Tugumalang.id – Lahir dari keluarga pesantren tidak lantas membuat kehidupan KH Noor Shodiq Askandar, wakil rektor 2 Universitas Islam Malang (Unisma), diselimuti kemudahan. Sebaliknya, sosok yang akrab disapa Gus Shodiq itu harus meniti jalan hidup yang penuh perjuangan dan usaha keras.
Sosok keturunan KH Askandar pendiri Pesantren Mambaul Ulum, Muncar, Banyuwangi itu di waktu mudanya sempat menjadi juru ketik, penjual beras hingga penjual madu. Sebelum kemudian menjabat wakil rektor 2 bidang umum dan keuangan Unisma membersamai Prof Dr Maskuri, rektor Unisma, membangun dan mengembangkan Universitas Islam Malang.
“Sejak saya kecil abah (ayahnya) itu sudah wafat jadi saya ini adalah seorang anak yatim. Sebagai seorang yatim, saya merasa hidup itu agak berat bukan karena masalah finansial saja melainkan karena ketidaklengkapan orang tua,” kenang Gus Sodiq saat diwawancara di kediamannya pada Rabu, 29 November 2023.
Baca Juga: DPM FIA Unisma Gelar Sekolah Legislatif Bahas Peran Mahasiswa di Pemilu 2024
Belajar Mandiri Malah Dagu Kena Pompa Air
Dengan kondisi tersebut Gus Shodiq akhirnya terbentuk sebagai seorang yang mandiri walau hal tersebut baru ia rasakan semenjak mondok di Gadang Malang pada tahun 1986. Saat masa mondok di Gadang, ia dihadapkan pada momen keharusan hidup mandiri yang apa-apa harus dikerjakan sendiri.
“Pernah saya mau mandi namun saya tidak tahu cara untuk memompa air, akhirnya saya menunggu sambari memperhatikan semua orang yang sedang memompa air. Lalu setelah sepi saya mencoba untuk memompanya namun hal yang tak terduga terjadi, saya harus dilarikan ke rumah sakit akibat pedal pompa airnya mental mengenai dagu saya,” lanjut sosok yang juga dosen di Fakultas Ekonomi Unisma itu.
Hal tersebut wajar terjadi kepada Gus Shodiq muda, karena dia meski seorang yatim ia dibesarkan di pondok mendiang sang ayah. Selayaknya seorang Gus pada umumnya semua kebutuhan hidupnya terfasilitasi.
Baca Juga: Zero Wasting Farming, Dosen Unisma Hasilkan Inovasi Telur Rendah Kolesterol
Tetapi dari pengalamanya di pondok Gadang Malang tersebut tertanam dalam pikiran Gus Shodiq untuk hidup mandiri tanpa bergantung kepada siapa pun. Setelah menyelesaikan sekolah menengah pertamanya ia bertekad untuk tidak melanjutkan pendidika dan lebih memilih untuk tinggal dirumah sambari belajar ilmu-ilmu pengobatan tradisional atau ketabiban.
Namun hal itu tidak bertahan lama, setahun setelah Gus Shodiq muda tinggal di rumah sang kakak memanggilnya dan menasehati agar melanjutkan pendidikan. Tanpa bantahan ia langsung menaati nasehat sang kakak yang telah dianggap sebagai pengganti sang ayah.
Jadi Juru Ketik 10 Jari
Gus Shodiq menamatkan pendidikan SMA pada tahun 1996 dan langsung melanjutkan ke Universitas Islam Malang yang kemudian menjadi tempatnya mengabdi hingga saat ini. Di kampus inilah Gus Shodiq kembali menjadi juru ketik sambil kuliah.
“Kebetulan saya memiliki kelebihan mengetik menggunakan sepuluh jari di saat orang pada umumnya hanya bisa mengetik dengan sebelas jari (menggunakan kedua telunjuknya),” guyon Gus yang suka menulis puisi tersebut.
Jadi juru ketik sebetulnya dimulai sejak akhir masa belajar SMA. Ia membuka jasa pengetikan yang kemudian hasil dari itu mampu mengkover kebutuhan sehari-hari. Usaha kecilnya itu bertahan hingga ia semester akhir di Unisma.
Penghentian itu karena dia sudah mendapat pekerjaan yang sesuai jurusannya yakni sebagai akuntan di salah satu perusahaan di Malang.
Setelah menyelesaikan kuliahnya tepat waktu dan juga sebagai lulusan terbaik pada fakultas Ekonomi dan Bisnis Unisma pada tahun 1990. Kemudian ia diterima sebagai pegawai di salah satu bank, namun sebagai pegawai bank Gus Shodiq tidak menemukan rasa nyaman dalam bekerja. Lalu setelah mendapat restu dari sang ibu ia berhenti setelah bekerja selama 7 bulan saja.
Selang 3 hari berstatus pengangguran, pria yang telah menulis beberapa buku itu kemudian dipanggil oleh almamaternya untuk menjadi seorang dosen dan diangkat sebagai dosen tetap pada tahun 1991 setelah menjalani masa percobaan selama kurang lebih satu semester.
Menjual Madu di Tempat Tukang Cukur
Menjadi dosen di kampus swasta dan juga masih tergolong baru, pastinya pendapatannya sangat jauh ketimbang gaji seorang pegawai bank. Artinya, dia memerlukan pemasukan tabahan. Dari sinilah kisah menjual madu Gus Shodiq dimulai.
“Saat itu saya diajak oleh dosen saya ke Nongkojajar, ternyata di sana beliau memiliki peternakan madu. Kemudian beliau berkata: kamu mau menjual madu, tapi dengan syarat harus melebihi penjualan orang lain. Saya langsung jawab saja siap pak,” kenangnya.
“Kemudian saya berkata, tapi saya tidak punya uang pak, dan beliau pun tidak mempermasalahkan itu (bayar tempo). Tak lama madu yang dikirimkan ke saya itu banyak sekali sampai saya bingung cara menjualnya,” lanjutnya.
Dengan madu yang sangat banyak itu dan skill marketing permaduan yang belum dikuasai Gus Shodiq pun dibuat bingung. Namun bukanlah seorang sarjana jika tidak bisa menemukan solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi.
“Saya coba observasi ke apotek ternyata mereka jarang membeli madu di sana, coba lagi ke mall juga sama, hingga pada saat saya hampir putus asa saya menemukan cara yang saat itu belum pernah dilakukan oleh orang lain, saya menitipkan madu itu di pangkas rambut,” sambil tersenyum tipis menandai ide cemerlangnya itu.
Bagi sebagian besar orang menjual madu di pangkas rambut mungkin agak terdengar aneh namun tidak untuk Gus Shodiq. Dengan kecerdasanya ia mampu membaca momen di mana orang sedang kosong pikirannya dan ketika orang sedang potong rambut pastinya pikirannya kosong dan fokus pada satu objek saja.
Tak butuh waktu lama dengan metode penjualanya tersebut, Gus Shodiq dalam kurun waktu tiga bulan saja mampu melebihi penghasilannya saat di bank.
Kini Gus Shodiq menjadi salah sosok penting bagi kemajuan Universitas Islam Malang. Selain itu, dia juga telah menulis banyak baik dalam bentuk buku maupun artikel-artikel di media tentang tema-tema seputar usaha yang bisa menginspirasi siapa pun.
Penulis: Jakfar Shodiq (Magang)
Editor: Herlianto. A