Tugumalang.id – Indonesia membutuhkan banyak enterpreneur muda untuk membuka banyak lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, banyak menjamur sekolah-sekolah kewirausahaan untuk mencapai mimpi tersebut.
Kini, pemerintah juga sedang menggembar-gemborkan banyak program untuk menciptakan pemuda pemudi yang bisa menciptakan startup. Tujuannya tentu untuk mendulang kesuksesan seperti Gojek hingga Tokopedia.
Namun, Direktur dan Pendiri Aren Energy Investment, Toronata Tambun, mengatakan bahwa masih banyak salah kaprah dalam enterpreneur education (pendidikan kewirausahaan) di Indonesia.
“Spirit kewirausahaan itu agak menyesatkan, bukannya salah tapi mungkin kurang tepat, seolah-olah orang menjadi wirausaha ini kita perlu spiritnya. Dan itu adalah konsep yang perlu direvisi, menjadi enterpreneur tidak hanya bisa hanya bermodalkan semangat. Tapi juga diperlukan disiplin yang lebih daripada orang normal,” tegasnya, saat membeberkan materi dalam Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 2 yang digagas oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) dan didukung oleh PT Paragon Technology and Innovation, beberapa waktu lalu.
Dia menyebut, ada 3 hal lagi yang perlu diperhatikan saat membicarakan pendidikan kewirausahaan di Indonesia.
“Pertama adalah orang-orang mengatakan kalau mencipta enterpreneur gampang, ada pejabat bilang kalau menciptakan enterpreneur cukup undang tukang bakso lalu kasih motivasi dan nanti murid-muridnya jadi enterpreneur saking gampangnya. Namun, itu adalah ciri-ciri krisis enterpreneur education,” ungkapnya.
“Padahal, tidak ada jalan pintas untuk menjadi enterpreneur, kesulitan yang luar biasa, dan kalaupun sukses belum tentu dikenal. Jadi saya kemarin melihat iklan di sebuah universitas yang mengatakan menjadi enterpreneur dalam 3 bulan, gak ada yang karbitan itu menjadi baik,” sambungnya.
Lebih lanjut, lulusan Harvard Business School ini mengatakan, ciri yang kedua pendidikan kewirausahaan di Indonesia adalah mengajar menggunakan story telling. “Modelnya mengundang orang sukses kemudian cerita, mengundang orang sukses lalu cerita,” kritiknya.
Ketiga, dia iuga menyoroti ketidakmampuan negara ini atau pemangku kebijakan untuk membedakan UMK dengan Innovation Driven Enterprise (IDE).
“Orang Indonesia sering menyamakan Innovation Driven Enterprise dengan startup itu salah. Orang Indonesia juga sering menyamakan Innovation Driven Enterprise dengan digital juga salah. Orang Indonesia sering menyamakan digital dengan digitalisasi juga salah. Orang Indonesia juga sering menyamakan Innovation Driven Enterprise dengan paltform juga salah. Rancangan undang-undang tentang kewirausahaan sampai saat ini belum keluar, masih di tempat suatu kementerian. Jadi, memang rancu mau ngomongin IDE atau yang lainnya,” paparnya.
Toro mengatakan, spirit enterpreneur bukanlah segalanya, tapi skill enterpreneur adalah yang terpenting. “Dalam enterpreneur ‘spirit is pirates and skill is Navy Seal,’ artinya disiplin is the best,” tegasnya.
Dia juga dengan tegas mengatakan bahwa untuk memulai usaha, yang pertama dipikirkan adalah paying customer.
“Mau memulai bisnis apa aja, yang harus ditemukan adalah paying customer. Artinya sebelum membuat usaha, dipastikan dahulu ada yang beli. Mau membuat bisnis segede langit tapi gak ada yang mau beli, percuma,” ucapnya.
Dia juga mengatakan, kunci menjadi pengusaha adalah mendengar, karena menurutnya pendidikan kewirausahaan tidak hanya menciptakan startup, tapi juga enterpreneurship amplifies atau gerakan enterpreneur seperti menyuarakan gerakan menolong COVID-19 sampai pengajian.
“Tujuannya sekolah enterpreneur tidak hanya menciptakan startup, tapi menciptakan manusia-manusia anti-fragile, menciptakan manusia interaktif, manusia-manusia yang menyadari bahwa setiap tindakannya mempengaruhi orang lain, membuat orang tidak mudah menyerap atau kritis,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Director Business Development at Alita Europe, Alex Ludi, menerangkan bahwa saat ini Indonesia berada di tahap Co-Working Space untuk iklim enterpreneur.
“Tahun 2009 saya belajar ekosistem startup, di mana krisis Eropa membuat pemuda gak jelas mau ke mana arahnya, kemudian dibikin namanya Co-Working Space. Nah, saat ini Indonesia masih di situ memang, di Co-Working Space. Kemudian kita bikin modul dan itulah inkubator yang ada kediniannya, investornya, Investment Bank,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Center for Policy and Public Management SBM ITB, Yudo Anggoro, mengatakan bahwa World Bank kembali memberikan laporn bahwa peringkat Indonesia turun lagi setelah menjadi negara dengan upper middle income.
“Penyebabnya mulai dari COVID-19 yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Sehingga seseorang kehilangan purchasing power,” ungkapnya.
Oleh karena itu, menurutnya enterpreneurship bisa menjadi solusi untuk hal tersebut.
“Kita juga memerlukan Investment, bagaimana caranya agar para investor mau berinvestasi di Indonesia. Hal ini akan membuat kue-kue inovasi di negeri ini,” jelasnya.
“Diperlukan government spending, diperlukan sekian triliun untuk pemerintah agar membantu kemampuan berinovasi,” pungkasnya.
Reporter: Rizal Adhi
Editor: Lizya Kristanti