Oleh: Masbahur Roziqi*
Tugumalang.id – Bunuh diri masih menjadi salah satu penyebab kematian dini pada remaja. Tragedi terbaru ditunjukkan dengan peristiwa bunuh diri seorang remaja di China bernama panggilan Fat Cat dengan cara menjatuhkan diri dari bangunan jembatan yang tinggi ke sebuah sungai.
Adapun Data Global School Health Survey tahun 2015, sebuah project survey dunia tentang kesehatan sekolah di Indoensia, menunjukkan sebanyak 5,14 persen siswa usia SMA sederajat pernah memiliki ide bunuh diri dalam 12 bulan terakhir.
Sejumlah 5,54 persen pernah merencanakan bunuh diri, dan 3,86 persen pernah melakukan percobaan bunuh diri. Tidak hanya itu, data tersebut juga menunjukkan terdapat 4,8 p ersen siswa usia 13-15 tahun, 6,2 persen siswa usia 16-17 tahun yang secara serius mempertimbangkan untuk bunuh diri dalam kurun waktu 12 bulan sebelum survei.
Baca Juga: 4 Catatan Penting Komnas HAM Soal Penyelidikan Tragedi Kanjuruhan
Kemudian terdapat 4 persen dan 2,2 persen siswa usia 13-15 tahun 16-17 tahun yang melakukan percobaan bunuh diri satu hingga lebih dari satu kali selama kurun waktu 12 bulan sebelum survei.
Adanya percobaan bunuh diri dan terjadinya bunuh diri tidak lepas dari keberadaan ide bunuh diri remaja. Riset Gaylor dkk (2023), Nock dkk (2023), dan Twenge dkk (2019) menyimpulkan adanya tren peningkatan munculnya ide bunuh diri remaja, khususnya remaja dalam pendidikan formal (sekolah).
Riset kesehatan dasar (riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2013 membeberkan data bahwa siswa dengan usia 15 tahun ke atas menunjukkan prevalensi keinginan untuk bunuh diri sebanyak 0,6 persen pada laki-laki, dan 0,8 persen pada perempuan.
Baca Juga: OpenAI Perkenalkan ChatGPT Edu: Inovasi Baru dalam Dunia Pendidikan
Riskesdas juga menunjukkan keinginan bunuh diri pada populasi 15 tahun ke atas, baik pada laki-laki maupun perempuan lebih banyak daerah perkotaan dibandingkan pedesaan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Kemunculan ide bunuh diri pada siswa cenderung karena adanya risiko ide bunuh diri yang berpotensi ada pada diri mereka. Berdasarkan riset Yusuf dkk (2019, 2023) menyimpulkan adanya empat faktor risiko ide bunuh diri yang mungkin muncul pada diri remaja.
Empat faktor risiko itu adalah burdensomeness (perasaan menjadi beban orang lain), loneliness (perasaan sangat kesepian), belongingness (perasaan tidak dimiliki oleh siapa pun), dan hopelessness (perasan tidak memiliki harapan sama sekali).
Penulis sendiri pernah melakukan riset awal mengenai faktor risiko ide bunuh diri remaja ini pada sebuah sekolah dengan remaja berusia SMA sederajat.
Hasilnya menunjukkan terdapat 42,5 persen siswa memiliki risiko sedang mengalami ide bunuh diri, 1,5 persen berisiko tinggi mengalami ide bunuh diri, dan 56 persen mempunyai risiko rendah mengalami ide bunuh diri.
Temuan penulis ini senada dengan temuan riset Rantung dkk (2021) yang menghasilkan temuan remaja berisiko beride bunuh diri tinggi sebanyak 56 persen dan berisiko sedang sebanyak 44 persen.
Maried dkk (2023), Aulia dkk (2019), dan Marthoenis & Arafat (2022) juga menghasilkan temuan risiko tinggi dan sedang para siswa yang mereka survei mengalami ide bunuh diri.
Tentu jika keadaan tersebut diabaikan dan dibiarkan oleh pihak-pihak yang berperan penting bagi siswa akan menjadi bumerang nantinya.
Sekolah sebagai salah satu pilar lingkungan yang memiliki peran membersamai para siswa dapat berandil besar dalam hal ini. Peran tersebut yakni membantu siswa untuk mengendalikan risiko ide bunuh diri yang mungkin muncul pada dirinya.
Tentu tidak bisa menghilangkan 100 persen, namun setidaknya dapat meminimalisir risiko ide bunuh diri itu menjadi perencanaan dan percobaan bunuh diri.
Apa yang dapat sekolah lakukan? Secara spesifiknya sekolah melalui guru Bimbingan dan Konseling (BK) dapat membantu para siswa melalui lingkup kecil terlebih dahulu yakni melalui bimbingan kelompok.
Bimbingan kelompok menjadi upaya terstruktur dan sistematis untuk membantu siswa mendapatkan informasi dan berlatih mengendalikan risiko ide bunuh diri.
Beberapa riset menyebutkan bimbingan kelompok terbukti manjur dalam membantu siswa mengembangkan diri dan mengendalikan terjadinya masalah. Bimbingan kelompok dengan teknik homeroom membantu siswa meningkatkan kepercayaan dirinya (Durrotunnisa dkk, 2022).
Bimbingan kelompok dengan teknik manajemen diri membantu mengurangi perilaku agresif verbal siswa (Neviyarni & Novita, 2022). Bimbingan kelompok teknik sinemaedukasi membantu meningkatkan sikap altruistik siswa SMP (Anggarini dkk, 2023).
Salah satu strategi bimbingan kelompok yang dapat ditawarkan untuk menjadi alat yang membantu siswa mengendalikan risiko ide bunuh diri adalah bimbingan kelompok psikodrama pesan Islami (Roziqi, Muslihati, IM. Hambali, 2024).
Prawitasari (2011) mengatakan psikodrama dapat membantu individu menyelesaikan konflik terkait diri pribadi. Adapun muatan pesan Islami yang terkandung di dalamnya berasal dari Al Qur’an dan Hadits.
Pesan Islami tersebut akan menjadi pesan yang terkandung dalam drama yang akan dimainkan oleh para siswa.
Penggunaan psikodrama ini juga ditunjang oleh temuan-temuan riset terdahulu. Penelitian Park & Kim (2022) menghasilkan temuan jika teknik psikodrama efektif mengurangi ide bunuh diri siswa perempuan SMA di Republik Korea/Korea Selatan.
Psikodrama juga efektif mengurangi ide bunuh diri pada siswa laki-laki di Republik Islam Iran (Hamidi & Khodakarami, 2020).
Ulusoy dkk (2023) juga melakukan riset tinjauan pustaka sistematis mengenai strategi mengurangi ide bunuh diri remaja, dan hasilnya teknik psikodrama termasuk yang manjur mengurangi ide bunuh diri pada para siswa.
Adapun urgensi muatan pesan Islami yang juga pesan religi sebagai bagian dari psikodrama juga berlandaskan temuan ilmiah.
Ozcan (2019) mengatakan psikodrama erat kaitannya dengan religi karena tetap memegang teguh adanya kekuatan tak terbatas (Tuhan) dan potensi manusia yang terbatas.
Melalui pesan-pesan dari agama itu lah kegiatan psikodrama dapat menggabungkan antara temuan ilmiah dengan keyakinan religius individu.
Hal itu juga dikuatkan temuan Hirsch dkk (2014) yang mengatakan adanya asosiasi atau hubungan yang kuat antara penurunan ide bunuh diri dengan spiritual well being perempuan Afrika pelaku percobaan bunuh diri.
Lemke dkk (2023) bahkan mengatakan upaya penurunan ide bunuh diri akan efektif jika menyertakan variabel spiritualitas/agama di dalamnya.
Stack (2018) juga menegaskan temuan mengenai keyakinan religius individu mampu menurunkan ide bunuh diri pada diri individu tersebut.
Hasil riset penulis mengenai uji efektivitas panduan psikodrama pesan Islami dalam mengendalikan faktor risiko ide bunuh diri siswa SMA juga menunjukkan hasil positif yang signifikan.
Psikodrama pesan Islami ini mampu menurunkan risiko ide bunuh diri siswa dari 10,8 persen menjadi 8,2 persen. Selain itu panduan psikodrama pesan Islami ini juga memiliki indeks keberterimaan dari pakar/ahli media, bimbingan dan konseling, dan ahli agama Islam dengan kategori sangat layak dan sangat berterima dengan indeks kebeterimaan 1,00 (Roziqi, Muslihati, & IM. Hambali, 2024).
Ikhtiar bimbingan kelompok psikodrama pesan Islami dapat mengantarkan kita pada upaya awal membantu siswa mengendalikan risiko ide bunuh diri.
Peran sekolah tetap mendampingi para siswa menjadi bagian utama untuk mengawal bonus demografi negeri ini. Panduan psikodrama pesan Islami yang akan menjadi panduan bagi sekolah dan guru BK dapat menjadi awal upaya terstruktur tersebut untuk menindaklanjutinya. Semoga.
*Penulis adalah mahasiswa S2 Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang
Editor: Herlianto. A
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News