Ulul Azmy*
Artikel ini mereview sederet alasan dari pihak kepolisian bahwa gas air mata bukan menjadi penyebab kematian 135 suporter dan 600 lebih orang luka-luka dalam insiden Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
Malam 1 Oktober 2022 menjadi pil pahit yang harus ditelan Aremania. Laga dengan titel derbi penuh rivalitas Arema FC melawan Persebaya Surabaya tersebut berujung maut.
135 orang suporter menjadi korban meninggal dunia dan 600 lebih korban luka-luka akibat penembakan gas air mata ke arah tribun.
Peristiwa itu membuat pecinta sepak bola di seluruh dunia terhenyak, bahkan tercatat menjadi tragedi terbesar kedua di dunia sepanjang sejarah sepak bola. Suporter dari berbagai belahan dunia ikut bersolidaritas, termasuk suporter dalam negeri.
Mereka berharap penanganan hukum atas tragedi kemanusiaan ini ditegakkan seadil-adilnya, setuntas-tuntasnya. Namun hingga sidang final pembacaan putusan vonis, publik kembali dipertontonkan dengan ironi.
Terbaru, putusan Majelis Hakim memutuskan tiga orang komando tertinggi eksekutor gas air mata tidak bersalah atas komando penembakan gas air mata.
Padahal, komando penembakan gas air mata dinilai menjadi satu dari banyak kejanggalan penanganan hukum Tragedi Kanjuruhan yang terus menjadi tanda tanya.
Tahukah anda bahwa sejak insiden terjadi, banyak dijumpai sederet dalih dan alasan yang dibangun dalam penegakan hukum atas Tragedi Kanjuruhan, khususnya soal penembakan gas air mata.
Berikut ini tugumalang.id merekam kembali sederet kejanggalan dalih dan alasan penembakan gas air mata selama proses penegakan hukum Tragedi Kanjuruhan yang digulirkan sejak hari kejadian hingga kini.
1. Gas Air Mata Boleh Dibawa Ke Stadion?
Peristiwa itu memang berawal dari massa suporter Arema FC merangsek turun ke lapangan. Tindakan ini ditinjau dari ranah hukum Komdis PSSI, memang tidak bisa dibenarkan. Namun demikian, eskalase kerusuhan yang terjadi saat itu dinilai tidak tepat direspon dengan tembakan gas air mata. Apalagi ke arah tribun.
Sementara, jika merunut aturan FIFA, polisi tidak semestinya berada di dalam lapangan. Apalagi dipersenjatai dengan senapan gas air mata. Sejatinya, pengamanan di stadion menjadi tugas dari steward.
Eks Kapolda Jatim Irjen Pol Nico Afinta waktu itu menjelaskan bahwa penggunaan gas air mata sudah tepat. Mengingat turunnya suporter ke bawah atau lapangan dinilai membahayakan pemain dan ofisial.
Kata Nico, langkah penggunaan gas air mata itu sudah didahului dengan upaya imbauan terlebih dahulu. Namun pada faktanya, prosedur peringatan melalui megafon, pengerahan steward hingga menembakkan water canon tidak dilakukan.
Sebelumnya, eks Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat juga telah mewanti-wanti agar personel pengamanan yang bertugas tidak bertindak represif, apapun eskalasenya.
2. Penyebab Kematian karena Kepanikan Suporter dan Pintu Tertutup. Bukan karena Gas Air Mata
7 hari pasca-insiden, Polri telah menetapkan 6 orang tersangka. Tiga di antaranya adalah dari unsur pihak kepolisian selaku komando dan eksekutor gas air mata. Kapolri Jendral Listyo Sigit Purnomo sendiri telah mengakui ada 11 personel yang memegang dan menembakkan gas air mata.
Namun saat itu, dalih yang dibangun soal penyebab kematian bukan karena gas air mata. Namun karena ada sejumlah pintu keluar tidak bisa dibuka sehingga terjadi penumpukan penonton di lorong pintu gate. Sebab proses itulah, para korban meninggal dan mengalami luka-luka.
Selain itu, gas air mata meninggalkan bekas luka pada kornea mata korban yang masih hidup. Yakni warna merah darah yang tak kunjung hilang dalam waktu cukup lama.
Kejanggalan makin menguat karena bukti kamera CCTV untuk membuktikan hal itu dikabarkan menghilang, bahkan sejak malam kejadian. Hanya ada 1-2 potongan video CCTV yang beredar di media sosial dan video pribadi dari korban.
Bahkan, ada juga video yang menunjukkan tembakan gas air mata juga mendarat di depan pintu atau gate keluar.
Sejumlah suporter bersama kuasa hukum. Mulai dari Tim Aremania Gabungan, Sekber hingga Tim Tatak mulai mengumpulkan sejumlah dokumen bukti. Hasilnya, banyak bukti video beredar menunjukkan gas air mata ditembakkan ke arah tribun.
3. Rekonstruksi Penembakan Gas Air Mata Malah Digelar di Surabaya
Seperti diketahui, rekonstruksi kejadian tindakan penembakan gas air mata ini digelar di Lapangan Polda Jatim, bukan di Stadion Kanjuruhan yang menjadi lokus kejadian perkara.
Hasilnya, sejumlah kabar menyebutkan bahwa dalam proses rekonstruksi itu tidak menampilkan adegan penembakan gas air mata ke arah tribun. Gas air mata hanya ditembakkan ke area sentel ban. Sementara, video-video baik amatir maupun profesional menunjukkan hal sebaliknya.
4. Proses Autopsi Membuktikan Kandungan Gas Air Mata Diulur-ulur
Diketahui pula, proses autopsi (visum dalam) dalam pembuatan proses perkaranya pada mulanya tidak dilakukan. Proses autopsi baru dilakukan setelah mendapat desakan keluarga korban hingga berkas perkaranya ditolak Kejaksaan terhitung dua kali.
Proses Autopsi baru dilakukan 30 hari pasca kejadian. Salah satu keluarga korban yang diautopsi adalah Devi Atok, ayah dari 2 orang anaknya yang menjadi korban. Hasilnya, tidak ada kandungan gas air mata ditemukan. Dan, menyatakan kematian korban bukan karena gas air mata.
Kejanggalan berlanjut ketika Forkopimda Kabupaten Malang terdiri dari Bupati, Ketua DPRD hingga Kapolres Malang meminta persidangan di gelar di tempat kondusif. Akhirnya, persidangan yang seharusnya dikawal para korban ini digelar di PN Surabaya.
Tak hanya itu, publik kembali disuguhi kabar bahwa proses persidangan Tragedi Kanjuruhan akan dibatasi pengunjungnya.
Selain itu, persidangan yang seharusnya bersifat terbuka itu dilarang disiarkan secara live oleh media massa. Bahkan awak media yang datang meliput juga dibatasi dan didata.
5. Polisi Berupaya Pisahkan Gas Air Mata sebagai Pemicu Kematian
Menurut Pakar Hukum Universitas Brawijaya (UB), Dr Prija Djatmika SH MS mengakui memang ada upaya hukum dari kepolisian yang ingin memisahkan perkara tembakan gas air mata dari faktor utama penyebab kematian suporter.
Namun, kata Jatmika, hal itu tidak bisa dipisahkan. Tetap saja tembakan gas air mata menjadi pemicu utama penyebab kematian 135 orang dan 600 lebih luka-luka. Jadi perkara kematian ini tidak bisa dilepas begitu saja dari multiple cause (penyebab jamak, red).
Mulai tembakan gas air mata, pintu tertutup hingga tidak ada koordinasi yang menyebabkan kealpaan dan menimbulkan kematian. Jatmika yang menjadi ahli pidana yang dihadirkan dalam Sidang Tragedi Kanjuruhan itu sampai berdebat habis.
“Ya dibalik lagi, kalau gak ada gas air mata ya enggak ada situasi berdesakan dan sampai menimbulkan kematian. Gas air mata adalah pemicu utamanya,” tegas Jatmika pada tugumalang.id
Hanya saja, Jatmika juga menilai bahwa perintah untuk menembak gas air mata itu sendiri juga tidak jelas. Berdasarkan pengakuan, tersangka hanya memberi perintah untuk menembak.
Namun tidak jelas mengarah ke mana. Namun jika dilihat dari video, arah tembakan itu terkesan membabi-buta.
“Jadi saya kira hakim juga perlu menimbang asas proporsional untuk memperdalam motif komando itu. Perintah komandi itu kabur, tidak jelas ke mana? Ke depan, ke lapangan, kemana?,” terangnya.
6. 2 Pelaku Divonis Bebas Berkat Faktor ‘Arah Angin’
Berdasarkan hasil rekonstruksi yang telah dibangun itu berimplikasi juga terhadap putusan vonis oleh Majelis Hukum. Bahwa tembakan gas air mata yang diakui hanya ditembakkan ke pinggir lapangan. Namun karena terdorong angin, kepulan gas air mata itu mengarah ke tribun penonton.
“Menimbang memperhatikan fakta penembakan gas air mata yang dilakukan anggota Samapta dalam komando terdakwa Bambang saat itu asap yang dihasilkan tembakan gas air mata pasukan terdorong angin ke arah selatan menuju ke tengah lapangan,” kata Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya dalam putusannya.
Setelahnya, asap tersebut mengarah ke pinggir lapangan. Namun sebelum sampai ke tribun, asap itu tertiup angin menuju atas.
“Dan ketika asap sampai di pinggir lapangan sudah tertiup angin ke atas dan tidak pernah sampai ke tribune selatan,” katanya.
Adapun kedua terdakwa Tragedi Kanjuruhan yang divonis bebas ialah eks Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan eks Kabag Ops Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto.
Sementara, mantan Danki 1 Brimob Polda Jatim, AKP Hasdarmawan, dijatuhi vonis 1 tahun 6 bulan lebih ringan dari tuntutan 3 tahun penjara. Sebelumnya, Ketua Panpel Arema FC, Abdul Haris dan Security Officer Arema FC juga telah divonis 1,5 tahun penjara.
- Wartawan Tugumalang.id
editor: jatmiko