Hari Santri Nasional (HSN) pada bulan Oktober 2015. Hari santri ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari nasional –sekalipun terlambat- untuk menghargai jasa para ulama dan kaum santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI, utamanya dengan adanya Resolusi Jihad yang dikomando oleh Hadratus Syeh K. H. Hasyim Asy’ari.
Atas permintaan pendapat dari Presiden Soekarno, menghadapi situasi negara yang belum betul-betul aman pasca proklamasi kemerdekaan, pada 21-22 Oktober 1945 K. H. Hasyim Asy’ari berinisiatif melakukan rapat konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura di Bubutan, Surabaya. Rapat itulah yang kemudian melahirkan sebuah resolusi untuk mempertahankan kemerdekaan dan bahwasannya perjuangan untuk merdeka adalah perang suci atau jihad. Resolusi tersebut kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.
Resolusi ini berhasil membakar semangat juang bangsa dari berbagai kalangan dan akhirnya terjadi peristiwa perlawanan terhadap agresi militer Belanda yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan 10 Nopember. Hari pahlawan telah lama ditetapkan, sementara hari santri baru tujuh tahun lalu. Hal ini tentu tidak lepas dari faktor sejarah yang terlalu panjang untuk dungkapkan.
Mengenang hari santri berarti mengenang semangat juang para pahlawan santri yang dikomandoi oleh para kiai, untuk kemudian diteladani dalam kehidupan masa kini. Tentu saja dalam bentuk dan cara yang sesuai dengan tuntutan zaman. Agar aktualisasi nilai perjuangan santri itu tidak keluar dari jalur yang sebenarnya, perlu disepakati dulu definisi santri yang origilan dari pesantren. Setidaknya ada dua definisi tertulis yang dapat ditemukan. Definisi pertama tertulis di gerbang masuk Podok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Definisi tersebut tertulis dalam bahasa Arab. Jika diterjemahkan secara bebas berarti “Santri adalah orang yang berpegang teguh pada tali (agama) Allah yang kokoh dan kuat, serta meneladani sunnah Rasulullah SAW., tidak condong ke kanan dan ke kiri (moderat) kapan dan di mana saja. Inilah makna kata santri secara historis dan faktual, tidak berubah dari dulu sampai sekarang. Allah maha tahu tentang hakikat sesuatu”.
Definisi lain dapat dilihat pada relif yang ada di samping masjid Pondok Pesantren Miftahul Huda, Gading Kota Malang. Definisi tersebut berupa kepanjangan dari lima huruf Arab yang membangun kata santri. Yakni sin, nun, ta’, ra’ dan ya’. Sin berarti sa:likun ila al-akhirah (menempuh jalan akhirat), na’ibun ‘an al-masyayikh (generasi penerus para guru), tarikun ’an al-ma’ashi (meninggalkan maksiat), raghibun fi al-khairat (cinta kebaikan), dan, yarju al-salamah fi al-dunya wa l-akhirah (mengharap kebahagiaan di dunia dan akhirat). Tentu masih banyak definisi lain yang diberikan oleh para tokoh pesantren di nusantara.
Dengan mengacu pada pemaknaan hari santri di atas, sudah selayaknya jika hari santri dijadikan momentum untuk merefleksi diri bahwa sejatinya kita adalah pribadi yang seharusnya taat pada ajaran Allah dan menedanai sunnah Rasulullah SAW. Artinya kita sebagai hamba Allah SWT sudah seharusnya memperbaiki hubungan dengan Allah (hablun min Allah) melalui ibadah-ibadah mahdlah (murni) seperti shalat, puasa dan sebagainya. Juga memperbaiki hubungan dengan sesama makhluk (hablun min an-nas) melalui ibadah ghairu mahdlah dengan cara menebar manfaat bagi kemanusiaan tanpa memandang suku, agama, maupun golongan (anfa’uhum lin-nas) dan menghindari sejauh-jauhnya perilaku yang merugikan, mencederai, dan membahayakan diri sendiri atau orang lain (la dlarara wala dlira:ra).
Dalam mengamalkan ajaran agama tersebut kaum santri harus bersikap wasathiyah (moderat), seperti pesan pada penggalan kedua makna santri di Pondok Sidogiri “la: yami:lu yami:nan wala: yasa:ran fi kulli waqtin wa hin” (tidak condong ke kanan maupun ke kiri, kapan dan di manapun). Sikap moderat ini bukan tanpa resiko. Orang yang duduk di tengah akan mudah tergencet dari kanan maupun kiri. Jika dia mendekat ke kiri, akan dicurigai oleh yang kanan. Demikian juga sebaliknya jika mendekat ke kanan, akan diprotes oleh yang kiri. Analog ini bisa dilihat pada fakta sejarah yang dialami organisasi Nahdlatul Ulama’ (NU) dari masa ke masa. Sebagai contoh, ketika merumuskan pancasila dan terjadi perdebatan panjang tentang pencantuman tujuh kata dari sila pertama “dengan kewajiban mengamalkan syariat Islam bagi pemeluknya” sesuai yang ada di Piagam Jakarta, tokoh NU memilih setuju menghilangkan kata tersebut demi menghormati kelompok agama lain yang juga turut berjuang dalam mencapai kemerdekaan. Sementara kelompok Islam lain berusaha mempertahankannya. Sikap tersebut kemudian menuai kritik dari ‘kelompok kanan’ bahwa NU terlalu toleran kepada kelompok non-muslim dan tidak benar-benar membela Islam. Sekalipun pada akhirnya sikap itulah yang mampu menyatukan seluruh komponen bangsa tanpa menghilangkan jadi diri keislaman kita.
Dalam konteks kekinian, sikap moderat ini benar-benar diperlukan demi merajut tali persatuan antar warga negara (ukhuwwah wathaniyah). Tantangan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa saat ini semakin berat dengan perkembangan era digital. Saat ini semua orang –apapun profesinya- bisa mengakses apaun dari dunia luar, termasuk ajaran agama dan tata cara beragama. Tidak heran jika saat ini bermunculan aliran-aliran keagamaan dari yang paling ekstrim radikal sampai paling liberal. Fenomena “ustadz dadakan”, “hijrah dadakan”, dan semacamnya menjadi tontonan yang masif di media-media sosial. Orang yang baru kemarin sore belajar agama sudak sok merasa paling sempurna dan tidak segan-segan menjelek-jelekkan ulama’ yang benar-benar alim -bukan karbitan atau ‘instan’- hanya gara-gara ada pendapat yang berbeda dengan yang didapatkannya dari “ustadz hijrah” yang penampilan luarnya sungguh mempesona. Agama Islam yang sesungguhnya merupakan nilai luhur yang membawa kedamaian dan kasih sayang, berubah wajah menjadi identitas eksklusif yang menyeramkan bagi kelompok muslim lain yang tidak sealiran. Apa lagi bagi kelompok nonmuslim sesama warga negara.
Di sisi lain, perilaku permisif, serba boleh serba longgar, dari kelompok liberal juga merupakan ancaman yang tidak kalah serius dari yang pertama. Dengan dalih kebebasan dan moderasi beragama, cara beribadahnya pun semakin longgar, shalat sering ditinggalkan dengan berbagai alasan. Pergaulan bebas antar pria dan wanita seakan sudah menjadi hal yang wajar dan tak perlu dipermasalahkan, padahal nyata-nyata itu adalah larangan agama. Dengan dalih kebebasan, mereka juga dengan seenaknya menafsirkan ayat al-Qur’an maupun teks-teks hadits berdasar akal pikiran sendiri. Tentu saja ini sangat berbahaya.
Mengadapi dua kutub yang ekstrim itulah, kaum santri diharapkan mampu menjadi kelompok tengah yang moderat. Perannya harus bisa merangkul semua kelompok sekalipun berbeda prinsip dan pandangan. Bersatu dalam perbedaan, berbeda dalam persatuan. Muslim Indonesia sebagai kelompok mayoritas harus sanggup melindungi dan mengayomi kelompok minoritas, bukan berjaya denga menindas minoritas. Sebab sejatinya misi agama adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
*Penulis adalah Wakil Rais Syuriyah PCNU Kabulaten Malang, Pengajar di Universitas Negeri Malang, dan Ketua Yayasan Pendidikan Islam As-Shodiq Kuwolu, Bululawang Malang.