Sampai pada rumah sakit ketiga, tidak ada ruang kosong untuk rawat inap anak saya. Khawatir, jangan ditanya. Kami tidak melanjutkan mencari tempat rawat inap, karena kabarnya akhir-akhir ini sulit mendapatkan ruang rawat inap anak. Akhirnya kami memutuskan untuk datang ke dokter berbeda untuk mendapatkan opsi lain (second opinion). Syukur, kami diperbolehkan membawa anak kami untuk rawat jalan dan diberi kesembuhan. Sampai beberapa waktu kemudian, satu pertanyaan terus saja mengganggu isi kepala saya. Mengapa begitu sulit menemukan ruang rawat inap untuk anak? Terlebih, mengapa begitu banyak anak-anak sakit?
Jawabannya bisa sangat liar, mulai isu pencemaran lingkungan, kualitas makanan, sampai pada aktivitas anak. Untuk dua jawaban awal, saya memilih melewatinya. Bukan menyepelekannya, namun hal tersebut di luar kendali yang kami miliki sebagai keluarga. Saya lebih fokus pada jawaban yang ketiga. Menata ulang aktivitas anak-anak adalah hal yang bisa kami kendalikan sebagai keluarga. Jadwal tidur, makan, bermain dan sekolah coba kami lihat. Memang aktivitas anak saya terlalu padat, pulang sekolah setelah ashar, langsung berangkat mengaji dan saat malam sisa tenaga mereka gunakan untuk persiapan sekolah esok harinya. Kami memberanikan diri untuk membuka komunikasi dengan pihak sekolah dan tempat anak-anak mengaji. Pihak sekolah menyepakati untuk memberi jam istirahat lebih panjang dengan jam tidur siang. Di tempat mengaji, juga sama.
Setelahnya, alhamdulillah anak-anak terlihat lebih berenergi, ceria dan yang paling penting adalah mereka lebih mudah diajak komunikasi karena memiliki rentang perhatian (fokus) yang lebih baik.
Tidur dalam studi
Hal pertama yang saya lakukan adalah melihat secara ilmiah, apakah waktu istirahat dan jam tidur anak-anak saya telah tercukupi. Berbagai lembaga riset telah merilis waktu tidur terbaik yang harus dipenuhi manusia. American Academy of Sleep Medicine misalnya, merekomendasikan tidur selama 9 hingga 12 jam untuk anak-anak usia 6 hingga 12 tahun. Tidak jauh beda dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Sleep Foundation dan The Sleep Doctor sekitar 9-12 jam sehari. Gambar berikut adalah rekomendasi tidur mulai dari bayi sampai orang dewasa.
Sumber: Sleep Foundation
Dalam berbagai penelitiannya, tidur dengan jumlah jam yang direkomendasikan secara teratur dikaitkan dengan hasil kesehatan yang lebih baik, termasuk juga peningkatan perhatian, perilaku, pembelajaran, memori, regulasi emosional, kualitas hidup, dan kesehatan mental dan fisik. Sebaliknya, tidur secara teratur kurang dari jumlah jam yang direkomendasikan dikaitkan dengan kurangnya perhatian, perilaku memburuk, dan masalah belajar. Kurang tidur bagi orang dewasa juga meningkatkan risiko kecelakaan, cedera, hipertensi, obesitas, diabetes, dan depresi. Kurang tidur pada remaja dikaitkan dengan peningkatan risiko melukai diri sendiri, pikiran untuk bunuh diri, dan upaya bunuh diri.
Bagaimana bagi mereka yang terlalu banyak tidur? Riset menyebut kebanyakan tidur (melebihi rekomendasi) dapat dikaitkan dengan hasil kesehatan yang merugikan seperti hipertensi, diabetes, obesitas, dan masalah kesehatan mental.
Selain itu, para peneliti juga ingin mengetahui berapa lama dampak tidur tersebut berlangsung. Ze Wang dan kedua koleganya melakukan penelitian bertajuk Adolescent Brain Cognitive Development (ABCD) yang melibatkan lebih dari 8.000 anak usia 9 hingga 10 tahun. Mereka dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu anak-anak dengan jam tidur cukup dan mereka yang terus menerus kurang tidur. Hasil penelitian tersebut kemudian diterbitkan dalam jurnal The Lancet Child & Adolescent Health tahun 2022 ini. Temuannya menunjukkan dampak neurokognitif negatif yang disebabkan oleh kurang tidur. Apakah itu? Peneliti menyatakan bahwa kurangnya jam tidur berdampak secara langsung pada struktur otak, konektivitas, perilaku, kognisi, dan kesehatan mental. Jangan heran jika prestasi akademik sekolah sangat terpengaruh akibat pola tidur anak. Efeknya bisa berlangsung selama dua tahun bahkan dapat saja menjadi permanen, jika jam tidur tidak diperbaiki segera. Kesehatan yang memburuk pada usia dewasa juga dikaitkan dengan pola tidur yang tidak teratur saat masih anak-anak.
Membantu anak
Meskipun cukup menarik melihat bukti yang mendukung terkait ketercukupan jam tidur, seringkali hal ini sulit dilakukan. Padatnya jam sekolah dan monitoring keluarga setelah mereka pulang sekolah adalah dua hal utama. Belum lagi jika anak-anak juga membutuhkan waktu bermain, baik itu bermain secara langsung maupun bermain dengan gawai di rumah. Jika menengok hasil penelitian terkait manfaat tidur yang cukup, kita patut khawatir. Orang tua perlu untuk menciptakan batasan-batasan terkait aktivitas sebaik mungkin untuk membantu menetapkan harapan untuk masa depan.
Jika sekolah mereka adalah sekolah full day, ini adalah PR menarik bagi kita untuk mengkomunikasikan kepadatan aktivitas anak-anak dengan pihak sekolah. Saya sendiri mensyukuri karena pihak sekolah membuka diri untuk berdiskusi dan akhirnya menyediakan waktu untuk tidur siang.
Membantu anak-anak memahami pentingnya prioritas dan penjadwalan tidak hanya membantu untuk mendapatkan cukup tidur tetapi juga keterampilan hidup yang berharga. Komunikasi dibutuhkan untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa aktivitas harus diatur sedemikian rupa agar seimbang. Pastikan bahwa saat waktu tidur adalah waktu merkea terbebas dari gawai. Bantu anak-anak untuk tidur dengan kondisi yang menyenangkan. Bisa dengan mmbacakan cerita atau kalua mereka cukup mampu, sediakan buku untuk dibaca menjelang tidur.
Pada akhirnya, anak-anak akan mengikuti teladan orang tua mereka. Dan di sinilah mereka benar-benar dapat berdampak. Orang tua adalah panutan. Bukan hanya apa yang kita katakan, tapi apa yang kita lakukan.
*Dosen Psikologi PIAUD FITK UIN Malang yang juga merupakan anggota Asosiasi PPIAUD Indonesia