MALANG – Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menggelar diskusi webinar bertajuk Senjakala Bara Kretek : Potret Buram Ekosistem Kretek di Indonesia, Senin 31 Mei 2021. Dimana hari itu tepat ditetapkan WHO sebagai Hari Tanpa Tembakau Se-Dunia sejak 1988.
Meski begitu, hingga saat ini masih terdapat pro kontra terhadap hari peringatan tersebut. Seperti dirasakan para petani. APTI menilai, hari Tembakau Se-dunia justru mencederai akal sehat dimana ada banyak jutaan petani tembakau dan cengkeh yang bergantung hidup terhadal hasil bumi ini.
Soeseno, Ketua APTI dalam diskusi webinar itu menyebutkan, setidaknya ada sekitar 6 juta petani tembakau yang hidup dari hasil bumi itu. Jumlah itu masih belum ditambah dengan rumah tangga petani.
Soeseno melanjutkan, salah satu perjanjian yang terus menggerus hajat hidup petani tembakau adalah FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Perjanjian tersebut berupaya hadir tidak hanya untuk merisak melainkan juga mengendalikan tembakau.
“Salah satu dari artikel FCTC yaitu negara harus melakukan konversi ke tanaman lain agar nilai ekonominya tinggi. Jadi, konsumen rokok dibatasi, atau perokok itu hilang. Caranya, konsumen rokok harus ga ada maka perkebunan tembakau harus mati. No Tobacco, No Cigarette. Di mana-mana petani tembakau menjadi sasaran FCTC,” bebermya.
Yang lebih mengerikan, lanjut dia, adalah jika Indonesia meratifikasi FCTC. Artinya, negara tidak boleh berhubungan sama sekali dengan petani. Padahal, ada banyak daerah yang menggantungkan hidup dari tembakau. Sebut saja Madura, Jember, Temanggung, dan Nusa Tenggara Barat.
Pernyataan senada diungkapkan salah satu petani cengkeh di Bali Utara, Komang Armada. Meski tanaman cengkeh dianggap lebih menguntungkan dari tembakau, tapi tidak bisa dimungkiri bahwa cengkeh adalah komponen dari kretek.
”Cengkeh dan tembakau adalah perpaduan yang tidak terpisahkan, kata dia. Oleh karena itu, apabila industri kretek mengalami penurunan maka hal tersebut berdampak kepada petani cengkeh.
“Saya sangat prihatin karena cengkeh termasuk komoditas untuk kretek. Petani cengkeh akan terdampak dari regulasi,” ujarnya.
Petani adalah salah satu rangkaian dari industri kretek. Jika ada kenaikan cukai, sejujurnya yang sangat dirugikan adalah petani. Mereka harus menekan harga bahan baku.
“Kalo pemerintah abai, dan petani tembakau dibiarkan, saya kira itu tidak adil. Hasil cukai diambil, tapi petaninya dibiarkan,” pungkas Soeseno saat mengakhiri sesi diskusi webinar.
Dalam diskusi ini juga diungkap sisi gelap intervensi global terkait kebijakan industri hasil tembakau (IHT). Jika dilihat dalam lima tahun terakhir, kebijakan IHT cenderung menyengsarakan rakyat. Mulai dari kebijakan dari sektor pertanian, akses daripada konsumen ke produk, hingga persoalan pajak, cukai, pembatasan produksi dan lainnya.
Azami selaku Ketua Komite Pelestarian Nasional Kretek (KNPK) menjelaskan dengan cukup detail soal IHT.
“Agenda besar kelompok antirokok membatasi dan membuat industri ini stagnan dan tidak tumbuh. Seakan-akan peran industri ini jatuh dan dengan sendirinya menganggap pabrik ini stagnan lalu mati.”
Bahkan, ia mengatakan bahwa dengan atau tanpa ratifikasi FCTC sejatinya Indonesia telah mengadopsi poin dari FCTC.
“Misal, 5 tahun terakhir, secara gradual, kenaikan cukai itu sudah hampir 200% seperti target FCTC yang dibebankan kepada negara” yang mengaksesnya.”
Tidak ada hanya permasalahan petani dan produk tembakau, melainkan juga ruang bagi perokok. Ini juga sangat janggal. Apalagi di berbagai daerah giat untuk mengadakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
“Ada lagi KTR yang membatasi akses untuk mengonsumsi produk tersebut. Peraturan KTR pun terkesan dipaksakan,” terangnya.
Begitu pula pernyataan dari Jibal Windiaz selaku ketua Komunitas Kretek yang mengungkapkan bahwa kejanggalan hadirnya KTR. Seharusnya yang perlu disadari dari KTR adalah ruang merokok. Dengan tegas ia berkata, “Ruang Merokok adalah ruang keadilan bagi perokok,” ujar Jibal.