Tugumalang.id – Di tengah hiruk-pikuk permasalahan ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia, nama Marsinah tetap menggema sebagai simbol pemberontakan buruh di Indonesia.
Marsinah, seorang buruh perempuan yang memimpikan keadilan, pada tahun 1993 naasnya menjadi korban kekerasan dan pelanggaran HAM. Ia meninggalkan kenangan pahit tersendiri dalam lembaran sejarah perjuangan buruh di negeri ini.
Kasus marsinah memang bukanlah sekadar kisah tragis, melainkan sejarah atas perlawanan buruh dalam memperjuangkan hak.
Baca Juga: Nenek Marsinah Terjebak dalam Kebakaran di Toko Kelontong Depan Polsek Kedungkandang
Berdasarkan buku seri laporan khusus berjudul Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah yang diterbitkan oleh YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Diketahui bahwa Marsinah merupakan seorang buruh yang bekerja di bawah naungan PT Catur Putra Surya (PT CPS) milik Judi Susanto di Sidoarjo, Jawa Timur.
Dia diduga dibunuh setelah disiksa dan diculik karena memimpin aksi demonstrasi untuk kenaikan upah buruh di pabrik tempat dia bekerja.
Marsinah tewas setelah 10 hari sebelumnya memperjuangkan hak 13 rekan kerjanya yang dipecat karena aksi unjuk rasa menuntut perbaikan kondisi kerja di PT CPS.
Baca Juga: Banyak Kejanggalan, Museum HAM Omah Munir di Kota Batu Gagal Direalisasikan
Unjuk rasa itu berlangsung pada 3-4 Mei 1993, bersamaan dengan aksi mogok kerja para buruh. Dalam buku Marsinah Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan (1999) karya Alex Supartono, 3 Mei 1993 menjadi hari mogok pertama para buruh PT CPS.
Mereka dihadapkan dengan aparat dari Koramil 0816/04 Porong, Muspika, Polres, Kandepnaker dam DPC SPSI Sidoarjo yang datang ke pabrik.
Sebanyak 13 orang buruh dibawa ke markas, diinterogasi dan dituduh melakukan sabotase dan menggunakan cara-cara PKI.
Pada 4 Mei 1993, hari mogok kedua. Buruh PT CPS kembali mogok kerja dalam skala yang lebih besar dibanding hari sebelumnya. Di hari yang sama, terjadi perundingan antara perwakilan buruh (termasuk Marsinah) dengan Judi Astono.
Perundingan dilaksanakan di ruangan Judi Astono, ditemani Mutiari dan Karojono Wongso (Kepala Bagian Produksi) dari pihak pabrik, dan 24 orang perwakilan buruh.
Terdiri dari 9 orang pengurus SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), 15 orang dipilih langsung oleh para buruh sebagai perwakilan. Termasuk Marsinah.
Pada 5 Mei 1993, 13 orang buruh PT CPS dipanggil dan datang ke Markas Kodim 0816 Sidoarjo. Di sana mereka ditemukan oleh Serka Karnadi yang mengatakan bahwa ke-13 buruh ini tidak lagi diperlukan di pabrik PT CPS.
Dia mendesak agar paraburuh itu mengundurkan diri saja. Mereka di PHK secara paksa sebagai bentuk hukuman dari keikutsertaan aksi mogok kerja.
Kemudian pada 9 Mei 1993, di desa Jegong, kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, sekitar 120 km ke arah Barat Surabaya. Mayat Marsinah ditemukan dalam keadaan mengenaskan.
Hasil autopsi menunjukkan bahwa Marsinah meninggal sehari sebelum mayatnya ditemukan, yakni pada tanggal 8 Mei 1993.
Dalam konteks hukum, kasus Marsinah mencerminkan tantangan besar dalam penegakan hukum di Indonesia, terutama terkait dengan perlindungan hak buruh.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, baik pekerja maupun buruh berhak atas perlindungan hukum, termasuk hak untuk berserikat dan berunding.
Namun, dalam praktiknya, banyak buruh yang masih mengalami intimidasi dan kekerasan saat memperjuangkan hak-hak mereka.
Data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan bahwa kasus pelanggaran hak buruh, termasuk intimidasi dan kekerasan, masih sering terjadi.
Dalam laporan tahunan, Komnas HAM mencatat bahwa banyak buruh yang tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dari negara, dan kasus Marsinah menjadi salah satu contoh nyata dari ketidakadilan yang dialami oleh buruh di Indonesia.
Marsinah bukan hanya sekadar nama, ia adalah simbol perlawanan yang tak pernah padam. Setiap tahun, berbagai organisasi buruh dan aktivis mengadakan peringatan untuk mengenang perjuangannya dan menuntut keadilan.
Jejaknya mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk hak-hak buruh masih terus berlanjut, dan bahwa suara-suara yang terpinggirkan harus didengar dan diperjuangkan.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: Keshia Putri Susetyo/Magang
Editor: Herlianto. A