Tugumalang.id – Langkah DPR RI untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan ambang batas (treshold) pencalonan kepala daerah dan syarat usia calon kepala daerah menuai reaksi dan kecaman berbagai pihak. Jika penyusunan UU Pilkada itu disahkan, banyak pihak mengatakan itu sebagai kemunduan demokrasi.
Seperti dikatakan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang, Ferry Anggriawan SH MH.
Rencana Badan Legislasi DPR RI meloloskan RUU Pilkada, menurutnya, telah menunjukkan bahwa hirarki norma tertinggi di Indonesia bukan lagi konstitusi.
Baca Juga: Kawal Putusan MK, Ratusan Masa di Kota Malang Gruduk Gedung Dewan
”Hirarki tertinggi hukum kita bukan lagi konstitusi, tapi sudah berpindah di tangan raja, meski dia sekali pun tidak merepresentasikan dirinya sebagai raja. Ini adalah kemunduran demokrasi,” ungkapnya pada tugumalang.id, Kamis (22/8/2024).
Menurutnya, putusan MK No. 60 dan No. 70 yang bersifat final dan mengikat atau Res Yudicata Pro Varitate Habitur ini memang bisa kalah dengan UU Pilkada yang baru. Terlebih jika UU itu disahkan oleh Presiden dan DPR RI.
Lalu, bagaimana nasib Putusan MK. No 60 dan No 70 apakah masih berlaku? Menurut Ferry, putusan MK sudah tidak berlaku dan UU Pilkada barulah yang diberlakukan untuk Pilkada di Tahun 2024 nanti.
Baca Juga: Warganet Ramai-Ramai Unggah Gambar Peringatan Darurat Garuda Biru di Medsos, Ternyata Ini Alasannya!
”Artinya, secara fakta hukum ketatanegaraan, langkah tersebut sudah sesuai prosedur hukum,” ujarnya.
Meski begitu, lanjut Ferry, pemandangan itu sangat menciderai asas demokrasi yang menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Pemandangan itu juga merusak imajinasi bersama tentang cita-cita terwujudnya tatanan masyarakat yang adil, bijak dan sejahtera melalui hukum.
Namun ternyata hukum dalam kaca mata penguasa itu tidak berlaku. Jika penyusunan UU Pilkada yang diduga dibuat untuk mengakali putusan MK itu terjadi, artinya, hari ini penguasa sedang dibutakan oleh kekuasaannya sendiri.
Ferry menegaskan jika putusan MK tersebut sudah menjadi angin segar bagi kontestasi demokrasi dan mencegah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dan oligarki.
”Saya sangat menyayangkan. Kalau begitu, begitulah fakta hukum ketatanegaraan kita yang sengaja dibuat seluwes mungkin agar dapat mengakomodir kepentingan penguasa. Tapi, saya masih berharap hal itu tidak terjadi,” harapnya.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A