Tak ada yang menyangka di tengah ladang tebu di desa terpencil kawasan Malang Selatan masih ada semangat literasi yang menyala. Nyala terang itu datang dari sebuah perpustakaan kecil, di sebuah rumah yang terletak di tengah rapatnya tanaman tebu yang tingginya seukuran 3 kali orang dewasa.
HERWININGSIH namanya. Usianya masih 26 tahun. Seorang guru yang hidup jauh dari hingar bingar perkotaan. Di salah satu sekolah di kawasan terpencil, sejauh 42 kilometer dari pusat kota. Tepatnya di Dusun Sengon, Desa Pringgondani, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.
Di kawasan pantai selatan itu mayoritas warganya bertani tebu. Tak heran jika berkunjung ke wilayah ini anda akan disajikan pemandangan ladang tebu di kanan kiri sepanjang perjalanan. Termasuk di antara perkampungan penduduk sekalipun.
Seperti rumah Herwiningsih. Rumahnya baru bisa dijumpai setelah menyusuri jalan setapak membelah ladang tebu. Orang yang baru pertama kali ke sana tidak akan pernah menduga, jika terdapat sebuah rumah di balik rimbunnya ladang tebu.
Disitulah Herwiningsih justru menjadikan rumahnya sebagai pusat literasi warga sekitar. Dia menamai rumahnya dengan Banturead, komunitas yang punya tujuan mulia. Yaitu membumikan literasi untuk anak bangsa di desanya.
Setiap hari, dia mengajak anak-anak yang rata-rata muridnya di MI Miftahush Shibyan bermain ke rumahnya. Di sana, anak-anak ini diajak bermain sambil belajar. Hingga dikenalkan pada buku-buku di sebuah perpustakaan sederhana miliknya.
Herwiningsing menuturkan jika literasi atau paling tidak soal buku bacaan masih jadi hal asing untuk warga desanya. Pasalnya, kehidupan masyarakat di sana hanya dihabiskan untuk bertahan hidup. Soal wawasan dan ilmu pengetahuan masih jadi barang pokok nomor dua.
Mindset seperti ini akhirnya menurun kepada anak-anak mereka. Sehingga abai terhadap pendidikan. Bahkan nyaris putus sekolah. Kata Herwin, hampir 50 persen anak-anak desanya rata-rata kesulitan baca tulis. Hingga di kelas 2 SD. Bahkan ada juga yang sudah kelas 5 SD.
”Padahal seharusnya, rata-rata anak di usia segitu sudah bisa baca tulis. Setelah ditelusuri, ternyata mereka banyak terpengaruh oleh gawai yang dikasih orang tuanya tapi tidak didampingi. Dikasih gitu aja,” kisahnya ditemui reporter tugumalang.id, Minggu (29/5/2022).
Selain itu, motivasi belajar anak-anak juga terbilang rendah. Bisa dibilang, hanya 1 dari 100 anak di desanya yang melanjutkan sekolah hingga di perguruan tinggi. ”Misal dari ratusan anak sekolah di SMA sini, yang lanjut kuliah hanya 1 sampai 3 anak saja,” bebernya.
Selebihnya, anak-anak melanjutkan hidup bercocok tanam seperti orang tuanya dengan bertani. Bahkan, banyak juga putus sekolah karena terjebak pergaulan bebas. ”Lulus SMP sudah menikah, akhirnya kan putus sekolah. Ini sudah jadi hal umum di sini,” ungkapnya lagi.
Melihat kondisi itu, Herwiningsih merasa prihatin. Terlebih, dia adalah salah satu sosok guru dan anak muda di desanya. Bersama seorang temannya, dia akhirnya membangun komunitas Banturead pada 2020.
Misi awalnya, kata dia, bagaimana cara agar anak-anak ini bisa melepas ketergantungan pada gawai. Salah satunya dengan membuat rumah belajar dan perpustakaan. Mengajak mereka untuk bisa dan mimpinya bisa lebih rajin membaca buku.
Meski begitu, bukan berarti niat mulianya ini berjalan lancar begitu saja. Banyak anak-anak, bahkan orang tua yang melarang keras anaknya kesana. Namun seiring waktu masyarakat mulai percaya dan mendukung akan keberadaan Banturead.
”Dari yang hanya ada 2 orang, sekarang bisa sampai puluhan anak berkegiatan disini. Yang paling rutin itu hari Kamis sama Jumat. Banyak orang tua yang akhirnya memaksa anaknya bermain ke sini,” kata Alumnus IAI Al-Qolam Gondanglegi ini.
Kendati demkian, menurut guru berusia 26 tahun ini, bukan berarti kesadaran masyarakat di desanya dibiarkan begitu saja. Menurut dia masih perlu ada pendampingan terhadap para orang tua, agar sadar bahwa pendampingan pendidikan terhadap anak adalah masalah urgen.
Kendati demikian, dia tidak ingin banyak menuntut. Herwiningisih lebih memilih untuk bergerak seperti adanya. Herwiningsih berusaha akan meng-update kegiatan di Banturead agar tidak terkesan membosankan seperti belajar di sekolah.
”Semisal kegiatan di Banturead berkisar seperti di sekolah apa bedanya, juga sama bosannya. Kemarin saya baru ngebalin cara membuat ecobrick. Sebisa mungkin nanti disini gak ada kaitan sama sekolah,” tekadnya.
Langkah yang dilakukan Herwiningsih masih baru awal. Sosok teladan ini membutuhkan sosok-sosok pemantik lain guna menyalakan semangat literasi lebih digemari. Lebih manis lagi seperti ladang tebu yang menjadi sumber pokok utama kehidupan masyarakatnya.
Reporter: Ulul Azmy
editor: jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id