Frida Kusumastuti*
Hasil pengamatan saya di beberapa perokok dewasa, sebagian besar tidak setuju anak-anaknya juga merokok. Bahkan tidak jarang orang tua (yang perokok) itu matrah besar jika mendapati anaknya merokok. Kata-kata klise dari perokok dewasa itu adalah “Biarlah saya saja yang mengalami, jangan anakku sebab ternyata sulit sekali berhenti ngerokok itu.”
Beberapa penelitian pada perokok remaja, juga membuktikan keinginan untuk berhenti. Misal penelitian yang dilakukan oleh Akmal dan Nugraha (2017) berjudul Sikap Mempengaruhi Niat Berhenti Merokok pada Remaja SMA di Kota Bima menunjukkan 16% ingin berhenti merokok. Penelitian Herman dan Darwin (2018) berjudul Keinginan Berhenti Merokok Pada Pelajar di SMKN Padang (2018) menunjukkan 64,45% berkeingian untuk berhenti merokok. Penelitian ini juga mengutip data Factsheet Global Youth Tobacco Survey di Indonesia yang memaparkan 4 dari 5 orang perokok berkeinginan untuk berhenti merokok
Penelitian Larasati dkk. (2018) dengan judul Motivasi Berhenti Merokok pada Perokok Dewasa Muda Berdasarkan Transtheoretical Model (TTM) menunjukkan tingkat motivasi tertinggi terdapat pada tahap kontemplasi yaitu sebanyak 38,9% (62 responden). Tahap kontemplasi adalah tahap dimana seseorang masih berstatus sebagai perokok aktif, tetapi sudah berkeinginan untuk berhenti merokok dalam 6 bulan ke depan.
Cerita tentang orang tua yang tidak ingin anaknya merokok dan hasil penelitian pada remaja yang saya kutip secara tidak langsung menunjukkan kesadaran para perokok bahwa dia sebenarnya kecanduan. Dan yang namanya kecanduan, sulit sekali untuk melepaskan diri
Perokok Sesungguhnya Korban
Benang ruwet bernama kecanduan memang sulit diuraikan bagaimana cara mengatasinya? Selain motivasi yang kuat dari dalam diri sendiri, juga perlu bantuan eksternal dengan membatasi akses seseorang pada sesuatu yang membuatnya kecanduan. Runyamnya, bisnis tembakau menggempur dua cara itu dengan luar biasa.
Motivasi seseorang berhenti merokok akan ternoda dengan gempuran promosi yang melemahkan motivasi. Baik itu promosi dalam bentuk iklan, maupun sales promotion yang terus menerus. Sementara pembatasan akses pada rokok, misalnya – digempur pula dengan distribusi, display, dan terbentuknya komunitas-komunitas atas nama pergaulan yang membuat merokok ramai-ramai menjadi sesuatu yang kesannya mengasyikkan (kesenangan).
Sungguh berat bagi para perokok berada dalam situasi seperti itu. Mereka adalah korban yang menyedihkan. Tidak bisa menolong diri sendiri, dan juga tidak mendapatkan pertolongan yang memadai.
Hari Tanpa Tembakau Sedunia
Hari Tanpa tembakau se Dunia setiap 31 Mei, menurut saya merupakan salah satu kepedulian dunia untuk membantu para perokok sebagai korban. Dukungan dunia alias dukungan eksternal ini bisa dijadikan momentum bagi para perokok untuk menyadari bahwa dia tidak sendirian. Motivasi yang kuat dari diri sendiri sangat diperlukan. Meningkatkan pengetahuan tentang pengendalian tembakau, baik dari aspek kesehatan, politik, sosial, dan ekonomi sangat bermanfaat.
Efek dari merokok tidak hanya soal kesehatan. Jika dibuka dampak politik, sosial, dan ekonominya kita akan terpana. Hanya mereka yang mau berpikir kritis yang akan menyadari bahwa kecanduan merokok harus diputus! Menghilangkan ego diri sendiri demi kemaslahaan yang lebih besar adalah karunia yang luar biasa.
Apakah anda berani berhenti?