BATU, tugumalang.id – BMKG telah memprediksi puncak musim hujan akan terjadi pada Januari 2023 dengan curah hujan berkisar antara 2.001 hingga 2.500 mm. Kota Batu, Jawa Timur yang terletak di dataran tinggi patut waspada bencana akibat cuaca ekstrem yang bakal terjadi.
Jika merunut data dari BPBD Kota Batu, hingga 10 Oktober 2022 sudah tercatat 93 bencana. Bahkan sejak memasuki awal musim hujan pada sepekan lalu sudah terjadi 11 kejadian bencana. Rata-rata merupakan kejadian banjir disertai material lumpur.
Angka kejadian itu terbilang tinggi. Sebelumnya, sepanjang tahun 2021 saja di Kota Batu terjadi 152 bencana. Terdapat peningkatan selama 4 tahun terakhir. Tahun 2018 ada 95 kejadian bencana. Lalu, meningkat jadi 115 bencana di tahun 2019 dan 114 bencana di tahun 2020.
Terparah, banjir bandang terjadi melanda Desa Bulukerto Kota Batu pada 4 November 2021. Dalam peristiwa itu, 80 rumah dinyatakan rusak dan 7 korban jiwa meninggal dunia.
Statistik ini membuktikan Kota Batu harus selalu waspada jika sudah memasuki musim hujan. Terlebih jika melihat hasil kajian indeks resiko bencana, potensi ancaman bencana paling tinggi di antaranya tanah longsor, banjir, angin kencang hingga angin puting beliung.
Kasi Kedaruratan dan Logistik BPBD Kota Batu, Achmad Choirur Rochim, dari hasil kajian itu pihaknya juga telah merekomendasikan berbagai langkah pencegahan agar potensi bencana itu bisa diminimalisir.
Namun, seharusnya perlu ada mitigasi. Namun itu, kata Rochim memakan banyak biaya. Sampai saat ini, pihaknya tidak bisa maksimal dalam hal ini. ”Contoh mitigasi bencana itu seperti sektor rawan banjir. Lalu apa? Disana artinya perlu pelebaran drainase atau sungai,” terang Rochim, Rabu (12/10/2022).
Sejauh ini, potensi tinggi terjadinya banjir terdapat di 10 titik. Seperti di Dusun Beru, Desa Bumiaji serta di Kali Paron dan di sejumlah titik di Kecamatan Batu. Sementara untuk titik longsor, ada di 7 titik. Seperti di Desa Gunungsari, Sumberbrantas, Giripurno dan Kelurahan Songgokerto di Kecamatan Batu.
Sebab utamanya, jelas Rochim karena dimensi sungai sangat kecil. Jika sewaktu-waktu hujan deras, maka air akan meluber ke jalan-jalan.
Sebagai alternatif, BPBD juga sudah memberikan rekomendasi kepada dinas terkait untuk melebarkan atau normalisasi sungai. ”Tapi itu juga biayanya tak sedikit. Sepertinya tahun ini tidak bisa terealisasi,” ujarnya.
Rochim melanjutkan, pihaknya melalukan upaya penanggulangan banjir jangka panjang. Seperti rekonstruksi sistem saluran drainase yang dalam hal ini butuh bantuan Pemerintah Provinsi dan BNPB.
Rekonstruksi sistem drainase memang kelihatannya tidak urgen karena memang merupakan bentuk penanganan jangka panjang. Namun jika melihat situasi di jalan-jalan kota ketika hujan hari ini sudah mulai menunjukkan tanda-tanda berupa genangan air.
”Jika tidak segera dicarikan solusi, genangan air akan semakin tinggi dan masuk ke permukiman. Jangan sampai itu kejadian,” ungkapnya.
Rekonstruksi sistem drainase ini menurut Rochim akan bisa dinikmati hasil manfaatnya pada 5-10 tahun ke depan. Mengingat semakin hari, daerah resapan air di Kota Batu semakin berkurang akibat pembangunan.
”Misal intensitas hujan tinggi, maka air akan masuk ke kawasan permukiman atau jalan-jaln sehingga menyebabkan banjir,” kata dia.
Lebih lanjut, sebagai antisipasi pencegahan timbulnya korban akibat peristiwa bencana alam tanah longsor, tahun ini pihaknya bakal melakukan penambahan dua alat early wearing system (EWS) baru.
“Saat ini Kota Batu sudah punya 10 EWS yang terpasang di titik-titik rawan tanah longsor Kota Batu. Lima EWS terpasang pada tahun 2020 dan lima EWS dipasang tahun 2021. Nanti yang baru akan dipasang di Dusun Claket, Desa Gunungsari dan Desa Sumberejo,” tandasnya.
Reporter: Ulul Azmy
editor: jatmiko