MALANG, Tugumalang.id – Tak banyak kisah yang mampu menyentuh hati dan membangkitkan semangat, seperti perjalanan hidup Prof. Dr. Ir. Istirochah Pujiwati, M.P, guru besar Unisma. Dia lahir dari keluarga sederhana, dengan ayah berprofesi sebagai seorang sopir dan ibu yang buta huruf.
Tetapi ia membuktikan bahwa semangat belajar, ketekunan, dan keyakinan mampu membawa seseorang meraih puncak akademik, yakni sebagai Guru Besar di Universitas Islam Malang (Unisma).
Kepada Tugumalang.id, sosok dosen yang akrab disapa Isti itu menceritakan bagaimana keterbatasan ekonomi, membuat ia dan saudaranya sempat merasakan makan nasi aking kukus untuk menyambung hidup. Hal itu dilakukan Prof. Isti bersama kelima saudaranya, karena harus ditinggal kedua orang tuanya mencari nafkah.
Baca Juga: Prof Junaidi Mistar, Guru Besar Unisma yang Pernah Bekerja jadi Patung di Australia
Akan tetapi keterbatasan tersebut tidak menyurutkan semangat Isti di masa kecil untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin. Justru dari keadaan tersebut, perempuan kelahiran Malang, 24 Februari 1968 itu, belajar arti ketekunan dan semangat pantang menyerah.
“Kami lahir dari keluarga yang sangat marjinal, bapak saya seorang sopir dan ibu tidak bisa baca tulis, hanya orang desa dari Wagir (Kabupaten Malang),” tutur Prof. Isti.
Masa Kecil Menempa Semangat Juang dan Dedikasi
Lahir dan dibesarkan dalam keluarga dengan keterbatasan ekonomi, Prof. Isti kecil harus mengalami arti perjuangan sejak usia dini. Namun keterbatasan itu tidak pernah menyurutkan semangatnya dalam menempuh pendidikan.
Dari keadaan yang terbatas, ia belajar dan memahami makna semangat juang dan dedikasi untuk menyelesaikan pendidikan dengan hasil semaksimal mungkin.
Baca Juga: Bright English Day di Sekolah, Cara Mahasiswa PPG Unisma Bumikan Bahasa Inggris Sejak Dini
Prof. Isti menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Negeri 3 Dinoyo Malang. Setelah lulus SD, ia melanjutkan ke SMP Negeri 1 Malang, SMA Negeri 4 Malang, hingga diterima menjadi mahasiswa Universitas Brawijaya melalui jalur prestasi (sekarang SNBP).
“Kami terus berjuang (menempuh pendidikan), alhamdulillah mulai SD sampai SMA dan kemudian sampai diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui PMDK, kalau sekarang jalur undangan,” kenangnya.
Meski dalam kondisi terbatas, Prof. Isti berpandangan bahwa pendidikan sangat penting sebagai investasi di masa depan. sehingga waktu itu, ia selalu memiliki keinginan untuk belajar di lembaga pendidikan terbaik meski keadaannya terbatas.
Berkat ketekunan dan kegigihannya dalam belajar, Prof. Isti selalu diterima bersekolah di lembaga pendidikan favorit, hingga jenjang perguruan tinggi.
“Saya berpikir sendiri, bagaimana bisa masuk SMA favorit sehingga memilih SMAN 4 (Malang). Jadilah saya terbaik di SMA 4, karena dulu berdasarkan nilai rapor, bisa masuk PMDK. Akhirnya masuk di Universitas Brawijaya tanpa tes,” ungkap Prof. Isti.
Sempat jadi Guru Les Hingga Tukang Cuci Baju Anak Kos
Setelah diterima sebagai mahasiswa Universitas Brawijaya (UB), Prof. Isti dihadapkan pada permasalahan biaya kuliah. Saat itu, di tahun 1987 biaya kuliah yang harus dibayarkan Prof. Isti sebesar Rp 120 ribu. Nominal yang cukup besar pada zaman itu, tetapi ia tak putus asa dan yakin akan ada jalan asal ada kemauan dan usaha.
Berbekal semangat untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman, Prof. Isti bekerja sampingan sebagai guru les, jualan kue, hingga jadi cuci baju anak kos.
Alih-alih gengsi, Prof. Isti menjalani pekerjaan tersebut dengan ikhlas agar bisa menyelesaikan studinya.
“Enggak punya uang, akhirnya bagaimana caranya melakukan segala cara bermacam-macam. Mulai ngelesi (guru les), cuci baju anak kos, jualan kue dititip-titipkan,” ujarnya.
Namun, melihat kegigihan dan ketekunan Prof. Isti, takdir seperti ikut turun tangan membantunya menyelesaikan studi. Memasuki semester kedua, ia memperoleh Beasiswa Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), salah satu beasiswa bergengsi.
Berkat beasiswa tersebut, Prof. Isti dapat fokus menyelesaikan studinya dan berhasil menjadi lulusan terbaik dengan predikat cumlaude dengan pujian. Ia hanya butuh waktu tidak sampai empat tahun untuk menyandang gelar sarjana di bidang pertanian.
Memulai Karier sebagai Akademisi
Usai menyelesaikan studi di jenjang Strata 1 (S1), Prof. Isti melanjutkan karier sebagai seorang akademisi di Unisma. Ia memulainya sebagai asisten pada tahun 1992, dan kemudian diangkat menjadi dosen pada tahun 1994.
Kemudian melanjutkan studi ke jenjang Strata 2 (S2) dengan menerima beasiswa bergengsi dari Bank Dunia, University Research for Graduate Education (URGE). Dari beasiswa tersebut, Prof. Isti tidak hanya bisa menempuh pendidikan S2, tetapi juga bisa membangun rumah.
Studi S2-nya pun selesai pada tahun 1998, semangatnya untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin, Prof. Isti kembali menerima beasiswa untuk melanjutkan studi Strata 3 (S3).
Saat itu, ia mendapatkan beasiswa dalam negeri BPPDN dan lulus tidak sampai empat tahun. Sebuah pencapaian yang luar biasa bagi anak seorang sopir, mampu menyelesaikan studi S3 lebih awal, tidak sampai empat tahun, Prof. Isti menyandang gelar Doktor.
“Saya lulus S3 diwisuda pada tanggal 15 Desember 2018. Saya masih ingat dinobatkan sebagai lulusan terbaik program Doktoral UB, dengan IPK 3,97,” kenang Prof.Isti.
Tetapi semua itu dilalui Prof.Isti tidak mulus-mulus saja, karena ia harus membagi waktu sebagai akademisi dan juga mendapat amanah Kepala Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK) di Unisma selama dua periode.
Kemudian di era kepemimpinan Rektor Unisma, Prof. Maskuri, tugas tambahan diberikan kepada Prof. Isti yakni tambahan K, yaitu kerja sama.
Meski harus membagi waktu sebaik mungkin antara amanah pekerjaan dan kewajiban menyelesaikan studi. Prof. Isti menjalaninya dengan penuh keikhlasan.
“Sambil menjabat Kepala Biro yang pekerjaannya luar biasa, tetapi Allah memberikan berbagai kemudahan. Saya bisa lulus (S3), tidak sampai empat tahun,” ucapnya.
Berkah di Tanah Suci
Di balik keberhasilan Prof. Isti menyelesaikan studi S3 lebih cepat, ia menyebut ada berkah saat menjalankan ibadah haji di tanah suci. Waktu itu tujuh hari sebelum pergi menunaikan ibadah Haji, Prof. Isti menjalani ujian disertasi.
Hasilnya, ia lulus dengan predikat lulusan terbaik dan berhak menyandang gelar Doktor. Setelah menjalankan ibadah Haji, Allah memberi amanah baru kepadanya, yakni dipercaya sebagai Wakil Rektor 4 (WR 4) Unisma.
Prof. Isti mengatakan bahwa amanah tersebut adalah nikmat besar dari lika-liku kehidupannya yang penuh keterbatasan di masa kecil.
“Alhamdulillah, berkah Haji kemudian terpilih menjadi Wakil Rektor 4 di tahun 2019. Waktu itu menerima SK di tanggal 1 Februari sampai kemarin menjabat di tanggal 31 Juli 2024,” ungkap Prof.Isti.
“Dari kesengsaraan itu ternyata berbuah nikmat yang amat besar. Itu perjuangan yang penuh lika-liku, tetapi kita enggak patah arang karena kita punya Allah yang Maha Kaya. Karena Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan manusia itu sendiri,” imbuhnya.
Amanah Guru Besar
Dikukuhkan menjadi Guru Besar Unisma dalam bidang Ilmu Fisiologi Tumbuhan Fakultas Pertanian dan menerima SK dari Kemendiktisaintek per 1 April 2025 lalu. Prof. Isti menilai amanah baru tersebut, adalah tanggung jawab keilmuan yang sangat besar.
Ia juga menyebut perjalanannya menjadi seorang guru besar karena takdir Allah SWT. Tidak sampai setahun dari pengajuan, Prof. Isti sudah dinyatakan layak dan memenuhi kriteria diangkat sebagai guru besar.
“Rasa syukur yang luar biasa, dan saya memandang ini adalah kekuatan doa. Di sepertiga malam, saya selalu berdoa untuk diberikan kemudahan semua urusan dan proses yang ada,” tutur Prof.Isti.
“Ini (guru besar) menjadi beban, tanggung jawab karena seorang guru besar mempunyai kewajiban harus menyebarkan gagasan. Artinya harus bermanfaat bagi masyarakat akademik maupun masyarakat pada umumnya.
Keinginan dan Pesan Kepada Generasi Muda
Setelah mendapat amanah sebagai Guru Besar Unisma, Prof. Isti ingin mengabdikan dirinya untuk menyelesaikan masalah kedelai di Indonesia. Ia mengatakan bahwa pasokan kedelai di Indonesia sebagian besar dari impor.
Di masa depan, ia ingin kebutuhan kedelai di dalam negeri bisa dipenuhi oleh petani Indonesia tanpa perlu impor. Melalui riset yang sudah dikembangkan Prof. Isti sejak tahun 2011 lalu, pihaknya ingin membantu petani dalam meningkatkan produksi kedelai dalam negeri.
“Saya berupaya bagaimana bisa membantu pemerintah, membantu petani untuk bisa meningkatkan produktivitas tanaman kedelai dengan teknologi dan kajian yang saya lakukan sejak tahun 2011,” beber Prof.Isti.
Prof. Isti menyebut petani Indonesia hanya memenuhi 30 persen saja dari total keseluruhan kebutuhan kedelai. Setiap tahun, Indonesia mengimpor 22 juta ton kedelai terutama dari Amerika Serikat. Permasalahan itulah yang akan diselesaikan oleh Prof. Isti melalui kajian pengembangan keilmuan dan teknologi.
Selain itu, Prof. Isti juga mengajak generasi muda untuk tidak malu menjadi petani dan harus merubah mindset mereka. Dari yang hanya berpikiran menjadi job seeker harus berubah menjadi job creator di bidang pertanian.
Menurutnya dengan kondisi perkembangan teknologi yang begitu maju saat ini, generasi muda harus memanfaatkannya menjadi lapangan pekerjaan baru.
“Saya berharap pada generasi muda, di pertanian jangan memandang ini sebagai hal yang kumuh. Tapi sekarang kita bergeser dengan teknologi yang semakin maju, lulusan pertanian tidak harus menjadi pegawai. Tetapi bisa menjadi entrepreneur yang menciptakan lapangan kerja,” tutup Prof. Isti.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: Bagus Rachmad Saputra
Editor: Herlianto. A