitu, seharusnya sudah tidak ada lagi alasan enggan berobat karena faktor ekonomi. Ke depan, Husnul ingin semakin banyak lagi orang datang ke faskes untuk konsultasi kesehatan daripada berobat.
“Manfaatkan saja BPJS Kesehatan ini untuk cek kesehatan rutin, melakukan pencegahan sejak dini daripada berobat. Kalau sakitnya sudah parah, kan terlambat,” tuturnya.
Kepala BPJS Kesehatan Cabang Malang, Roni Kurnia Hadi Permana, mengamini kolaborasi bersama semua pihak adalah kunci meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Antara pemerintah, rumah sakit, badan usaha dan masyarakat itu sendiri.
Saat ini, BPJS Kesehatan telah menelurkan berbagai inovasi pelayanan, termasuk kemudahan akses informasinya secara online. Roni berharap nantinya tercipta sistem pelayanan kesehatan berbasis online yang saling terintegrasi antar semua lini pelayanan kesehatan.
“Sekarang, orang hanya perlu mengurus semua dari rumah, kalau ada keluarganya yang sakit. Sudah tidak zaman lagi orang kena musibah masih harus lari-lari,” kata dia.
Menjaga umur panjang spirit gotong royong demi kualitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan mutlak menjadi tugas bersama. Dengan begitu, stigma lama bahwa ‘Sakit itu Mahal’ yang menjadi momok banyak orang selama ini bisa terkikis dengan sendirinya.
Reporter: M Ulul Azmi
Editor: Herlianto. A