MALANG, Tugumalang.id – Pengacara senior asal Malang, MS Al Haidary disela-sela kesibukannya sebagai seorang advokat membagikan makna keteladanan bulan Ramadan bagi umat muslim dari kacamata seorang advokat. Bulan Ramadan bagi Haidary adalah bulan istimewa dengan diwajibkannya setiap umat Islam yang sehat dan sudah baligh menjalankan ibadah puasa.
Bagi pengacara yang semasa muda pernah menempuh pendidikan di pesantren itu. Ibadah puasa di bulan Ramadan adalah ibadah istimewa selain ibadah wajib lainnya. Jika ibadah wajib lain seperti salat dan zakat dilaksanakan untuk manusia dan pahalanya kembali ke manusia.
Menurut Haidary, ibadah puasa memiliki keistimewaan tersendiri karena siapapun umat Islam menjalankan ibadah puasa akan mendapat ganjarang berlipat dari Allah SWT dan melaksanakan puasa karena Allah bukan semata-mata untuk diri setiap umat Islam masing-masing.
Sebagaimana subtansi hadits dari Allah SWT tetapi redaksinya dari Rasulullah yang berbunyi: Asshaumu lii wa ana ajzi bihi. (الصوم لي وانا اجز به). Ibadah puasa (ramadan) itu untukku dan aku yang akan memberi imbalan kepada yang puasa.
Baca Juga: Ramadan 2024, Warga Binaan Lapas Perempuan Malang Sibuk Produksi Kue Kering
“Kalau puasa, zakat, bahkan haji sudah diatur dan jelas aturannya. Cuma puasa ini berbeda dengan ibadah madhah (wajib) yang lain,” tuturnya.
“Ibadah salat atau zakat bisa dibilang ibadah-ibadah yang untuk kepentingan pelakunya. Seperti saya salat, ya itu untuk kepentingan saya dan pahalanya ada di saya, zakat juga begitu. Tapi puasa diakui sebagai milik Tuhan, ada hadist yang menerangkan puasa untuk ku (Tuhan) dan Tuhan sendiri yang memberikan imbalan. Itu bedanya dengan zakat dan salat,” beber Haidary.
Menjalankan ibadah puasa, di mata Haidary hendaknya dilakukan sungguh-sungguh oleh setiap muslim. Bukan hanya sekedar menahan rasa lapar dan haus maupun segala bentuk perbuatan maksiat.
Karena makna ibadah puasa Ramadan yang paling utama adalah bagaimana setiap muslim bisa menahan diri terhadap segala sesuatu yang bersifat duniawi secara berlebihan.
Oleh karena ibadah puasa harus harus dijalankan secara sungguh-sungguh baik lahir maupun batin. Bagaimana setiap umat Islam bisa mengontrol hawa nafsu mereka termasuk nafsu terlalu berambisi terhadap duniawi.
Baca Juga: Gus Tamyis Divonis 15 Tahun, Kuasa Hukum Pertimbangkan Banding
Haidary memberi contoh seperti seorang calon pemimpin yang tidak bisa mengontrol dirinya karena sudah ingin segera berkuasa untuk kepentingan dirinya sendiri bukan untuk masyarakat yang dipimpinnya.
“Melaksanakan puasa harus dengan sungguh-sungguh harus dengan keimanan. Banyak orang puasa karena kelakuan saja yang ditampakkan sehingga banyak orang berpuasa tidak mendapatkan pahala kecuali rasa lapar dan haus,” kata Haidary.
“Puasa itu menahan segalanya, bukan hanya puasa menahan haus, lapar, dan segala sesuatu yang termasuk maksiat. Bagi seorang muslim seharusnya bisa menahan dirinya, bukan hanya ketika dalam suasana Ramadan,” ungkapnya.
Namun, Haidary menjelaskan bahwa selama ini memang ada kesalahpahaman mengenai tafsir masalah duniawi. Sebagaimana anjuran Nabi Muhammad SAW atau Rasulullah SAW bahwa menahan segala urusan duniawi bukan berarti harus menjadi miskin dan tidak bekerja karena mengutamakan akhirat saja.
Tetapi Rasulullah SAW menganjurkan bahwa setiap umat Islam hendaknya memiliki keseimbangan dalam mengejar urusan duniawai dan urusan akhirat secara seimbang dan proporsional.
“Dalam Islam akan bohong jika mengatakan orang Islam harus melarat. Nabi (Muhammad SAW) menyuruh untuk bekerja sebagaimana kepentingan dunia seakan hidup seribu tahun atau selamanya. Tapi juga kerjakan untuk kepentingan akhirat, seakan-akan kamu mati besok,” jelasnya.
Artinya dalam melihat segala sesuatu hal bagi Haidary hendaknya semua dilihat dengan seimbang. Itulah makna ramadan bagi seorang advokat senior asal Malang tersebut.
Di sisi lain, Haidary mengingat masa kecilnya saat bulan Ramadan dimana kondisi saat itu segala sesuatunya masih terbatas dan belum semudah sekarang untuk mengaksesnya. Tidak ada radio atau siaran televisi sebagai sarana ngabuburit menunggu adzan Maghrib untuk berbuka puasa.
Di Kota Malang saat itu, sekitar tahun 1970-an untuk mengetahui waktu berbuka adalah menunggu blangbur (semacam petasan) yang dibunyikan di depan Masjid Jami Kota Malang sebagai penanda waktu telah memasuki adzan Maghrib.
Setelah blangbur berbunyi baru kemudian disambut dengan pukulan bedug dan adzan Maghrib berkumandang menandakan waktunya berbuka puasa.
“Dulu serba sederhana, waktu Maghrib enggak menyalakan TV atau radio. Tapi blangbur di Alun-Alun (Merdeka Kota Malang), jadi seluruh Malang dengerin blangbur dan itu menandakan sudah Maghrib,” terang Haidary saat mengingat sekaligus nostalgia menikmati Ramadan di masa mudanya dulu.
BACA JUGA: Berita tugumalang.id di Google News
Penulis: Bagus Rachmad Saputra
editor: jatmiko