Ditakdirkan mengidap penyakit mematikan, Dea Nenaressa Kerling (29) tak pernah patah semangat dalam menebar kebaikan. 15 tahun mengidap gagal ginjal kronis bukan sebuah penghalang baginya untuk bisa turut mencerdaskan generasi muda melalui profesi sebagai guru SMKN 1 di Trenggalek. Meski hanya honorer.
Wanita tangguh kelahiran Malang ini merasakan sakitnya gagal ginjal kronis sejak usia 14 tahun. Memiliki kondisi ginjal yang tidak normal kerap kali membuatnya kesakitan. Mulai kram perut, tubuh menggigil, kaki bengkak, gatal bagian kulit hingga insomnia.
Selain itu, dia juga harus menjalani cuci darah dua kali dalam seminggu. Bahkan cuci darah itu telah dia jalani selama 10 tahun sejak penyakitnya pertama kali dideritanya.
“Karena sudah sakit bertahun tahun, saya sampai lupa bagaimana bangun tidur dengan badan segar itu seperti apa. Saya sudah lupa,” ucap alumnus S1 Teknik Informatika Universitas Negeri Malang (UM) angkatan 2010 ini.
“Jadi saya kalau bangun tidur itu selalu berdebar debar, butuh waktu untuk bisa menstabilkan. Gak bisa kayak yang lainnya. Ini saya sampai lupa nikmatnya bangun tidur dengan badan segar itu seperti apa, saya benar benar lupa,” jelasnya.
Menurutnya, nikmat paling luar biasa adalah nikmat sehat. Karena dengan tubuh yang sehat, orang tak perlu repot harus bernafas menggunakan selang oksigen. Tak perlu berpikir minum obat apa setelah makan.
Tentu orang yang berbadan sehat selalu menjalani aktivitas dan menjalani hidup layaknya orang pada umumnya. Sementara baginya, orang sakit selalu merasa dekat dengan kematian.
“Bagi semua yang punya penyakit yang sama dengan saya, jangan putus asa. Ini bukan akhir dari segalanya. Ini justru tanda bahwa sebenarnya Tuhan memang benar sayang kepada kita. Jadi seakan kayak diberi kesempatan kedua,” ucapnya.
Selalu dikelilingi teriakan orang kesakitan saat di rumah sakit, melihat langsung dan merasakan sendiri tak membuatnya semakin tertekan. Dia justru menganggap semua itu adalah bentuk kasih sayang Sang Pencipta kepadanya. Untuk itu, dia bisa terus mendekatkan diri kepada Nya.
“Di rumah sakit kita dikelilingi dengan orang sakit juga, melihat langsung dan merasakan sakit. Itu menurut saya adalah bentuk cintanya Tuhan kepada kita. Jadi kita bisa selalu mendekatkan diri, itu nikmat juga menurut saya,” imbuhnya.
“Kalau saya selalu ambil sisi positifnya. Karena mau gimanapun hidup selalu akan terus berjalan. Jadi kalau kita mengeluh justru akan menghabiskan waktu,” imbuhnya.
Meski begitu, dia tak memungkiri bahwa menjalani cuci darah tidak selalu berjalan mulus. Bahkan dia mengaku sering merasa kesakitan dan membuatnya takut.
“Saya gak memungkiri waktu disuntik jarum cuci darah itu sakit dan gak selalu lancar. Jadi pasti ada drama drama sedikit yang jarumnya agak menceng, akhirnya sakit sampai biru biru,” bebernya.
“Kalau diawal itu sempat membuat saya down lho, semangat saya turun. Sampai akhirnya saya takut kalau mau cuci darah lagi. Karena nyuntiknya gak bener, nanti gimana. Jujur selama 10 tahun cuci darah ini, kalau mau disuntik masih dredek. Takut kalau jarumnya gak pas,” imbuhnya.
Namun mau tak mau dia harus menjalani semua proses cuci darah. Dia tak punya pilihan dan memang diwajibkan melakukannya demi bisa bertahan hidup.
“Jadi saya harus memotivasi diri sendiri untuk berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan kondisi, berdamai dengan rasa sakit. Itu sudah jadi sahabat saya sehari hari,” ucapnya.
Dia mengaku mulai menjadi guru honorer di Trenggalek sejak 2015. Sehingga sejak saat itu dia harus ke bolak balik untuk cuci darah di RSSA Kota Malang. Namun sejak sebulan terakhir, cuci darah tersebut sudah bisa di lakukan di Tulungagung.
“Sebelumnya, tiap Jumat pagi saya berangkat dari Trenggalek, sampai sana siang, langsung ke RSSA, cuci sampai maghrib. Kemudian pulang ke Turen, Senen cuci lagi, terus pulang Trenggalek. Selasa, Rabu, Kamis ngajar full sampai sore,” tutupnya.
Reporter: M Sholeh
Editor: Sujatmiko