MALANG – Pesantren merupakan lembaga tertua di Republik Indonesia. Pemerintah memang sepatutnya memperhatikan eksistensinya. Meskipun tanpa intervensi pemerintah, pesantren tetap survive, karena kemandirian pesantren sudah teruji sepanjang zaman.
“Pesantren punya misi dakwah. Kurikulumnya kyai itu sendiri. Jadi kami berterima kasih atas kepedulian ini. Bahkan jika bisa sampai membumi. Selama ada pesantren insyaAllah NKRI akan tetap eksis,” ujar Gus Yazid saat kegiatan Webinar Lakpesdam Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Malang, Sabtu (09/01/2021).
Sementara itu, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Malang, dr Umar Usman, menuturkan jika pesantren memang dikenal sangat mandiri mulai dari pendirian, pengelolaan dan kurikulumnya memang dari kyai itu sendiri.
“Pemerintah memberikan perhatian memang hal yang luar biasa. Anggaran dari pemerintah sangat besar maka harus dikawal akan betul betul bisa meningkatkan eksistensi pesantren. Dulu tidak ada dana dari pesantren aja sudah eksis. Apalagi sekarang ada, semoga semakin berkualitas,” ujarnya.
Namun, menurutnya pesantren harus memperhatikan perubahan-perubahan sosial. Terutama di era wabah COVID-19 ini pembelajaran tetap bisa jalan dan survive. Ia berharap Pandemi COVID-19 ini memiliki hikmah yang besar sebagai pelecut eksistensi pesantren.
“Harapan kami bisa merumuskan rekomendasi yang implementatif di pesantren dengan adanya PMA ini,” tutupnya.
Sementara perwakilan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Dr Rumadi Ahmad mengungkapkan jika pada abad 16 pesantren menjadi oposan terhadap kolonialisme. Banyak juga pesantren yang alergi dengan bantuan pemerintah dan ini adalah satu bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Sehingga mereka tidak menggantungkan pemerintah.
“Belum ada data yang menunjukkan bahwa pemerintah kolonial memberikan bantuan terhadap pesantren. Yang ada adalah bantuan pemerintah kolonial terhadap gereja,” ujarnya.
Setelah kemerdekaan RI, maka afirmasi terhadap pesantren sudah mulai diperhatikan pemerintah dengan adanya undang-undang pesantren. Menandakan bahwa pemerintah betul betul memperhatikan eksistensi pesantren. Bahkan jika ada statement yang menyatakan bahwa pemerintah selalu mendeskreditkan umat Islam dengan sendirinya tertolak dengan undang undang ini,” ungkapnya.
Lalu pada tahun 2018 pemerintah mengafirmasi pesantren yang mendirikan mahad ali. Mahad ali posisinya setara secara kelembagaan dengan STAIN, IAIN dan UIN.
“Kementerian Agama melaksanakan akreditasi dengan mahad ali yang menghadirkan asesor asesor berpengelaman. Kesimpulannya memang tidak bisa menyamakan penjaminan mutu dengan perguruan tinggi umum. Penjaminan mutu di pesantren yang melaksanakan kyai itu sendiri tidak harus ada lembaga penjaminan mutu seperti di perguruan tinggi,” terangnya.
Sementara Ketua Ketua Lakpesdam PCNU Kab Malang Abdul Malik Karim Amrullah menuturkan jika pihaknya sengaja menyelenggarakan webinar ini, karena komitmen lakpesdam untuk mengkaji isu isu terkini tentang pengembangan SDM yang ada di lingkungan NU, salah satu isu tersebut adalah Sistem Manajemen Mutu Pesantren yang secara tidak langsung pasti akan membicarakan tentang SDM di Pesantren untuk mengantisipasi pelaksanaan sistem manajemen mutu pesantren agar bisa berjalan dengan baik yaitu mampu menjaga tradisi di dalam pesantren.
“Mutu pesantren itu terlerak pada kyai itu sendiri, karenanya yang merumuskan mutu ya harus kyai itu sendiri bukan orang lain yang tidak paham pesantren. Harapan lakpesdam pcnu kab Malang adalah dengan adanya webinar ini, semoga menjadi batu pijakan untuk lebih mencintai pesantren,” tegasnya.
Terakhir, Ketua Lembaga Penjaminan Mutu UINSA, Prof Dr Ali Mudlofir MAg, mengatakan bahwa pesantren memiliki kekhasan dan dengan kekhasannya yang menjadikan pesantren eksis. Mutu adalah kesesuaian antara standar dan kenyataan. Kenyataannya pesantren memiliki kekhasannya sendiri. Sehingga standar yang dikembangkan harus menyesuaikan dengan pesantren. Karenanya standarisasinya tidak boleh sama dengan lembaga pendidikan formal.
“Harus ada kategorisasi dalam sistem penjaminan mutu pesantren. Yang merumuskan mutu eksternal adalah majelis masyayikh. Sedangkan untuk internal dewan masyayikh yang merumuskan,” ucapnya.
Ia menyebutkan pelaksanaan mutu bisa mengadopsi model PPEPP dengan model Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan. Penetapan tersebut harus konsisten dengan PMA (Peraturan Menteri Agama) yang dikeluarkan Kemenag. Harus ada pelatihan pelatihan bagaimana pengembangan standar di pesantren. Semoga ini bukan menjadi beban. Tapi memang konsekuensi dari adanya PMA tersebut.
“Memang pembahasan di pesantren itu ada kajian kajian yang sangat profan. Seperti konsep berkah, futuh dan itu sudah dilaksanakan para pendahulu kita. Yaitu para kyai kita pendiri NU,” tuturnya.
Konsep barakah, kata Ali Mudlofir, memang tidak bisa diukur. Tapi jangan sampai menjadi tolok ukur bahwa yang penting berkah dan si santri tidak belajar. Harus ada proses yang bisa dijamin, tapi aspek profannya yang itu tergantung dari santri sendiri.
”Pesantren dulu mampu menghasilkan kyai besar. Karena mujahadah mereka terhadap kitab yang mereka pelajari dengan konsep belajar yang bermutu,” pungkasnya.