Tugumalang.id – Sejak bulan Februari 2021, ada pemandangan berbeda di setiap kegiatan rilis kasus-kasus kriminal di Polres Malang. Nampak sosok wanita yang selalu mendampingi Kapolres Malang, AKBP Hendri Umar, untuk menerjemahkan setiap perkataan Kapolres Malang ke dalam bahasa isyarat. Dia adalah Dyah Retno Dewi.
Dyah bercerita, pekerjaannya ini mulai rutin dilakukan sejak Kapolri, Jenderal Listyo Sigit, meluncurkan Program Persisi, beberapa waktu lalu.
“Awalnya saya dihubungi salah satu anggota Polres Malang, Bripka Sanda, yang sekarang bertugas di Samsat Talangagung,” bebernya, beberapa waktu lalu.
Guru Sekolah Luar Biasa di Sumberpucung itu lalu menerima tawaran tersebut. Dia melihat ini sebagai tantangan baru bagi dirinya.
Masa awal-awal bekerja, dia mengaku cukup gugup karena baru pertama kali menjadi penerjemah bahasa isyarat untuk kasus-kasus kriminal.
“Di kasus-kasus kriminal seperti pembunuhan dan lainnya ada banyak kosa kata yang jarang saya komunikasikan dengan murid-murid saya,” jelasnya.
Oleh karena itu, setelah pekerjaan pertamanya sebagai penerjemah bahasa isyarat di Polres Malang, dia kembali membuka buku untuk memperdalam kosa katanya.
“Yang harus saya pelajari kembali itu tekait penyampai kronologi, karena apa yang disampaikan Bapak Kapolres itu saat riliskan pajang. Sehingga itu jadi tantangan saya untuk memperjelas,” terang lulusan S1 Kebidanan Stikes Kendedes ini.
Lebih lanjut, Dyah menjelaskan jika di Indonesia ada 2 tipologi penyampaian bahasa isyarat. Pertama ada BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) dan SIBI (Sistem Bahasa Isyarat Indonesia).
Perempuan 34 tahun ini menjelaskan perbedaan keduanya. BISINDO merupakan bahasa ibu yang dicipta oleh para tuna rungu. Sehingga setiap daerah memiliki versi yang berbeda-beda. Sedangkan SIBI lebih kepada standarisasi bahasa isyarat formal di Indonesia. Biasanya SIBI dipakai dalam kegiatan belajar mengajar formal dan kegiatan formal lainnya.
Namun, di Indonesia masih ada kerancuan pemakaian SIBI dan BISINDO. Karena belum ada peraturan yang mengatur standarisasi bahasa isyarat di Indonesia.
“Misalnya orang tuna wicara itukan hidup bersama orang mendengar, tapi kalau kita pakai SIBI itu bukan bahasa mereka, padahal kan SIBI itu bahasa formal. Dan tidak semua SLB itu memakai SIBI, karena kebanyakan pakai BISINDO,” beber perempuan yang sudah bekerja sebagai guru SLB sejak 2012 ini.
Terakhir, dia berharap agar pemerintah lebih memperhatikan terhadap standarisasi penggunaan bahasa isyarat ini. Sehingga orang-orang yang memiliki kekurangan bisa berkomunikasi lebih mudah. “Harapannya ada sosialisasi dari Kementerian Pendidikan tentang SIBI agar menyamakan bahasa isyarat tersebut,” pungkasnya.
Reporter: Rizal Adhi
Editor: Lizya Kristanti