MALANG- Dunia pendidikan dan pembelajaran pun telah berubah. Pandemi Covid-19 telah membawa sistem dunia pembelajaran jarak jauh atau online untuk mengganti pembelajaran tatap muka. Pandemi COVID-19 mengubah wajah pendidikan dan pembelajaran di Indonesia. Sejak 2020 lalu, membuat dunia pendidikan di Indonesia harus melompat beberapa tahun ke depan dalam hal teknologi. Pasalnya, pendidikan Indonesia mau tidak mau dipaksa untuk melakukan pembelajaran secara online atau daring sejak pembelajaran tatap muka dilarang lebih dari setahun yang lalu.
Para guru dan murid dipaksa untuk beradaptasi pada sistem pembelajaran revolusioner. Sebagian masyarakat optimis, ini adalah langkah maju bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.
Nyatanya beberapa daerah justru kesulitan beradaptasi dengan perkembangan ini. Terutama daerah-daerah dengan kekuatan jaringan internet yang lembah dan bagi keluarga miskin yang tak mampu membelikan anaknya gadget yang canggih.
Salah satu daerah yang paling terkendala jaringan internet dan kemiskinan di Kabupaten Malang ada Desa Purwodadi, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang. Salah satu wilayah paling ujung di Kabupaten Malang ini sangat jelas merasakan sulitnya belajar daring selama pandemi COVID-19.
Kepala Sekolah SMP PGRI 5 Tirtoyudo, Agus Hariyanto, pada Rabu (09/06/2021) terlihat sangat sibuk mempersiapkan wisuda para anak didiknya. Ia mengatakan jika angkatan wisuda ini adalah angkatan pertama sepanjang karirnya, yang selama setahun penuh melakukan pembelajaran daring di kelas 9 SMP.
“Kalau untuk pembelajaran di sini memakai daring semua untuk pembelajaran 2020/2021, kadang-kadang bisa dijalankan di rumah dan kadang-kadang bisa di sekolah. Kalau dijalankan di sekolah ini pada tugas-tugas tertentu seperti tugas praktikum, tugas kelompok. Kalau untuk ulangan bisa dilakukan di sekolah dan pengumpulan di sekolah,” terangnya saat ditemui tugumalang.id pada Rabu (09/06/2021).
Ia menceritakan kalau pembelajaran daring di sekolahnya menggunakan aplikasi WhatsApp (WA). Dan tentu saja, sinyal internet menjadi masalah klasik di desa ini.
“Kalau melakukan pembelajaran online itu kami memiliki kendala dalam jaringan internet. Kadang-kadang jaringan ini tidak on terus, sering naik turun,” ungkapnya.
Kalau sudah begini, biasanya anak-anak datang ke sekolah untuk melakukan ‘pembelajaran dari rumah’ dengan menumpang WiFi sekolah.
“Kebetulan di sekolah itu ada wifi, jadi kalau melaksanakan kerja kelompok dilaksanakan di sekolah itu tujuannya karena sekolah sudah menyiapkan WiFi,” tuturnya.
“Kalau anak-anak yang kurang mampu ada, tapi sudah dibantu oleh teman yang satu dan lainnya, jadi saling kerjasama gotong royong,” sambungnya.
Lebih lanjut, Agus ternyata sudah mulai mencoba untuk melakukan pembelajaran tatap muka secara mandiri di sekolahnya.
“Kalaupun pembelajaran di sekolah kita buat maksimal 18 anak setiap kelas, jadi dibagi-bagi menjadi 3 kelompok dalam satu kelas. Jadi, tidak kelas 7,8 dan 9 itu bersama-sama masuk, dibuat bergantian. Kadang-kadang dalam satu Minggu hanya kelas 7, satu Minggu berikutnya hanya kelas 8, terus Minggu berikutnya kelas 9,” terangnya.
Terakhir, ia berharap agar di Desa Purwodadi ada perhatian bagar infrastruktur berupa jaringan internet bisa segera diperbaiki.
“Kami dari SMP PGRI 5 Tirtoyudo berharap yang namanya jaringan sangat butuh perbaikan. Supaya pembelajaran anak-anak kami bisa berjalan dengan lancar,” pungkasnya.
Ada juga Guru SDN 3 Purwodadi, Mukhlis, bahkan sampai harus mendatangi satu persatu muridnya yang tidak memiliki HP Android untuk pembelajaran online.
“Kalau itu saya lakukan pada awal-awal Corona pada tahun 2020 awal, saya kan ngajar kelas 4 SD, san ada beberapa anak yang tidak memiliki HP Android. Jangankan berli HP Android, kondisi rumah dan perekonomiannya saja memperihatinkan,” terangnya.
“Berawal dari situ saya berinisiatif untuk mendatangi secara rutin selama seminggu sekali.saat itu ada 6 siswa di kelas 4 SD. Kemudian memasuki tahun 2021 ini ada 2 siswa yang belum memiliki HP Android,” imbuhnya.
Kini sudah tidak ada lagi murid-muridnya semuanya sudah memiliki HP Android. Tentu, orang tua siswa harus bantung tulang di masa-masa sulit pandemi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya.
“Kemudian akhir-akhir ini dengan segala daya dan upaya keluarganya mereka membeli HP Android yang tidak terlalu mahal, yang penting bisa WA,” paparnya.
Kendati demikian, masalah sinyal juga belum teratasi, menurut Mukhlis, saat listrik padam adalah saat-saat pembelajaran online mencapai tembok mentoknya.
“Hari ini sebenarnya tidak separah awal-awal dulu, sudah ada bantuan paket internet dari pemerintah. Cuman kendalanya kalau terjadi pemadaman listrik itu pasti sinyalnya hilang. Karena terus terang listrik yang masuk ke desa Purwodadi ini melewati hutan, kalau ada angin dan hujan sudah pasti mati listriknya. Kalau listrik mati otomatis tower juga mati, karena tidak ada pembangkit listrik atau gensetnya,” jelasnya.
“Seperti hari ini pemadaman, dan pemadam ini sering, malahan saking seringnya pemadaman kita membeli genset. Kalau pemadaman listrik akhirnya kita harus menunda pembelajaran online, mau gimana lagi. Dan saya kan mengajar di kelas 4 SD ada 33 siswa, jadi tidak mungkin mendatangi keteka satu-satu,” tambahnya.
Salah seorang Tokoh Pendidikan di Desa Purwodadi, Kasman, mengatakan sinyal belum keseluruhan terjangkau, terutama di daerah Tumpak Kembang (Desa Purwodadi). Selain itu ada beberapa daerah yang towernya terhalang oleh gunung.
“Kendala keduanya adalah masih kurangnya kepemilikan alat komunikasi yang masih sederhana, artinya tidak semuanya Android. Jadi, untuk membeli alat komunikasi yang canggih itu ada yang belum mampu,” tuturnya.
Ia mengatakan kadang-kadang ada guru yang turun langsung mendatangi murid, kadang-kadang ada juga murid yang disuruh bergabung dengan Wifi di rumah tetangganya.
“Misalnya di Tumpak Kembang itu kalau ada yang punya WiFi itu disuruh bergabung,” ungkapnya.
Pensiunan Komite Sekolah SMP PGRI 5 Tirtoyudo dan Pengawas Pembantu TK Purwodadi ini mengatakan jika beberapa sekolah di Desa Purwodadi sudah mulai mencoba melakukan pembelajaran tatap muka.
“Kalau di sini sudah mencoba tatap muka secara bergantian mulai dari PAUD, TK, SD sampai SMP itu sidah dibagi. Jadi, misalnya sekarang ujian itu cuman kelas 1-3 SD, dan yang kelas tinggi nanti. Untuk TK atau SD itu pembelajaran tatap muka kadang 4 hari sekali, kadang dikumpulkan di rumah. Misalnya cucu saya kan YK, itu dikumpulkan di rumah saya secara bergiliran dan gurunya yang datang ke rumah,” katanya.
Ternyata, pembelajaran tatap muka ini sudah dilakukan sejak adanya COVID-19, pembelajaran dilakukan secara bergilir. Misalnya satu Minggu di rumah Kasman dan Minggu berikutnya di tempat lain.
“Saat ini untuk SD sampai SMP sudah dilakukan tatap muka tanpa menggunakan seragam. Tapi kita tetap menerapkan yang namanya protokol kesehatan,” ujarnya.
Namun, ternyata ia tidak sepenuhnya setuju dengan pemberlakuan pembelajaran tatap muka saat pandemi COVID-19 ini.
“Kalau untuk pembelajaran tatap muka secara keseluruhan menurut saya belum waktunya, karena kita harus mengutamakan kesehatan terlebih dahulu. Kalau untuk pembelajaran baik online maupun offline itu kalau dilakukan sungguh-sungguh pasti sama saja,” tuturnya.
“Dan harapannya infrastruktur jaringan diperbaiki, karena sinyal itu kadang-kadang tidak full. Kalau bisa segera diperbaiki, karena kita tidak bisa memperkirakan kapan pandemi ini akan berakhir,” tukasnya.
Hal berbeda diungkapkan oleh Kepala Desa Purwodadi, Marsi, menurutnya pembelajaran online justru bisa menurunkan kualitas pendidikan.
“Kendalanya pertama itu banyak murid dan wali murid yang tidak memiliki HP Android. Kedua saya rasa selama pembelajaran online ini anak bukannya tambah pinter tapi tambah sebaliknya, soalnya kalau ada pertanyaan sulit ini selalu yang menjawab Mbah Google (Google.com),” ungkapnya.
“Takutnya kalau pandemi ini tak kunjung selesai dampaknya pendidikan ini semakin menurun,” sambungnya.
Pria ramah senyum ini juga mengatakan bahwa pembelajaran tatap muka sudah dilaksanakan. Namun, masih belum maksimal.
Selama ini, belum ada juga pendidikan tatap muka, semuanya serba online, mungkin hanya sebulan sekali itu tatap muka, itupun hanya cross check anak ini keadaannya seperti apa. Padahal, pendidikan ini harus terus ditingkatkan tapi malah menurun,” tuturnya.
Ia berharap agar tatap muka segera dilaksanakan, karena menurutnya di Desa Purwodadi dari awal pandemi sampai saat ini masoyyh zona hijau.
“Dan Alhamdulillah tidak ada yang pernah yang terpapar COVID-19. Untuk tatap muka ini bisa tanpa yarus memakai seragam, lalu tempat duduk disekat-sekat, kemudian menggunakan sistem gantian masuknya ada gelombang pertama dan ada gelombang kedua,” ucapnya.
“Kalau dari Kemendikbud ditetapkan tanggal 10 Juli 2021 tatap muka, kami sangat berterima kasih dan akan menyambut dengan baik serta senang hati,” pungkasnya.
Tidak hanya di Desa Purwodadi, ternyata di Desa Wonokerto, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, juga memiliki masalah yang mirip. Guru MTS Al-Islam Wonokerto, Susiati, mengatakan bahwa siswa-siswinya banyak yang tidak mampu membeli oaket internet yang cukup mahal.
“Kendalanya ada pada masalah paket internet, anak-anak itu ada banyak yang tidak bisa membeli paket internet,” ucapnya.
Menurutnya, memang ada bantuan paket internet dari pemerintah, namun hanya 1-2 giga dan tidak cukup untuk pembelajaran online.
“Karena yang diberikan pemerintah itu banyak yang tidak bisa dipakai, dan kalau dipakai untuk pesan suara di WhatsApp itu tidak cukup. Paling cuman bisa dipakai untuk 1-2 pelajaran saja sudah habis. Dari pemerintah cukan dapat bantuan 1-2 giga, untuk satu bulan gak cukup,” ungkapnya.
Kendala lain yang dikeluarkan Susiati, anak-anak terkadang tidak mengikuti pembelajaran daring, karena belajar dari rumah sehingga tidak bisa diawasi. Dan banyak siswa yang melakukan kegiatan di luar kegiatan pembelajaran.
“Kalau mau pakai Zoom Meeting malah tidak bisa karena paket internetnya tidak cukup. Di sini beberapa provider juga sangat sulit sinyal,” ucapnya.
“Lalu ada sekitar 2-3 siswa yang tidk memiliki HP Android, kalau seperti itu anaknya disuruh datang ke sekolah untuk ambil tugas. Kan gurunya stand by di kantor terus,” tutupnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Malang, Aniswaty Aziz, mengatakan bahwa sebenarnya setiap daerah di Kabupaten Malang memiliki jaringan internet. Tapi dari kekuatan bandwidth memang berbeda masing-masing wilayah.
“Misalnya di daerah Ampelgading yang lembah banget itu juga susah sinyal,” jelasnya.
Terakhir, ia mengatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan bandwidth untuk pendidikan online adalah tugas Dinas Pendidikan Kabupaten Malang.
“Jadi, kalau untuk penguatan bandwidth untuk kebutuhan pembelajaran daring itu kegiatannya ada di Dinas Pendidikan. Itu yang support semua Dinas Pendidikan dengan ISP oleh Kemendikbud. Misalnya dia menunjuk Telkom maka Telkom yang menyediakan infrastrukturnya,” akhiri perempuan berkacamata ini.
Reporter: Rizal Pratama
Editor: Sudjatmiko