Oleh: Khoiron*
Tugumalang.id – Pesta demokrasi 5 tahunan tinggal beberapa bulan lagi (Februari 2024) dan bakal calon presiden untuk sementara ada Prabowo, Ganjar dan Anies. Ketiga calon presiden mencoba untuk merebut suara warga nahdliyin melalui pemilihan bakal calon wakil yang merepresentasikan NU.
Yang menjadi pertaruhan bukan saja bagaimana memilih cawapres yang merepresentasikan NU, tetapi juga apakah warga nahdliyin hari ini sudah cukup dewasa dan rasional dalam preferensi politiknya? Warga nahdliyin mafhum bahwa setidaknya 2 kali Pemilu (2014 dan 2019), NU selalu saja diseret oleh elit-elit NU untuk menjadi pihak dalam kompetisi politik.
Bagi aktor politik, tentu pilihan rasional jika melihat data sekitar 60% warga muslim Indonesia mengidentifikasikan diri sebagai warga NU. Salah memilih calon wakil presiden yang kurang merepresentasikan NU, di atas kertas akan sulit untuk keluar sebagai pemenang.
Baca Juga: Pemanasan Mesin Politik di Malang, Cak Imin Gaungkan Perubahan
Memang, secara institusional NU tidak boleh berpolitik praktis, namun menghadapi perhelatan politik 2024, warga nahdliyin harus menggunakan rasionalitas dalam preferensi politiknya. Tanpa rasionalitas, relevansi NU menjadi taruhan di tengah potensi kembalinya politisasi identitas, termasuk identitas NU itu sendiri.
Pasca Muktamar NU tahun 2021, Gus Yahya telah dengan jelas dan gamblang untuk menjaga jarak dengan semua parpol, tidak terkecuali dengan PKB. Partai yang sejak kepemiminan Kiai Said (2010-2021) sangat dekat dengan NU. Sebaliknya, dewasa ini publik melihat ada relasi antara keduanya mengalami ketegangan.
Memang, selama kepemimpinan Said Aqil, PKB mendapatkan privilege (al-imtiaz) yang cukup, sebaliknya di bawah kendali Gus Yahya PKB diminta tidak memperalat NU dalam politik praktis. Dibandingkan dengan partai Islam lain yang lebih stabil dalam hubungannya dengan induk idelogisnya, relasi PKB dan NU tidak demikian.
Bisa dikatakan relasi keduanya dinamis-untuk tidak mengatakan tidak harmonis. Kalau situasi ini dibiarkan terus menerus, dikhawatirkan kedewasaan dan kebesaran NU dan PKB sulit diwujudkan.
Baca Juga: Panasi Mesin Politik, Anies-Muhaimin Gelar Jalan Sehat Sapa Warga di Kota Malang
Untuk itulah, perlu mendudukkan persoalan ini secara jernih dengan memahami inti permasalah dan menciptakan relasi keduanya dalam kerangka yang lebih konstruktif dan rasional. Untuk bisa menjernihkan itu, perlu dipetakan terlebih dahulu dua posisi politik yang mencirikan relasi NU-PKB selama ini.
Posisi pertama, ada yang menilai bahwa NU dan PKB itu satu paket. NU adalah rumahnya PKB, dan PKB adalah kendaraan politik resmi bagi NU. Mereka menilai, selama ini tidak ada partai yang serius memperjuangkan aspirasi NU.
Wajar jika PKB meminta NU mendorong warganya menyalurkan suaranya kepada PKB. Dari sini, PKB itu identik dengan NU dan sebaliknya. Kata-kata “warga NU wajib pilih PKB”, dan semacamnya muncul dari posisi ini.
Sementara posisi kedua, menilai bahwa NU dan PKB tidak identik, atau sebaiknya memang tidak identik. NU adalah rumah besar semua partai politik. Tidak boleh ada yang merasa paling berhak mendapatkan perlakuan istimewa, sebab semua partai berhak mendapatkan dukungan dari warga nahdliyin.
NU bukan partai politik dan NU tidak boleh dikuasai atau dimonopoli oleh partai politik manapun. Posisi ini bagaimanapun harus tetap ditegaskan agar NU tidak terlihat anti dengan partai. Warga NU itu beragam karenanya jangan diseragamkan preferensi politiknya. Kata-kata “warga NU tidak haram pilih PAN”, dan semacamnya muncul dari posisi ini.
Benar bahwa PKB lahir dari NU, tetapi penyempitan preferensi politik warga nahdliyin hanya pada satu saluran politik saja secara tidak sadar justru mengerdilkan NU itu sendiri. Bukan hanya mengecilkan NU tetapi juga bisa membuat PKB sendiri tidak bisa berkembang menjadi partai yang modern, terbuka dan profesional karena tidak mampu menarik dukungan dari kelompok lain di luar NU.
Mungkin ketegangan dua posisi itu akan terus ada dan tak perlu dihilangkan salah satunya, juga tidak perlu dilihat sebagai sesuatu yang negatif, justru kalau keduanya bisa berjalan beriringan akan membuat hubungannya lebih sehat. Hubungan yang sehat bukan yang adem ayem saja, konflik dan perbedaan pandangan tetap diperlukan agar tidak jumud dan menjadi konservatif.
Hal ini didasari oleh tradisi pesantren yang sudah terbiasa dengan perdebatan dan perbedaan, dan sebetulnya kegaduhan seperti ini tidak perlu dirisaukan oleh warga nahdliyin. Lalu, politik apa yang diperlukan agar baik NU maupun PKB saling mendukung, sama-sama membesar, rasional, dewasa, mampu menjawab perubahan dan mewujudkan peradaban baru dalam berpolitik? Untuk menjawab dan mewujudkan pertanyaan di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan antara lain :
Pertama, sudah saatnya NU dan PKB meninggalkan perdebatan normatif tentang mandat, sejarah, dan aturan-aturan lain. Hal itu maksudnya bukan tidak penting, tetapi kalau terlalu fokus disitu saja, NU dan PKB tidak akan pergi kemana-mana.
Yang perlu dilakukan adalah dengan melampaui perdebatan itu menuju grand strategy bersama yang dapat membesarkan keduanya. NU perlu mendengarkan kekhawatiran PKB terkait penurunan suara, disisi lain PKB juga harus bisa menjawab kekhawatiran terkooptasinya NU oleh PKB. Melalui grand strategy itu, masing-masing akan menjadi besar justru dengan tidak berdebat soal mandat, sejarah dan aturan-aturan lain.
Kedua, melakukan reposisi politik. Dalam rangka menciptakan politik peradaban baru, PKB tidak perlu risau bahwa keidentikannya dengan NU akan luntur dan akan mempengaruhi perolehan suara pada pemilu tahun 2024 nanti. Sebaliknya, NU juga harus mengakui dan tidak alergi terhadap PKB. Yang diperlukan adalah bagaimana membangun citra publik yang luas bahwa NU bukan hanya PKB dan PKB bukan hanya NU.
Artinya, NU bisa di isi politisi dari PDIP, Golkar, PAN dan lain-lain, pun sebaliknya PKB bisa berisi warga dari Muhammadiyah, Persis dan kelompok lainnya. Mungkin hal ini sudah di sadari atau sudah diketahui, tapi rasanya belum dilakukan secara serius, utamanya PKB. Inilah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan jika ingin menjadi partai terbuka dan modern.
Menurut saya, jika kedua hal itu dilakukan, praktik berpolitik yang baru dan sehat dapat kita ciptakan, dan akan menjadi agenda penting dalam pemikiran politik dimasa depan.
*Anggota Kagama UGM, Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Malang dan Alumni Sekolah Riset SatuKata, Yogyakarta
Editor: Herlianto. A