Tugumalang.id – Penanaman pohon kelapa sawit di Dusun Sumberrejo, Desa Bandungrejo, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, sejak 2012 lalu, membuat dilema saat ini. Pasalnya, para petani yang menyesal menanam tanaman sawit, dihadapkan pada 2 pilihan sulit untuk beralih ke komoditas lain. Jika tanaman tersebut ditebang pasti memakan biaya tidak sedikit, tapi jika dibiarkan tanaman tersebut mengambil tempat untuk tanaman lain.
“Dulu katanya sawit memiliki potensi yang bagus, tapi itu dulu, kalau tidak salah waktu itu tahun 2012,” terang mantan petani sawit, Parmin (50), di rumahnya, pada Rabu (26/05/2021).
Dia dulu dijanjikan bahwa harga sawit akan menyentuh angka Rp 2.000 per Kg. Oleh karena itu, dia dan beberapa warga bersemangat menanam tanaman asal Nigeria tersebut. Apalagi, mereka mendapatkan bibit sawit secara cuma-cuma. Total, ia menanam setidaknya ada 60 pohon di lahan pertanian miliknya.
Namun, angan tinggal angan, harga sawit justru anjlok di angka Rp 800 per Kg. “Saya tebang juga sudah tidak sayang, karena harga jualnya juga tidak terasa. Sayang itu kalau satu Kg harganya Rp 2.000, sekarang satu Kg harganya Rp 800,” ucapnya.
Pria yang juga Kepala Dusun Sumberrejo ini mengatakan, awal mula harga sawit anjlok karena terbengkalainya pabrik sawit di Blitar akibat kurangnya suplai sawit dari Jawa Timur.
“Kalau dulu dijualnya ada yayasan pemberi bibit, lalu yayasan membangun pabrik (di wilayah Blitar). Tapi ternyata suplai bahan kurang, contohnya kalau sehari harus produksi 50 ton (sawit) tapi kenyataannya tidak menghasilkan 50 ton (sawit),” bebernya.
“Akhirnya pabrik ini terbengkalai, lalu daripada terbentur biaya perawatan mesin. Lalu sawit ini dibawa ke Jawa Barat, tapi tidak tahu tepatnya dibawa ke Jawa Barat sebelah mana. Sejak itulah harga sawit menjadi anjlok,” imbuhnya.
Katakanlah dia tetap menjadi petani sawit, para pengepul juga tidak bisa mencairkan langsung hasil panennya. Dia harus menunggu sebulan terlebih dahulu sampai hasil panennya sampai dan diolah di pabrik di Jawa Barat.
“Selain itu, seandainya hari ini panen sawit, sistemnya tidak langsung dibayar, tapi dibayarnya bulan depannya. Padahal, rencana awalnya itu setiap petani mendapatkan rekening sendiri-sendiri, jadi uangnya langsung diambil di rekening itu,” tandasnya.
Selain itu, menurutnya sawit tidak cocok ditanam di daerahnya. Pasalnya, panen yang dia hasilkan tidak pernah bisa maksimal.
“Sekarang sawit masih produksi, tapi tidak maksimal. Kalau sawit itu sebenarnya dikatakan produktif kalau sebelum panen 2 kali. Kalau seperti ini bisa disebut tidak produktif karena jarang bisa dipanen. Padahal, ini (pohon sawit) bisa dibilang usianya sudah 8 tahunan,” ujarnya.
“Satu pohon gak sampai 20 Kg hasilnya. paling sekitar Rp 10 Kg satu pohon,” sambungnya.
Seandainya dirawat secara maksimal, menurut Parmin, hasil sawit di daerahnya tidak akan bisa mengalahkan hasil yang ada di luar Jawa.
“Sawit ini seandainya diniati harusnya bagus, intinya hanya perawatannya harus bagus. Tapi itupun tidak akan bisa mengalahkan sawit yang ada di luar Jawa,” katanya.
“Karena air di sini sulit, artinya penyerapan air di sini kurang, otomatis tingkat kesuburannya kurang,” imbuhnya.
Oleh karena itu, dia sudah tidak mau lagi mengurus pohon-pohon sawitnya yang masih berdiri tegak dan berjajar rapi mengelilingi rumahnya tersebut.
“Buah sawit ini sekarang sudah saya biarkan, gak saya panen. Sudah tidak mau lagi memanen sawit, tidak sebanding hasilnya sama perawatannya,” tegasnya.
Dan untuk beralih ke komoditas lain, sawit-sawit tersebut tetap menjadi masalah yang sulit untuk disingkirkan. Kalau diibaratkan, merawat sawit itu sulit, dimusnahkan juga tidak kalah sulit.
“Dulu saya panen sekitar setahun, setelah harga anjlok saya sudah tidak mau panen lagi. Saya sudah putus asa, ya saya babat daunnya itu. Mau saya tebang batangnya malah merepotkan,” ucapnya.
“Seandainya saya robohkan saja, pasti memakan lahan sebelahnya. Tapi kalau dibiarkan saya juga rugi, seandainya saya tanami kelapa semua bisa dapat banyak pohon,” pungkasnya.
Reporter: Rizal Adhi
Editor: Lizya Kristanti