Y u r m a r t i n**
SECARA prosedural dan konstitusional lahirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai suatu lembaga penyelenggara Pemilihan Umum dalam sebuah negara yang menampung dan menyampaikan hak-hak politik serta aspirasi masyarakat telah termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 22E ayat (5) yang menyebutkan bahwa, “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, mandiri dan independen”.
Pembentukan KPU merupakan bentuk pertanggungjawaban kebutuhan dan tuntutan bersama melalui parlemen dalam merestorasi lembaga yang independen untuk mewujudkan pemilu yang bebas, adil dan merata (Free anda Fair Election) di Indonesia.
Karenanya, KPU memiliki rotasi kerja yang secara konstitusional bertanggungjawab penuh terhadap terjadinya seluruh proses penyelenggaraan pemilu yang demokratis sebagaimana yang telah dibebankan oleh negara.
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, sebagai penyelenggara utama untuk mensukseskan pesta demokrasi setiap lima tahunnya, memiliki tanggungjawab yang besar dalam melakukan persiapan dan tahapan penyelenggaraan pemilu menjelang tahun 2024.
Pelaksanaan ini berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Program, Tahapan dan Jadwal Pemilu serentak pada Tahun 2024.
Menurut Hasyim Asy’ari, tahapan ini dilakukan untuk, “Melaksanakan amanah konstitusi sebagai sebuah peristiwa ketatanegaraan yang harus dilaksanakan dengan asas Pemilu yang Luber dan Jurdil terhadap hak-hak politik masyarakat secara luas.”
Dalam orasi politiknya mengenai demokrasi dan politik dalam pemilu di Indonesia, di Kantor KPU pada tanggal 14 Juni 2022, beliau mengatakan bahwa perlu sekali merefresentasikan kembali atau memaknai ulang UUD 1945 pasal 22E ayat (1) yang menyebutkan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
Menurutnya, asas Pemilu selain Luber dan Jurdil, harus selalu beriringan dengan waktu dan pelaksanaan yang telah ditetapkan sebagaimana keputusan konstitusi.
KPU sebagai lembaga pelaksanaan pemilu harus memiliki kedekatan dan keterbukaan terhadap komponen masyarakat termasuk stakeholder utama dalam pemilu untuk mensukseskan dan menjamin terlaksananya pemilu secara baik dan bertanggungjawab.
Ini semua dapat dilakukan mengingat, pembelajaran dari proses pemilu pada tahun 2019 sebelumnya. Walaupun tingkat kesuksesannya mencapai angka 81, 8% dan Pilkada di tahun 2020 di atas 70%, secara nasional, KPU tetap harus meningkatkan, memastikan dan menjamin bahwa pemilu yang akan diselenggarakan di tahun 2024 mendatang dapat diselenggarakan dengan lebih demokratis dan berkualitas dari awal sampai akhirnya.
Sehingga seluruh penyelenggara dan pemangku kepentingan lainnya termasuk masyarakat dan peserta pemilu dapat merasakan terwujudnya penyelenggaraan pemilu yang berintegritas, bermartabat dan memberikan tingkat kemajuan yang memuaskan.
Berkenaan dengan pemilu serentak, yakni Pemilihan Presiden dan Pilkada di Daerah dalam tahun yang sama di 2024, KPU sebagai penyelenggara pemilu, harus sadar betul bahwa pemilu merupakan arena konflik yang sah/legal untuk menyalurkan kepentingan, terutama partai politik dan relasi kuasa yang ingin turut serta dalam perhelatan politik baik sebagai Presiden, Kepala Daerah atau sebagai wakil rakyat nantinya.
Dinamisasinya, tentu saja akan berjalan sesuai dengan nilai-nilai politik internal dalam menghadapi polarisasi eksternal yang menunjukkan kebutuhan sosial dalam strata politik yang berkembang. Pertarungannya, jelas akan memberikan warna tertentu dan berdampak langsung ditengah-tengah masyarakat.
Dalam pemilu, berikut konflik yang yang mengiringinya, merupakan perjuangan bersama pelaku politik dalam mencapai tujuannya. Masing-masing membutuhkan kolektifitas dan konektifitas untuk membangun cita-cita sesuai dengan platform yang diusungnya.
Untuk itu, Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa KPU harus berperan menjadi manajer konflik yang berintegritas.
Menjadi lembaga pelayanan kepemiluan yang harus selalu tersenyum agar selalu nyaman dalam melakukan tugas serta selalu ceria terhadap peserta pemilu dalam rangka mensukseskan kerja-kerja pemilu yang berkualitas.
Membangun sikap yang toleran karena berhubungan terhadap orang banyak serta mampu memberikan dan mengembangkan wawasan yang luas dan proporsional terhadap kepemiluan sebagai abdi pelaksana regulasi.
Oleh karena itu, seluruh anggota KPU dilarang keras menjadi aktor atau menjadi bagian dari faktor penyebab konflik dalam bentuk apapun.
Sinergitasnya hanya untuk kepentingan efektifitas politik yang konstitusional dan penguasaan proses demokrasinya untuk kemajuan nasional.
Dukungan dan kerja keras sangat dibutuhkan oleh KPU sebagai penyelenggara beserta badan adhock yang terkait di dalamnya.
Apalagi terkait partai politik yang secara konstitusi telah diamanatkan untuk mengisi ruang kekuasaan dalam pemerintahan dan telah tertulis dalam pasal 22E ayat (2), (3), dan (4) UUD 1945.
Dalam pasal ini, peserta pemilu adalah partai politik, DPD sebagai calon perseorangan serta Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Peserta pemilu calon Presiden dan Wakil Presiden sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu pasal 221 menyebutkan bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Sedangkan pada ketentuan pasal 222 disebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh suara sah secara nasional pada pemilu sebelumnya.
Dengan membaca undang-undang di atas, peran parpol menjadi sangat urgen. Karena memiliki hak-hak untuk mendapatkan kekuasaannya dalam pemerintahan.
Sementara saat ini, tensi politik dan kekuatan energi dari beberapa monuver partai politik besar telah dipertontonkan di setiap media dan dibaca oleh ratusan juta mata rakyat Indonesia.
Eksistensi ini, menunjukkan bahwa pergerakan pusaran politik di Indonesia memang menjadi konsumsi yang selalu menarik untuk di bahas dan diikuti secara luas.
Katakanlah PDI-P yang menguasai parlemen saat ini, telah menyatakan diri untuk enggan menanggapi koalisi dengan siapapun. Hal ini dengan tegas disampaikan oleh Ketua Umumnya Megawati Soekarno Putri di Rakernas PDI-P baru-baru ini.
Sementara itu, Gerindra tetap membaca besarnya peluang untuk memenangkan kontestasi sembari merajut hubungan mesra dengan beberapa parpol pemilik kursi parlemen.
Sedangkan PKB, PKS, PAN, PPP, Golkar, Nasdem dan Demokrat terus mengobar semangat menjajaki kolektifitas membangun arus baru dalam mendorong perubahan politik yang lebih besar dan membuka kekuatan yang memang telah lama berkibar.
Di sisi lain, masih terdapat beberapa partai lain seperti Hanura, Perindo, Gelora, Berkarya, Garuda, PKN dan beberapa parpol lainnya yang sudah terdaftar yang masih harus diperhitungkan berkenaan dengan polarisasi politik yang secara hukum telah disahkan dan hanya tinggal menunggu sistematika politik dan regulasi hukum penyelenggaraan pemilu yang berlaku.
Tidak hanya sampai disitu, perlu pula memperhatikan organisasi yang berafiliasi terhadap parpol atau menjadi kendaraan politik dan identitas dengan segala macam organnya, baik agama, budaya dan golongan tertentu, turut pula mewarnai dinamika politik yang terjadi. Isu-isu krusial tentang pemilu dan demokrasi, bisa saja menyudutkan proses penyelenggaraan pemilu. Bahkan sampai kepada perbuatan yang tak jelaspun mampu menjadi icon yang semerbak dan viral dalam pemilu, meski hanya sebagai pelengkap berkembangnya kepentingan politik dalam demokrasi menjelang pemilu 2024.
Dari sini, KPU sebagai lembaga pelayanan publik betul-betul harus bijak dan cakap memperhatikan dan mengambil langkah-langkah teratur, positif, partisipatif dan adaptif yang sesuai dengan regulasi, agar KPU sebagai penyelenggara pemilu menjadi lebih terbuka serta mampu bersinergi dalam melihat keterlibatan masyarakat secara langsung.
Tidak terjebak pada kepentingan politik praktis sesaat, baik itu identitas yang semakin hari semakin jelas atau kalangan elit partai dan pemilik modal yang berpartisipasi mendompleng kepentingan politisi untuk ikut bergeliat mengambil keuntungan dari keterbukaan demokrasi yang ujungnya dapat merugikan orang banyak.
Terutama dapat terganggunya proses percepatan penerapan asas keberpihakan yang baik, luas dan menyeluruh sesuai amanah konstitusi yang berlaku di dalam negara Indonesia.
Karena memang proses politik terlalu dinamis dengan dinamika kepentingannya, bahkan dapat saja terjadi diluar ekspektasi dan nalarnya, maka penyelenggara dan stakeholder utama dalam pemilu, harus memiliki Intrinsik Motivation, yakni dorongan dan semangat yang tumbuh dari diri sendiri untuk menciptakan suasana politik dan demokrasi yang berpihak kepada kepentingan rakyat serta mampu menjaga dan menganulir setiap perbuatan yang mengarah pada tindakan inkonstitusional dan inkonsistensi demokrasi yang berjalan disetiap pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu.
Adapun pengembangan kebiasaan kerja-kerja yang mengedepankan keterbukaan dan keterlibatan semua elemen-elemen secara langsung kedepannya akan menciptakan pembelajaran, recovery ulang dan rasa tanggungjawab serta selalu memihak rakyat.
Dengan melihat bahwa pesta demokrasi dan proses politik selalu identik dengan pemilu, sebagai bagian komponen masyarakat yang tengah memperhatikan proses berjalannya tahapan penyelenggaraan pemilu eksekutif dan legislatif dari tingkatan pusat sampai ke daerah, dipandang perlu untuk terus menerus mengetahui dan belajar agar terhindar dari berita-berita yang tidak berimbang, miring atau hoaxs yang tidak sesuai dengan konstitusi penyelenggaraan pemilu.
Dengan begitu, pemilu dapat dilihat oleh masyarakat menjadi kompetisi partisipatif yang ruang dan peluangnya sangat kompetitif, aspiratif dan akumulatif.
Demokrasi menjadikan masyarakat bebas dan otonom dalam mensumbangsihkan hak-hak politiknya dengan semangat membangun bangsa melalui pemilihan kepemimpinan dan wakil rakyat yang kompeten, kapabel dan kompatibel.
Harapan besar atau lebih tepatnya beban berat untuk menjadikan lebih baiknya kualitas dalam pemilu 2024 sebagaimana amanah Presiden Joko Widodo kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu, tentunya sangat digantungkan di pundak KPU hari ini.
Meskipun diatas kertas, sinkronisasi dari DP4 atau Data Potensial Penduduk Pemilih Pemilu persentase keterlibatan masyarakat sebagai pemilih dianggap valid dari hasil akhir pemutakhiran data sampai dengan maret 2022 yang berjumlah 190. 573. 769 jiwa, masih tetap diperlukan rekap ulang sampai ke tingkat Desa, Dusun, RT dan RW sebagai bentuk perwujudan pemerataan.
Karena memang, pergerakan penduduk yang pindah, meninggal atau yang umurnya bertambah terus terjadi dan meningkat.
Untuk itu, persoalan akurasi dan validasi data tidak bisa diambil dari data rekaan yang ada saja atau berdasarkan asumsi persentase yang terdaftar di beberapa lembaga negara.
Pergerakan data masyarakat menjadi persoalan serius dan potensial yang harus diawali atas dasar kebutuhan partisipasi politik yang penanganannya wajib berkelanjutan.
Pentingnya pemutakhiran data sebagaimana yang digaungkan oleh KPU, memang harus disegerakan.
Akses internet hendaknya memang sudah terkoneksi dan terafiliasi di sudut-sudut daerah, karena ini merupakan sarana dan prasarana yang vital untuk mengakses keterlibatan masyarakat secara kolektif.
Sistem informasi alat bantu digitalisasi, sebagaimana telah dilaunching dan digunakan oleh KPU seperti; Sirekap, Silog, Silopi, Sidakam, Sidapil, Sipol dan Sidalih, sangat penting untuk segera disosialisasikan agar lebih mudah dimengerti dan dilakukan oleh semua pemangku kepentingan dalam pemilu ini.
Semua ini adalah kebutuhan yang prinsipnya sangat berpengaruh di setiap tingkatan masyarakat.
Dengan adanya semua sistem ini, diharapkan terakumulasi segala kebutuhan masyarakat dan menjadi quality control bagi KPU sebagai lembaga pelayanan publik yang demokratis.
Patut ditunggu energi dan harmonisasi besar yang akan dilakukan dan dikeluarkan oleh KPU dengan total 2.767 orang anggotanya dari pusat sampai daerah serta badan adhocnya untuk dalam dan luar negeri yang tertulis sementara ini berjumlah 8.578.564 orang dan sufforting starnya yaitu ASN dan PPNPN yang dibutuhkan mencapai 14.552 orang.
(Sumber data; KPU RI).
Apakah nantinya akan bekerja maksimal sesuai kebutuhan konstitusional atau malah sebaliknya. Maka harapannya, semuanya harus mampu menjadi treatment keberhasilan pemilihan umum, dapat betul-betul bekerja keras sepenuhnya untuk menciptakan pemilihan umum yang berkualitas dan berintegritas.
Bhakti KPU kali ini, yang disertai dengan dorongan kekuatan anggaran negara sebesar
Rp. 76.656.312.294.000,-
untuk seluruh pelaksanaan penyelenggaraan di Indonesia pada pemilu 2024 tidak hanya mempertaruhkan kemampuan yang optimal dengan seluruh elemen-elemen yang terkait didalamnya dalam mengelola amanah pemilu dan akselerasi politik, tapi juga menancapkan kemerdekaan semua kalangan yang memiliki hak-hak politik yang sama dalam hidup bernegara.
Terutama perubahan besar dan lebih berkualitas yang diharapkan benar-benar menjadi presisi yang kuat terhadap kemajuan bersama membangun bangsa dan negara.
*Penulis adalah pemerhati dan penggiat sosial masyarakat.
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id