MALANG, Tugumalang – Friends with Benefits (FWB) atau jalinan hubungan tanpa ikatan yang jelas, bahkan mengarah pada pemenuhan kebutuhan biologis tengah menjadi fenomena di antara kaula muda. Keberadaan fenomena ini ternyata telah terdeteksi di Kota Malang.
Psikolog Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Fuji Astutik membeberkan bahwa pihaknya pernah mendapati beberapa orang penyintas FWB yang melakukan konsultasi terkait masalah tersebut.
Menurutnya, fenomena FWB memang perlu diwaspadai. Pasalnya, aktivitas FWB bukan sekedar pertemanan biasa. Penyintas akan melakukan FWB ketika sama sama membutuhkan. Bahkan ada yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan seksual tanpa ikatan pasti.
Dia mengatakan bahwa setiap orang memang punya hak atas tubuh atau dirinya sendiri. Namun aktivitas FWB dinilai menyalahi norma norma lingkungan bahkan budaya. Sehingga, Fuji menilai FWB memang fenomena yang kurang elok.
“Munculnya perilaku ini perlu kita waspadai. Jangan sampai kemunculan perilaku FWB karena kebutuhan psikologis yang sebenarnya bukan itu yang kita butuhkan. Tetapi digunakan sebagai cara pengalihan kebutuhan yang sebenarnya bukan kebutuhan sebenarnya,” jelasnya.
Fuji juga memandang akan ada potensi dampak berbahaya jika fenomena FWB dibiarkan. Salah satunya potensi penularan penyakit HIV. Sebab, penyintas FWB berpotensi untuk berganti ganti pasangan.
“Dampak jangka panjangnya, kalau gonta ganti pasangan kan juga riskan terjadi penularan penyakit. Itu tentu merugikan,” ucapnya.
Fuji mengungkapkan bahwa penyintas yang dia temui memang merupakan orang yang kurang kasih sayang di masa kecil. Penyintas itu merasa tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup dari orang tua semasa kecil. Bahkan beberapa mengakui memang kehilangan sosok figur ayah atau ibu.
Sehingga ketika dewasa, penyintas akan mencoba mencari kasih sayang dari sosok pacar. Namun ketika penyintas mengalami kegagalan dalam percintaan, penyintas berpotensi melakukan FWB. Terlebih jika lingkungan sekitar mendukung.
“Jadi saat dia kecewa dalam masalah percintaan, dia muncul pikiran berkomitmen mencari orang yang sama untuk menjalin hubungan tanpa ikatan, selesai ya selesai. Itu beberapa yang saya temukan, tapi ini tidak bisa digeneralisir untuk semua kasus,” bebernya.
“Rata rata mereka memang kekurangan atau tidak mendapatkan kasih sayang orang tua. Itu salah satu yang mendasari mereka melakukan itu,” imbuhnya.
Dikatakan, penyintas FWB memang rata rata orang yang belum menikah atau orang yang sudah bercerai. Dia mengaku tidak mendapati penyintas dari orang yang sudah memiliki pasangan suami atau istri.
Menurutnya, kebutuhan seksual orang yang belum menikah bisa diatasi dengan menikah. Namun jika belum siap menikah, penykntas bisa melakukan aktivitas atau kesibukan positif yang bisa mengalihkan kebutuhan yang belum waktunya tersebut. Pasalnya, jika berganti ganti pasangan berpotensi terjadi penularan HIV.
“Saran saya, kita perlu tanya pada diri sendiri, apakah memang benar benar itu yang kita butuhkan. Kadang kala memang orang tidak mengetahui apa kebutuhan diri sebenarnya. Sehingga dia mencari cara yang seolah itu bisa memenuhi,” paparnya.
“Padahal cara itu (FWB) tidak akan ada habisnya. Misal selesai dengan satu orang, dia akan mencoba dengan orang lain dan orang yang lain lagi. Tentu itu riskan terjadi penularan penyakit. Kebutuhan itu tidak akan selesai,” lanjutnya.
Fuji juga menyarankan agar mereka berkonsultasi kepada ahlinya, yakni konselor, psikiater atau psikolog. Menurutnya, bercerita pada orang lain atau sahabat juga bisa memecahkan masalah. Sebab, kebutuhan pribadi bisa jadi karena memang karena kurangnya kasih sayang masa kecil atau masalah pribadi lain.
“Hidup kita akan dipengaruhi masa lalu dan dengan siapa kita berinteraksi saat ini. Awalnya mungkin tidak berpikir melakukan FWB, tapi kalau dia melihat lingkungan sekitar melakukan itu, bisa jadi dia akan ikut,” ujarnya.
“Jadi kita harus tau, memahami dan mengerti apa yang benar benar kita mau. Jangan sampai kebutuhan itu diselesaikan dengan hal yang justru bisa menambah masalah,” tandasnya.
Reporter: M Sholeh
editor: jatmiko