Tugumalang.id – Putusan hakim soal sengketa lahan PT Noto Joyo Nusantara di Karangploso, Malang berujung pelaporan ke Komisi Yudisial. Pasalnya, putusan hakim PN Kepanjen, Malang dalam perkara perdata No.203/Pdt.G/2022/PN.Kpn pada 4 April 2023 lalu dinilai menyalahi kode etik.
Menanggapi hal itu, Humas PN Kepanjen Malang, Reza Aulia mengatakan, bahwa sejauh ini pihaknya belum mendapat pemberitahuan atau informasi tindaklanjut dari Komisi Yudisial atas pelaporan tersebut.
“Laporan pengacara terhadap Majelis Hakim dalam perkara nomor 203/Pdt.G/2022/PN Kpn itu, sampai saat ini kami belum mendapat pemberitahuan terhadap laporan tersebut dari KY,” ucapnya, Selasa (18/4/2023).
Untuk itu, pihaknya mengaku belum bisa banyak berkomentar soal pelaporan itu. Terlebih, dia mengatakan bahwa perkara tersebut sedang dalam proses upaya hukum banding.
“Jadi kami saat ini belum dapat berkomentar dan posisi perkara sedang upaya hukum banding. Mari kita hormati proses perkara tersebut,” ujarnya.
Sebelumnya, Sumardhan, kuasa hukum tergugat dalam perkara tersebut mengatakan bahwa pihaknya melakukan pelaporan atas putusan hakim yang dinilai menyalahi kode etik. Pasalnya, hakim memutus perkara dengan mengabulkan sesuatu yang tidak diminta oleh penggugat.
“Apabila Hakim mengabulkan sesuatu yang tidak diminta bahkan menambah didalam amar putusannya, hakim dapat disebut melanggar kode etik sebagaimana diatur keputusan bersama MA dan KY,” terang Sumardhan saat di Kota Malang beberapa waktu lalu.
Pelaporan itu bermula saat Suwoko, Dirut baru PT Noto Joyo Nusantara itu menggugat 3 direksi lama yakni Dirut Abdul Khalim, Direktur Bambang Setyawan dan Komisaris M Yusuf Aminullah Yasir.
Diketahui, Abdul Khalim (tergugat 2) ketika masih menjabat sebagai Dirut PT Noto Joyo Nusantara telah membuat akta pengakuan hutang kepada Bambang Setyawan (tergugat 1) senilai Rp 22,3 milyar. Piutang itu berasal dari sisa harga tanah dan hasil kerja pembangunan perumahan yang belum dibayar oleh PT Noto Joyo Nusantara.
Untuk itu, dalam gugatannya, Suwoko meminta 57 SHGB yang tercatat atas nama PT Noto Joyo Nusantara dan 2 Letter C No.674 atas nama Kamil dan Letter C No.1867 atas nama Naim yang belum disertifikatkan untuk disahkan menjadi atas nama PT Noto Joyo Nusantara.
“Yang menjadi masalah, hakim memberikan putusan yang melebihi dari apa yang dituntut. Hakim menambahkan sertifikat milik orang lain, jadi nama orang orang dalam letter C itu dihapus dan menambah hal yang merugikan klien kami,” ucapnya.
Sumardhan menilai bahwa tindakan hakim melanggar azas ultra petita. Dimana, hakim penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut. Hal itu juga bisa disebut ultra petitum yang artinya penjatuhan putusan yang melampaui dari yang diminta oleh penggugat.
“Setiap putusan pengadilan harus punya dasar hukum. Hakim juga harus profesional, sehingga hakim tidak boleh salah salam memutus perkara,” paparnya.
“Jadi putusan ini bukan hanya akan kami laporkan ke MA, tapi juga akan kami laporkan ke Komisi Yudisial,” tandasnya.
Reporter: M Sholeh
Editor: Herlianto. A