MALANG, Tugumalang.id – Perkembangan teknologi informasi dewasa ini mau tidak mau juga membawa pengaruh terhadap kebebasan berpendapat. Apalagi, seiring adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sering dinilai sebagai pasal karet.
Kajian seputar UU ITE dan kebebasan berpendapat ini menjadi bahasan utama dalam kegiatan diskusi bertajuk ‘Kebebasan berpendapat di Media Sosial dalam Perspektif Hukum Pidana’ yang digelar di Gedung Rektorat UB Malang, Rabu (12/4/2023) beberapa waktu lalu.
Pakar Hukum Pidana Dr. Faizin Sulistio, SH., LLM mengatakan dengan adanya UU ITE ini sebetulnya sudah ada pembatasan, terutama dalam konteks moral etik dan konteks hukumnya. Dua hukum yang mengatur mengenai permasalahan ini yaitu hukum perdata dan pidana.
Hukum tersebut mengatakan jika ada orang yang dirugikan, maka ia bisa melakukan gugatan perdata dan hukum pidana yang biasanya terkait dengan penyebaran konten-konten yang dianggap kurang pantas dan meresahkan.
Faizin menambahkan kehadiran konten ilegal sendiri sudah diatur dalam beberapa pasal-pasal dalam UU ITE yang dimulai dari pasal 27 sampai 29. Pasal 27 ayat 1. Mengenai larangan orang mendistribusikan konten yang melanggar kesusilaan dalam konteks pornografi.
Begitu juga pada Pasal 27 ayat 2 yang menjelaskan mengenai orang yang dilarang menyebar konten perjudian juga dilarang. Pasal 27 ayat 3 menjelaskan mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal 27 ayat 4 menjelaskan mengenai larangan terkait dengan pengancaman dan pemerasan.
Sedangkan pasal 28 ayat 1 mengatur mengenai hoax yang merugikan konsumen. Pasal 28 ayat 2 menjelaskan mengenai masalah hate speech atau ujaran kebencian.
Lalu pasal 29 mengatur mengenai larangan bullying. Dari adanya seluruh pasal tersebut menunjukkan bagaimana aturan hukum bisa membatasi terkait dengan penyebaran konten-konten ilegal yang berlebihan dimana melanggar hak untuk seseorang.
Meski begitu, setiap orang memiliki hak mengakses, berekspresi, dan mendapatkan rasa aman di dunia digital. Namun hak tersebut memang tidak boleh kemudian melanggar hak orang lain.
Dalam artian, seseorang yang masuk ke dalam ruang siber akan dianggap menjadi sebuah subjek yang biasanya tidak disadari, sama saja dengan ruang privat.
Kemudian hukum dalam hal ini dapat menimbulkan keterlibatan dalam hadirnya ruang publik yang jika tidak digunakan secara bijak maka berpotensi menimbulkan berbagai macam permasalahan.
”Seperti halnya ujaran kebencian misalnya. Itu kan sudah diatur di pasal 106 A apalagi mengandung SARA. Jika masalah penghinaan sendiri masuknya ke dalam ancaman bagi seorang individu yang sudah diatur juga ke dalam UU ITE,” katanya, Rabu (12/4/2023).
Sementara itu, Presiden Eksekutif Mahasiswa (EM) Rafly Rayhan Al Kahri menambahkan terkait kebebasan berekspresi di media sosial telah dijamin oleh konvenan-konvenan internasional bahkan hal tersebut merupakan bagian dari Hak Azazi Manusia (HAM).
Di era disrupsi ini terutama bidang teknologi yang pada akhirnya menciptakan kegagapan masyarakat dalam menggunakan teknologi. Kegagapan muncul karena ada ketidakpahaman memanfaatkan medsos dengan baik.
”Sayangnya yang terjadi saat ini konten-konten privat disebarluaskan di media sosial sehingga menjadi konsumsi publik disebarluaskan di media sosial dan melanggar batas-batas norma tertentu. Sehingga perlu ada edukasi dalam penggunaan media sosial,” jelasnya.
Di EM sendiri, sambung dia, saat ini ada program kerja yang mengedukasi tentang keamanan siber terkait penggunaan medsos. Kita sedang menggarap bagaimana mengelola media sosial sehingga bisa memberikan manfaat bahkan keuntungan bagi si pengguna.
Raehan menambahkan, salah satu manfaat media sosial yang lain adalah bisa menjadi sarana untuk mengemukakan apa yang dipikirkan dan apa yang menjadi kritik terhadap lingkungan sosial yang ada di sekitar. “Hal tersebut bisa menjadi salah satu manfaat media sosial saat ini,” katanya.
Reporter: Ulul Azmy
editor: jatmiko