”Dulu anak-anak di sini ya cita-citanya gak jauh dari orang tuanya. Bekerja di luar negeri, jadi buruh migran. Uang lebih penting daripada sekolah. Orang tuanya juga begitu, belum sadar kalau investasi pendidikan anak juga penting,” kata Muzaki.
Tugumalang.id – Jauh dari perkotaan, di wilayah Malang Selatan, terdapat rumah sederhana yang cukup kontras dibanding dengan sederet rumah lain di desanya yang terlihat mewah dengan cat berwarna cerah dan luas.
Rumah itu tetap setia di jalur tradisional ala desa-desa zaman dulu. Sederhana tanpa embel-embel kemewahan. Dindingnya masih kokoh berdiri terbuat dari gedek dan sebagian rumahnya bahkan masih beralas tanah.

Rumah ini terletak sejauh 35 kilometer dari pusat kota, tepatnya di Dusun Sukosari, Desa Rejoyoso, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Sebuah desa yang mayoritas warganya menjadi petani dan atau bekerja di luar negeri alias buruh migran.
Secara garis besar ekonomi, warga di sana tergolong berkecukupan. Namun sangat kontras dengan bangunan rumah itu. Kendati begitu, rumah itu lebih hidup. Setiap hari, rumah itu banyak dipenuhi suara ribut anak-anak kecil.
Di teras rumah tersebut dibangun sebuah ruangan berdinding kayu, beralas karpet sederhana, dan berhias aneka macam poster edukasi dan kerajinan anak. Ratusan buku juga tertumpuk di rak-rak kayu.
Setelah dilihat, rupanya teras dengan luasan sekitar 3×6 meter itu menjadi semacam tempat berkumpul dan belajar anak-anak di sana. Namanya Galeri Kreatif.
”Ibu bapak saya kerja jadi TKI di Saudi Arab. Kalau di rumah sering bingung dan sepi. Akhirnya ke sini dan cocok sampai sekarang, daripada di rumah. Sering pas ke sini juga ikut bantu adik-adik belajar,” ucap Mila Zahro (14), gadis kelas 2 SMP yang selalu menyempatkan diri bermain ke Galeri Kreatif.
Mila mengaku sudah sering bermain di sana sejak usia tiga tahunan. Selama itu pula, dia tumbuh dewasa bersama Galeri Kreatif.
Galeri Kreatif dibangun oleh Muzaki (31), pemuda asli sana yang juga guru di salah satu sekolah di sana.

11 tahun berdiri sejak 2011, Galeri Kreatif menjadi penyelamat bagi anak-anak buruh migran yang tumbuh tanpa pendampingan penuh orang tuanya yang mengais uang di luar negeri.
Akibatnya, perkembangan karakter anak-anak para pahlawan devisa negara ini kerap terabaikan. Banyak dari anak-anak ini cenderung malas sekolah dan tidak ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan sekian di antara anak-anak terjerumus pergaulan bebas dan narkoba.
”Dulu anak-anak di sini ya cita-citanya gak jauh dari orang tuanya. Bekerja, jadi buruh migran. Uang lebih penting daripada sekolah. Orang tuanya juga begitu, belum sadar kalau investasi pendidikan anak juga penting,” tutur Zaki, sapaan akrabnya, pada Kamis (26/5/2022).
Belum lagi, sambung Zaki, akses pendidikan anak di sini juga cukup jauh. Untuk membaca buku saja, mereka harus menempuh waktu dan jarak yang jauh. Hingga kemudian Zaki bersama temannya di desa berinisiatif membangun Galeri Kreatif.
Meski begitu bukan berarti keberadaan Galeri Kreatif mendapat respon positif sejak awal. Bahkan, orang tua di sana melarang anaknya datang. Namun seiring waktu, masyarakat mulai percaya dan mendukung.
Lambat laun, kesadaran pendidikan dan literasi masyarakat di sana mulai tumbuh. Begitu juga anak-anak mulai senang belajar, bahkan berminat melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah. Situasi itu jauh berbeda jika dibanding satu dekade lalu.
Rata-rata, orang tua anak di sini hanya sebatas tahu soal uang. Mereka lebih menginvestasikan ekonomi menjadi aset rumah atau barang. ”Tapi investasi ke pendidikan diabaikan. Anak minta apa, minta hape dibelikan. Gak sekolah, gak papa. Nanti sudah dewasa, anak-anak ini ya pilih gampangnya, jadi buruh migran,” ungkapnya.
”Banyak kok anak di sini ingin berhenti sekolah, tapi saya terus dampingi dia, agar tetap lanjut sekolah,” imbuh guru bagian konseling ini.
Kondisi itu bahkan juga dialami keluarganya sendiri. Dari enam bersaudara, hanya dirinya yang tidak ingin jadi TKI. Zaki lebih memilih jalan sunyi di dunia pendidikan. Menjadi seorang guru, menjadi sang pencerah pendidikan bagi sekitarnya.
Seiring waktu, mimpinya itu mulai terwujud pelan-pelan. Dari yang tidak sadar, menjadi sadar. Dari yang hanya bisa bermain, kini anak-anak punya wawasan luas, bisa menari, bisa membuat kerajinan tangan, bahkan membuat karya ilmiah.
Dulu, kisah Zaki, hanya delapan anak saja yang rutin belajar di sana hingga kini total ada 68 anak buruh migran, berasal dari jenjang SD hingga SMP. Mereka selalu antusias datang ke sana untuk belajar sekaligus bermain dengan teman-temannya.
Rata-rata, anak yang datang ke sana karena ingin dibantu mengerjakan tugas sekolah. Berbagai program kegiatan dilakukan Zaki mulai kelas belajar, kelompok belajar, kelas bakat minat, sanggar melukis dan tari, hingga belajar jurnalistik.
Tak hanya sekedar itu, Zaki juga menyisipkan ilmu-ilmu kewirausahaan pada anak-anak di sana agar kelak mereka tumbuh dewasa sebagai pribadi yang tangguh dan mandiri. Tidak bergantung hanya pada satu profesi, buruh migran.
”Jadi mereka juga ikut membangun lingkungannya lebih baik lagi. Sadar pendidikan. Meski anak desa, tapi gak kalah sama anak kota. Dari anak-anak di sini juga mulai banyak prestasi di sekolah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi,” harapnya.
Sejauh ini, Galeri Kreatif terus berkomitmen untuk mendampingi anak-anak buruh migran ini dalam mengakses pendidikan. Bagi Zaki, tidak ada yang lebih membanggakan dibanding melihat anak-anak buruh migran ini mau bersekolah bahkan kuliah.
”Itu saja sudah cukup. Selebihnya, mereka sendiri yang akan merasakan dampak positif dari ilmu dan pendidikan yang mereka tempuh,” tandasnya.
Apa yang diimpikan Zaki ternyata selaras dengan kebutuhan anak-anak di sana. Sebelumnya, anak-anak buruh migran ini selalu merasa kesepian dan bingung jika berada di rumah tanpa kehadiran orang tuanya.(*)
Reporter: Ulul Azmy
Editor: Lizya Kristanti
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id