Oleh: Moh Kholid*
Tugumalang.id – Manusia terlahir dalam kondisi tidak tahu (ignorant), bukannya bodoh. Pendidikanlah yang membuat mereka menjadi dungu. Kalimat ini terdengar sangat menyinggung dan bahkan sarkastik.
Namun apa yang disampaikan Bertrand Russel (filsuf Britania Raya) di awal abad 20-an itu serasa benar dan menemukan titik rasionalitasnya di masa yang sangat mendewakan Sistem Pendidikan yang sangat pekat aroma prosedural dan bercorak sangat melangit (tidak membumi) dewasa ini.
Menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2024, tingkat pengangguran lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mencapai 4,91% pada Agustus, tertinggi di antara jenjang pendidikan lainnya.
Lebih dari 60% lulusan SMK bekerja tidak sesuai dengan kompetensi yang dipelajari selama pendidikan. Namun angka-angka ini hanyalah permukaan dari krisis sistemik yang jauh lebih kompleks. Seorang lulusan SMK Teknik Komputer, misalnya, menjadi potret hidup dari realitas ini.
Baca Juga: Museum Pendidikan, Menelusuri Jejak Sejarah Perkembangan Pendidikan di Kota Malang
Setelah tiga tahun belajar di jurusan teknologi informasi, ia kini bekerja sebagai pramusaji di sebuah kafe di pinggiran kota. Mimpi-mimpinya tentang teknologi terkubur di balik nampan pesanan dan mesin kopi.
Ini merupakan representasi sistemik dari kegagalan pendidikan. Persoalan paling fundamental terletak pada ketidakstabilan sistem pendidikan itu sendiri. Indonesia telah mengalami minimal enam kali perubahan kurikulum utama sejak era reformasi: dari Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 (KBK), Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka Belajar.
Setiap pergantian ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan guncangan filosofis yang mempengaruhi nasib jutaan peserta didik. Setiap kali kurikulum diganti, guru dipaksa beradaptasi dalam waktu singkat, siswa kehilangan kontinuitas pembelajaran, dan sistem pendidikan terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Filosofi pendidikan sejati—yang seharusnya menjadi ruang pembebasan dan pengembangan potensi—justru tereduksi menjadi sekadar eksperimen administratif yang tidak berujung. Dampak terburuk dari pergantian kurikulum ini tidak sekadar pada aspek akademis, melainkan pada kesehatan mental generasi muda.
Baca Juga: Dikenal Sosok yang Peduli Pendidikan, Gen Z Kota Batu Bulat Pilih Nurochman-Heli
Generasi Z menghadapi tantangan unik yang tidak pernah dialami generasi sebelumnya. Mereka adalah generasi pertama yang tumbuh dalam era digital total, dengan akses informasi tak terbatas namun nirmakna. Sistem pendidikan tidak mampu memahami kompleksitas psikologis mereka—kebutuhan akan makna, autentisitas, dan ruang ekspresi diri yang sesungguhnya.
Paulo Freire pernah mengingatkan bahwa pendidikan sejati bukanlah proses “menaruh” pengetahuan ke dalam kepala peserta didik, melainkan proses di mana manusia belajar membaca dunia, memahami konteks sosial, dan pada akhirnya mampu mengubahnya. Namun sistem pendidikan kita justru sebaliknya—membatasi, menormalisasi, dan mengabaikan kesehatan mental. Plato di Akademianya dahulu membayangkan pendidikan sebagai perjalanan pencerahan—sebuah proses transformasi yang melampaui sekadar transfer pengetahuan.
Kini, model pendidikan di negara kita telah tereduksi menjadi sekadar mekanisme produksi tenaga kerja yang efisien namun kehilangan jiwanya. Ki Hajar Dewantara, sang pendidik sejati, pernah mengatakan bahwa pendidikan haruslah mampu menumbuhkan kesadaran “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” — membimbing, membangun semangat, dan memberikan kekuatan. Namun sistem saat ini justru sebaliknya: ia membatasi, menormalisasi, dan mengekang potensi kreativitas.
Khusus untuk pendidikan kejuruan, persoalan semakin kompleks. Kurikulum dirancang seakan-akan siswa adalah mesin yang dapat diprogram ulang sesuai kebutuhan pasar. Seorang siswa teknik mesin tidak sekadar diajarkan cara memperbaiki mesin, melainkan seharusnya dibimbing untuk memahami filosofi di balik teknologi.
Mengapa mesin diciptakan? Bagaimana teknologi dapat menjadi perpanjangan tangan kreativitas manusia, bukan sekadar alat produksi? Ironi terbesar terletak pada fakta bahwa semakin canggih teknologi, semakin terdegradasi hubungan manusia dengan makna sejati pendidikan.
Sekolah kejuruan yang seharusnya menjadi tempat mengasah kreativitas, kritis, dan inovatif, justru berubah menjadi ruang reproduksi mekanistis untuk memenuhi kebutuhan industri. Pertanyaan filosofis mendesak dan harus segera dijawab adalah: Dapatkah kita merancang ulang pendidikan?
Dapatkah kita menciptakan sistem yang tidak sekadar mengalihkan keterampilan, melainkan mentransformasi kesadaran? Sebuah pendidikan yang mampu melihat setiap individu sebagai subjek dengan potensi unik yang menunggu untuk dibangkitkan. Pendidikan yang layak bukanlah tentang menghasilkan tenaga kerja atau sekadar mentransfer pengetahuan.
Ia adalah perjalanan pembebasan—membangun manusia seutuhnya, dengan segala kompleksitas pikiran, perasaan, dan potensi transformatifnya. Sanggupkah kita membayangkan ulang pendidikan? Sanggupkah kita mengembalikan jiwa—bukan sekadar menghasilkan tenaga kerja, melainkan membentuk manusia yang utuh, kritis, bermartabat, dan siap menghadapi kompleksitas kehidupan?
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Editor: Herlianto. A
*Penulis adalah staf pengajar di STF Al Farabi Malang dan mahasiswa Pascasarjan Universitas Islam Malang