MALANG, Tugumalang.id – Kesenian bantengan kini semakin populer di masyarakat sebagai salah satu hiburan yang merakyat. Meski lebih dikenal dengan aksi mberot, bantengan rupanya memiliki filosofi yang berkaitan dengan kehidupan manusia.
Budayawan Ki Soleh Adi Pramono menyebut setidaknya ada dua filosofi bantengan dalam kehidupan manusia. Filosofi pertama berkaitan dengan lahirnya manusia ke dunia yang diiringi ‘saudara’ berupa banteng, celeng (babi hutan), kijang, ular, dan kera.
Oleh karena itu, saat bayi berusia 35 hari atau selapan, dilakukan ritual menggunakan sesaji. Tujuannya agar saudara yang berupa banteng, celeng, kijang, ular dan kera ini tidak mengganggu.
“Bantengan ini bagian dari eksistensi kehidupan manusia,” kata Ki Soleh saat ditemui beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Sempat Ditolak, Pemkab Malang Akan Kembali Ajukan HAKI untuk Kesenian Bantengan
Filosofi kedua, berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat yang mencerminkan budaya Indonesia. Banteng merupakan hewan yang hidup dengan berkoloni atau berkelompok. Mereka hidup rukun dan bergotong royong.
“Kalau ada kelahiran anak banteng, banteng-banteng yang lain tanduknya keluar, ikut menjaga,” kata Soleh.
Kehidupan banteng ini menjadi cermin kehidupan manusia yang sudah semestinya hidup guyub rukun dan saling menolong. Hal ini juga yang menginspirasi perancangan simbol sila Pancasila keempat yang berupa kepala banteng.
“Rukunnya banteng seakan-akan menjadi sumber kekuatan di sila keempat. Kepala banteng di situ sebagai simbol kekuatan persatuan karena koloni dan karena gotong royong,” kata Soleh.
Melalui kesenian bantengan, Soleh berharap masyarakat teringat bahwa hidup harus guyub rukun dan ingat pada hakikat kelahiran manusia. Apabila menyiksa banteng, maka sama seperti menyiksa diri sendiri.
Baca Juga: Viral! Fenomena Mberot, Kesenian Bantengan di Malang
Ia juga berharap pegiat kesenian bantengan bisa memahami filosofi ini agar tidak saling berseteru dan mudah terprovokasi. Ia mengumpamakan provokasi yang terjadi di kalangan seniman sebagai asu ajag atau anjing hutan.
Asu ajag kerap melakukan adu domba hingga kawan-kawannya bertengkar dan saling membunuh. Lalu, asu ajag akan memakan daging hewan yang bertengkar tadi.
“Banyak provokasi-provokasi masuk ke kesenian tradisional. (Oleh karena itu) seni pertunjukan harus ditata supaya nggak ada asu ajag,” pungkasnya.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
editor: jatmiko