Tugumalang.id – Kitab Idhotun Nasyiin karya Syekh Mustafa Al-Ghulayini menjadi kitab yang berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh para santri Pesantren Luhur Baitul Hikmah.
Kitab tersebut kemudian dibedah sebagai rangkaian dari menyambut ulang tahun pesantren yang berada di Tegalsari, Kepanjen Kabupaten Malang itu pada Senin malam (02/12/2024).
Kitab Idhotun Nasyiin ini diterjemahkan oleh empat santri, yaitu Difan, Bahri, Burhan, dan Falah. Menurut penerjemah, Syekh Mustafa Al-Ghulayini menulis kitab Idhotun Nasyiin untuk memotivasi generasi muda agar lebih bersemangat dalam berkarya dan berkontribusi bagi masyarakat. “Oleh sebab itu, terjemahan ini diberi judul Nasihat Untuk Para Pemuda,” kata Difan sebagai salah satu penerjemah.
Baca Juga: Sambut Tahun Baru Islam, Pesantren Luhur Baitul Hikmah Gelar Khitanan Massal
Difan menambahkan bahwa kitab ini dipilih karena memiliki kosakata yang sederhana tetapi penuh nilai sastra.
“Redaksi pemilihan kata dalam kitab ini sangat berirama. Meskipun kitab ini hampir satu abad usianya, isinya masih sangat relevan dengan kondisi zaman sekarang, terutama bagi para pemuda,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan fakta menarik bahwa pada masa penjajahan Belanda, kitab ini sempat diboikot karena dikhawatirkan memotivasi santri untuk melakukan perlawanan.
Proses penerjemahan kitab ini, menurut Falah penerjemah lainnya, memakan waktu sekitar empat bulan. Dengan 12 sub judul yang ada, setiap penerjemah mendapatkan bagian masing-masing untuk dikerjakan secara bergiliran.
Baca Juga: Menikah dengan Mahar Tafsir Alquran
“Buku ini sebelumnya adalah kumpulan catatan yang digemari oleh pembaca, karena tulisannya mengandung nasihat yang mudah diterapkan,” ujar Falah.
Relevansi dan Kritik terhadap Kemunduran Umat Islam
Burhan, penerjemah lainnya, menjelaskan relevansi isi kitab ini dengan keadaan umat Islam saat ini. Ia mengutip pandangan ulama Timur Tengah, Saqib Arsalan, yang pernah mengemukakan enam alasan mengapa umat Islam mengalami kemunduran.
Menurut Burhan, poin-poin yang diangkat dalam kitab Idhotun Nasyiin mencakup beberapa alasan tersebut. “Salah satu alasan yang disebutkan adalah jauhnya umat Islam dari ajaran yang benar. Selain itu, ada juga masalah menentangkan sains dengan agama, padahal Islam hadir tidak hanya sebagai agama tetapi juga ilmu pengetahuan,” jelas Burhan.
Dalam salah satu subjudul kitab, yakni Iradah (daya juang), Syekh Mustafa Al-Ghulayini menegaskan pentingnya menyatukan pandangan bahwa Islam dan sains tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi.
Selain para penerjemah, acara ini juga menghadirkan Ach Khoiron Nafis sebagai pembedah buku. Dia adalah seorang penerjemah kitab klasik, khususnya karya-karya Imam Ghazali. Dalam pemaparannya, Nafis menekankan pentingnya memperluas jangkauan bahasa Indonesia melalui terjemahan kitab-kitab berbahasa Arab.
“Saya termasuk orang yang sepakat mempelajari terjemahan orang lain, karena dari situ kita bisa memperbaikinya. Seandainya ada naskah lain yang kita adopsi dari awal sampai akhir, itu tidak masalah, asalkan setelah itu kita rombak dan tunjukkan bahwa terjemahan kita lebih baik,” ujarnya.
Menurutnya, proses penerjemahan bukan hanya sekadar memindahkan bahasa, tetapi juga melibatkan interpretasi yang tepat agar pesan dalam kitab tetap relevan dengan konteks pembaca masa kini. Dengan begitu, hasil terjemahan bisa lebih bermakna dan aplikatif.
Acara ini tidak hanya dihadiri oleh para santri Pesantren Luhur, tetapi juga sejumlah mahasiswa dari Kota Malang. Kehadiran mereka menunjukkan antusiasme yang besar terhadap karya-karya terjemahan yang berisi nilai-nilai luhur dan relevansi masa kini.
Pesantren Luhur Baitul Hikmah kembali menunjukkan komitmennya dalam melestarikan tradisi keilmuan dan memperkuat generasi muda melalui karya-karya literatur klasik.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: Reza Amrullah
Editor: Herlianto. A