Tugumalang.id – Pitutur dan leluhur adalah dua hal yang mendapat porsi penting dalam konsep pendidikan atau sekolah bagi orang Samin. Melalui dua hal itu, warga ‘Sedulur Sikep’ yang sebagian besar tinggal di pedalaman Kabupaten Blora tersebut belajar bermasyarakat dan bersosial.
Tim ‘Jelajah Jawa Bali‘, Mereka yang Memberi Arti’ berkunjung ke Paguyuban Kerukunan Sedulur Sikep di Dukuh Blimbing, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Tim yang disupport oleh Tugu Media Group dan PT Paragon Technology and Innovation itu disambut langsung oleh Pramugi Prawiro Wijoyo (66), ketua Paguyuban Kerukunan Sedulur Sikep. Mbah Pram, biasa dipanggil, menyapa kami dengan hangat.
Disajikan kacang dan singkong rebus serta segelas kopi, kami berbincang dengan sosok yang merupakan turunan ke lima dari Samin Surosentiko, pendiri ajaran Sikep yang diikuti oleh masyarakat yang kemudian disebut Sedulur Sikep.
Mbah Pram, dalam kesempatan itu cukup miris dengan kondisi bernegara terutama di lingkaran pejabat yang krisis orang jujur, penuh koruptor dan para penilep uang rakyat. Dia pun heran dengan model pendidikan yang ada.
“Para koruptor itu, katanya orang berpendidikan tapi curi uang, berarti tidak berpendidikan,” kata dia.
Sejatinya, bagi sosok dua anak itu, pendidikan adalah ilmu yang diterapkan, bukan skedar diketahui tetapi berbeda dengan yang dilakukan. Dan itu yang dipraktikkan oleh orang Samin yang menurut datanya ada sekitar 2000 orang.
Tutur Tinular
Orang Samin selama ini, kata dia, selalu mempraktikkan apa yang diajarkan. Karena itu, belum diketahui ada orang Samin yang korupsi. Ditanya soal konsep pendidikan orang Samin, Mbah Pram menjelaskan bahwa pendidikan dilakukan dan dipraktikkan sepanjang waktu bukan hanya di sekolah (formal).
“Kapanpun kita belajar dan dipraktikkan ajaran itu, jadi tidak harus terjadwal sebagaimana sekolah (formal),” katanya.
Adapun cara mengajarkannya melalui tutur tinular yaitu disampaikan melalui penuturan secara turun temurun. Cara ini dianggap efektif karena meminimalisir tafsir yang membuat suatu ajaran disalahartikan oleh yang memelajari.
“Umumnya ajaran itu disampaikan melalui tulisan atau tutur tinular, kami menggunakan tutur tinular. Dalam cara ini kami tidak boleh menambah atau mengurangi ajaran yang sudah baik,” katanya.
Kapan pendidikan bagi anak orang Samin diberikan? Menurutnya, sejak anak itu mulai mengerti dan memiliki pemahaman maka pitutur dan ajaran leluhur itu diberikan.
Ajaran Leluhur Samin
Setidaknya ada dua hal yang menjadi ajaran orang Samin yaitu, tujuan hidup dan larangan dalam hidup. Tujuan dalam hidup ada lima di antaranya, demen, becce’, rukun, seger, waras. Demen itu seperti senang, tetapi senang belum tentu demen.
“Misalnya, saat jalan-jalan ada uang jatuh warna merah. Itu diambil, maka akan menimbulkan senang. Tetapi bagi Sedulur Sikep itu tidak demen, karena bukan uangnya,” paparnya.
Becce’ itu seperti apik (baik) tetap apik belum tentu becce’. Misalnya, dapat uang dari togel. Lalu diberikan pada temannya, itu apik tetapi tidak becce’karena uang itu bukan milik yang memberikan itu.
Adapun rukun adalah sumber kehidupan. Sebuah desa, kata Mbah Pram, bisa gotong royong dan maju karena orangnya bersatu atau rukun karenanya bisa hidup. Termasuk kelahiran manusia itu juga karena kerukunan.
“Kalau ibu kita tidak rukun dengan bapak kita, maka tidak akan ada kita. Itulah rukun sumber kehidupan,” katanya.
Seger mirip dengan enak, tetapi enak belum tentu seger. Kalau seger kebanyakan enak. Misalnya, di siang hari yang panas jalan-jalan di ladang persawahan ternyata kehausan dan lapar. Lalu di situ ada tanaman semangka dan melon yang segar.
Maka diambil buah itu dan dimakan, itu enak tetapi tidak seger karena bukan punya sendiri. Adapun waras adalah kata yang biasa diasosiasikan dengan tidak sakit. Tetapi orang tidak sakit belum tentu waras.
“Kalau ada orang bertengkar, yang misah biasaya bilang yang waras ngalah. Berarti suka bertengkar itu tidak waras meskipun sehat,” kata dia.
Sementara larangan orang Samin juga ada lima, yaitu drengki, srei, panasten, dahpen, dan kemeren. Drengki adalah larangan menjadi orang paling jahat dan jahil, srei larangan untuk menjegal orang lain, panasten adalah larangan memanas-manasi orang, dahpen larangan untuk tidak ngurusi urusan orang lain, kemeren itu adalah larangan untuk iri.
“Jadi segala macam bentuk kejahatan masuk di dalam lima larangan ini, dan segala bentuk kebaikan masuk di dalam tujuan hidup tadi,” kata sosok pria yang mengaku pernah sekolah formal hanya kelas 4 SD tersebut.
Namun demikian bukan berarti orang Samin anti terhadap pendidikan formal. Tetapi baginya, pendidikan formal saja tidak cukup untuk mebhirkan generasi yang baik dan jujur, melainkan masih perlu pengarahan dan bimbingan yang berdasarkan pada pitutur dan ajaran para leluhur.
Catatan ini adalah bagian dari program Jelajah Jawa-Bali, tentang Inspirasi dari Kelompok Kecil yang Memberi Arti oleh Tugu Media Group x PT Paragon Technology and Innovation. Program ini didukung oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Pondok Inspirasi, Genara Art, Rumah Wijaya, dan pemimpin.id.
Reporter: Herlianto. A
editor: jatmiko