Oleh: Pietra Widiadi*
Di mulai dengan kehadiran beberapa orang, jembatan panjang yang tak terawat, hutan, dan ular. Lalu dibuka dengan Bahasa Jawa Mataraman di daerah yang katanya timur, Jawa Timur, dan diiringi gending Jawa yang mengiring suara merdu Sinden. Tidak ada keterangan kapan kejadiannya, hanya 2009. Jadi menggambarkan tahun 2009, dengan desa antah berantah di tlatah Jawa Timur.
Pembukaan yang ingin menggambarkan kengerian, mencoba memberikan kesan mistis dan kengerian serta dihantar dengan dialog bahasa Jawa yang tidak mengesankan Jawa Timur, bagian timur dan bisik sangkaaan yang serem.
Setelah itu, datanglah para mahasiswa yang disertai cewek yang berjilbab, dari kumpulan cewek yang datang ber-KKN yang diberi kesan berpikiran rasional penuh ketaqwaan.
Dalam perjalanan sebagian film, pada penggal-penggal tertentu kemudian muncul bahasa Jawa yang ditampilan mengesankan khas bahasa Jawa budaya Arek.
Film ini tayang di gedung bioskop, dialawai dengan iklan, promosi begitu gencar dan memberikan makna yang “woow”, sebuah karya yang akan memberikan tontonan horor dengan latar belakang budaya Jawa yang “ndeso”.
Saat kemunculan beberapa penggal slot dalam film itu, sudah bisa ditebak, tontonan ini akan mengejek cara laku orang Jawa yang jauh dari rasionalitas dan penuh dengan hal-hal mistis yang jahat yang hanya bisa dilawan dengan keberagamaan yang taat. Bagi kaum muda usia remaja (saya mengindari istilah milenial, atau bahkan stereotype tentang generasi Z), ini adalah tontonan yang akan menghadirkan ketegangan, apa lagi dalam benak mereka Jawa adala keangkeran, kemistisan.
Setelah iklan bertebaran dan kemudian kelarisan direngkuh, jualan film ini mengorbankan laku budaya dan gambaran tentang budaya adiluhung. Generasi kita makin jauh dari budayanya sendiri. Mereka makin mendekap erat budaya barat dan ala Timur Tengah yang dianggap mencerahkan dan mendekati pada rasionalitas dalam bertuhan. Ini jelas tidak akan bisa ditemukan dalam budaya Jawa.
Gambar sesaji, banten atau cok-cakal sebagai sarana untuk mengaturkan suguh pada leluhur, dianggap sebuah cara yang tidak patut. Dupa dan kemenyan yang dianggap mendatangkan setan, demit, dan iblis jahanam. Padahal kalau disimak lebih dalam, kemenyan adalah barang yang mahal yang biasa dipakai sesembahan kepada Sang Kuasa, misalnya dalam agama Kristen dengan “persembahan mas, kemenyan….” Yang dapat ditemukan dalam kitab suci mereka. Kita bisa lihat bukhur, bagi budaya Timur-Tengah yang juga menyajikan wewangian dalam hidangan kesalehan. Kemudian seolah dikuatkan dengan gambaran kakek tua dengan jenggot dan suara parau yang menakutkan, menandakan bahwa dukun adalah kesialan hidup.
Gambaran-gambaran yang meminggirkan budaya Jawa itu, ditegaskan lagi soal gamelan, dan tembang Jawa (baca geguritan) yang diindahkan oleh Sinden serta tarian yang menjadi bagian dari ritus budaya yang menghargai karya leluhur ditempatkan sangat marginal, sebagai dalang dari kesesatan. Lebih jauh dari itu, film ini juga menggiring pada pemahaman bahwa perempuan dengan pakaian yang terbuka, perempuan yang tidak santun akan celaka, dan cenderung dengan perilaku seks yang bebas, dan ini adalah kaum penzina (baca Konde.com).
Gambaran khas tentang pemahaman puritanisme (cara dalam bahasa Inggris pure, asli atau murni), jadi semacam penanda bahwa Jawa atau laku Jawa itu, tidak murni dalam kekhasanahan orang memuji Illahi. Dalam hal ini purtanisme, atau paham kemurnian menjadi langgap yang cukup kuat menghantarkan bahwa dalam berbudaya, seperti Jawa, itu tidak cukup elok.
Dalam hal ini jelas bahwa Jawa yang pada dasarnya bukan sekedar pakaian, bukan sekedar tarian yang dilengkapi seperangkat gamelan dan pujian dari para Sinden, dan bukan sekedar bahasa atau bahkan warna kulit dan agama, dalam hal ini pada titik puncaknya, seharusnya mendudukan budaya Jawa puncak dari karsa, karya, dan rasa.
Dalam pemahaman ini, maka jelas bahwa Jawa pada film yang dianggap paling laris dari jualan tontonan, tidak mendudukan Jawa sebagai pusatnya, sebagai bentuk budaya yang patut dijunjung, tetapi dilecehkan dalam posisi yang cukup rendah. Akal sehat diabaikan, penjelasan Jawa Timur tidak spesifik karena Jawa Timur terbagi dalam beberapa sub-budaya berdasarkan logat bahasanya yaitu Mataraman, Arek, Pendalungan, Madura, dan Osing.
Bahkan tidak memberikan informasi kejadian kapan, ini menyesatkan. Bahwa Jawa (khususnya yang timur), memiliki cara hidup tidak sehat, rumah kotor, kamar mandi seadanya, WC (water closet) yang jorok, dan ketertinggalan yang amat jauh sehingga tidak ada penerangan. Hutan yang jauh dari kota. Jadi Kuliah Kerja Nyata, yang nyata-nyata tidak KKN karena memang tidak menggambarkan mahasiswa sedang kerja nyata, tetapi mahasiswa yang tersesat di desa Jawa yang membuat mereka kesurupan (Bahasa Jawa, artinya sudah melewati senja).
Film ini hanya tontonan saja dengan pendekatan gimik pemasaran sebuah produk seolah memberikan rasa Jawa, dan ternyata dimakan oleh kaum muda dan penonton yang dengan atusias memadati gedung bioskop yang hampir dua tahun lebih kosong melompong karena COVID-19. Ini tontonan yang bukan menunjukan laku budaya Jawa tetapi sekedar jualan dari pemilik modal yang tanpa bertanggungjawab tidak meletakkan budaya Jawa pada tempatnya.
Yang penting cuan, duit bisa diraup dengan sebanyak-banyaknya. Jadi film ini jelas tidak mendidik dan membawa pada mainstream dan stereotype yang tidak tepat, bahwa budaya Jawa penuh kesirikan dan tentu saja film ini sangat menyepelekan akal sehat. KKN yang menyesatkan.
*Penulis merupakan penggagas kelompok diskusi Jawi Kawi dan beraktivitas barengan dengan teman-teman Sabtu Legen dari Giritoya Mataya yang biasa ngobrol budaya Jawa di Lereng Tumur Gunung Kawi, dan founder dari Pendopo_Kembangkopi dari Yayasan dial (www.dial.or.id)
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id