Menjelang magrib, Jumat (5/7/2024), saya berziarah ke rumah seorang teman saya bernama Lutfi Pratomo di daerah Bareng, Kota Malang. Sehari sebelumnya, ayahnya baru saja berpulang.
Di tengah obrolan, saya sempat melihat peninggalan sang bapak berupa buku yang tergeletak di ruang tamu. Almarhum kebetulan kutu buku, dan juga mantan wartawan beberapa media nasional.
Buku yang membetot perhatian berjudul La Tahzan (Jangan Bersedih). Ini buku lawas, dulu viral, tapi saya belum sempat membaca tuntas buku ini. Karenanya, saya pinjam buku tersebut.”Ojo diilangno, tak antemi kon,” kata Lutfi dengan gaya khasnya. Wkwkw…
Ini buku menarik dan fundamental dalam hidup kita. Sebagai seorang makhluk, kita harus punya kesadaran penuh untuk berserah. Sebagaimana dalam bacaan surat al fatihah, yang kira-kira artinya : kepadaMU (Allah) kita beribadah, dan kepadaMU (Allah) kita berserah diri.
Baca Juga: Para Perindu Kota Madinah
Kata kuncinya berserah diri. Dalam keadaan apapun. Suka, duka, senang, maupun sedih. Dengan berserah diri, sebagaimana judul buku ini, kita diminta La Tahzan (jangan bersedih).
Jangan bersedih, bahkan di situasi paling buruk sekalipun. Di situasi paling bawah sekalipun. Kita harus berserah, harus menerima keadaan yang kita alami. Apalagi, pertolongan Allah SWT akan selalu datang, yakni di setiap kesulitan pasti ada kemudahan.
Dalam kesulitan juga ada hikmah. Mungkin, kita di minta mawas diri, mengoreksi apa yang kita lakukan, diingatkan agar tidak sombong, dan lain sebagainya. Layaknya sebuah pakaian, untuk menjadi suci dan bersih, harus di laundrey dulu, di kucek-kucek se dalam-dalamnya. Baru akan terlihat bersih.
Di buku ini, berserah diri berarti juga bersyukur atas ketentuan kita. Tidak membandingkan diri kita dengan orang lain, dan menerima kadar rezeki kita, sambil bekerja fokus serta berdoa. Di buku ini, meski berserah, kita dilarang menganggur, karena biasanya orang yang menganggur pikiran orang itu akan ke mana-mana, dan cenderung merugikan orang lain.
Salah satu bab yang menarik, adalah kita diminta berefleksi, bagaimana kita bisa mensyukuri atas rezeki yang besar, kalau rezeki yang kecil saya tidak kita syukuri. Benar-benar menampar.
Kita ingin punya uang miliaran rupiah, dan mungkin aset yang banyak. Tapi, apakah kita mau menukar dua jari kita dengan uang dua miliar. Pasti tidak mau, karena itu akan sakit banget dan kita akan cacat. Wong sakit gigi saja sakit banget, apalagi ini jari kita mau kita potong demi uang dua miliar.
Baca Juga: Paling Bahagia di Dunia, Ini 6 Rahasia Negara Nordik
Dengan demikian, anggota tubuh kita ini adalah nikmat yang harganya melebihi uang puluhan bahkan ratusan miliar. Lalu, kenapa kita fokus pada uang yang tidak kita punya itu, dan tidak fokus pada nikmat Tuhan yang sudah kita berikan kepada kita berupa anggota tubuh, nikmat sehat, bisa ngopi, dan bersenda gurau dengan teman-teman.
La Tahzan. Jangan bersedih. Hiduplah dengan kesadaran penuh saat ini. Berbahagialah. Menjadi seorang hamba seutuhnya. Berserah diri seutuhnya.
Dalam bahasa buku ini, jadilah makhluk surga yang sedang berjalan di atas muka bumi. Hidupnya penuh dengan suka cita, tidak ada sifat iri, dengki, sombong dan aneka penyakit hati lainnya. Penuh maaf, sabar dan menyerahkan semua hasil dari apa yang kita lakukan, kepada Allah SWT.
Terima kasih pinjaman bukunya Lutfi Pratomo. Semoga menjadi amal jariyah sang bapak. Amin.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis Irham Thoriq (CEO Tugu Media Group)