Kami Arema Salam Satu Jiwa…
Aremania selalu merinding menyanyikan lagu ini. Nyanyian kebanggaan. Menyatukan jiwa. Jiwa-jiwa jawara. Nyanyian yang hadir sekitar tahun 2010, yang ikut mengarungi bersama perjuangan Arema menjuarai kompetisi liga.
Tahun 2022 ini, saya kembali melihat Arema. Melihat dan merasakan kesedihan yang sangat dalam. 1 Oktober 2022, Aremania gugur, bertumbangan, tak kuat melawan asap. Asap yang lebih ngeri dari wedus gembel. Lebih dahsyat dari cumulonimbus.
Malam itu, saya dengar kabar 2 supproter meninggal, kemudian 40, lalu jumlahnya terus naik. Pagi hari sudah tercatat lebih seratus. Wartawan tak ada yang tidur, membantu evakuasi. Dan lanjut menguak tragedi.
Satu persatu Aremania dikabarkan gugur. Di rumah sakit di Kepanjen, di Kota Malang, dan di Kota Batu. Kabarnya juga ada yang langsung dibawa pulang ke rumah duka.
Sementara hari itu, spekulasi muncul banyak sekali. Supporter disalahkan. Beritanya kericuhan. Hari Minggu, saya tak bisa libur seperti biasa. Tak kuat mendengar kabar duka.
Yang tidak pernah nonton bola, mengutuk supporter sebagai pemicu kericuhan. Yang punya tanggungjawab, menyudutkan supporter di lapangan.
Lihatlah, betapa sedihnya seorang ibu kehilangan putranya yang dermawan. Seorang ibu sangat terpukul kehilangan anaknya yang baru ulang tahun ke-17. Seorang ibu tersakiti kehilangan anaknya yang baru kali pertama nonton di stadion. Orang tua kehilangan anaknya, anak kehilangan orang tuanya. Ada yang kehilangan semuanya.
Setelah kesedihan sangat tampak, sangat jelas, semua mulai minta maaf. Lalu pintu yang tak punya mata dituding-tuding jadi biang keladi. Itu kata mereka yang harus disalahkan.
Kau ini bagaimana atau harus aku yang bagaimana? Begitu tanya Gus Mus. Seolah bingung padahal semua jelas dan terang.
Tahun ini tidak akan dilupakan oleh banyak orang. Tragedi besar yang mengguncang dunia. Saat sepak bola modern sudah dikenal hingga kampung terdalam. Pertandingan sepak bola profesional malah memakan korban jiwa yang banyak.
Aremania, tidak pernah anarkis. Aremania masuk lapangan ingin peluk pemain Arema. Itu biasa terjadi. Saya pernah merasakan, mendukung Arema dengan fanatik. Mendukung langsung di stadion. Menabuh bassdrumb, mengibarkan bendera. Bahkan pernah kecopetan.
“Belum jadi Aremania kalau belum kecopetan,” saya ingat Sam Daox Sumberpucung pernah bilang begitu. Saya pernah menjadi bagian dari Korwil Aremania 86.
Saya merasakan betul, anak-anak remaja di Malang, akan sangat lantang mendukung Arema. Hingga mereka dewasa dan menjadi tua. Menjadi Aremania bukanlah hal yang sia-sia. Bahkan tidak hanya warga Malang, ada saja orang yang tidak punya kaitan dengan Malang, menjadi Aremania.
Saat ini, orang yang berpikir jernih akan mengambil pelajaran. Bagaimana berbuat dan apa dampaknya. Jika tidak, kesalahan akan terus diulang.
Para supporter sepak bola Indonesia saat ini contohnya. Sudah mau bersatu dalam persaudaraan. Satu Indonesia. Mereka tidak mau lagi tragedi kemanusiaan terjadi di waktu berikutnya.
Tapi tragedi sudah terjadi. Banyak tragedi dalam sejarah lampau, sebuah tahun kemudian disematkan pada tragedi itu. Gunanya sebagai pengingat. Bahwa peristiwa yang besar mengandung pelajaran yang besar.
Seperti tahun ini, kita tidak akan pernah lupa. Tahun 2022 saya sebut Tahun Kanjuruhan. Saat supporter klub sepak bola datang ke stadion dengan sukacita, namun pulang mengabarkan dukacita.
Husnul Khatimah, Jiwa-Jiwa Jawara!
Fajrus Sidiq
GM Tugumalang.id