MALANG, Tugumalang.id – Pendidikan adalah kunci utama untuk mencapai kesuksesan dalam hidup. Barangkali demikian kalimat yang cocok menggambarkan kisah perjalanan Rektor Universitas Islam Malang (Unisma), Prof. Drs. H. Junaidi, M.Pd, Ph.D.
Tumbuh dari lingkungan yang begitu religius di Lumajang, Jawa Timur. Prof. Junaidi begitu ia kerap disapa lahir dan dibesarkan oleh sang ibunda yang buta huruf. Meski demikian hal itu tak menyurutkan semangat kedua orang tua Prof. Junaidi untuk menjadikan putranya itu menempuh pendidikan setinggi mungkin.
Karena tumbuh di lingkungan yang religius, kedua orang tua Prof. Junaidi ingin anaknya menjadi guru. Walau demikian, tidak mudah bagi Prof. Junaidi untuk menjadi guru karena orang tua sempat menginginkan anaknya untuk menempuh pendidikan di pondok pesantren.
Baca Juga: Rektor Unisma Pimpin Workshop Strategi Susun ISK untuk Penguatan Akreditasi Prodi Perguruan Tinggi NU Jawa Timur
Tetapi berkat peran dari guru semasa Sekolah Dasar (SD) dan juga keinginan belajar dari Prof. Junaidi yang semasa muda begitu tinggi. Takdir seperti menuntunnya ke jalan yang diinginkan oleh kedua orang tuanya hingga memimpin salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) unggulan di Kota Malang.
“Kedua orang tua saya fanatik terhadap sesuatu yang bersifat religius. Sehingga saya pun diminta harus masuk ke pesantren. Menarik sebenarnya karena saya tinggal di lingkungan masyarakat Madura pada saat itu, hampir tidak ada yang sekolah umum,” tutur Prof. Junaidi dalam podcast Tugu Inspirasi, Senin (20/1/2025).
“Yang bisa menyelesaikan SD, bisa dihitung dengan jari. Karena mereka biasanya sekitar kelas 4 atau 5 (SD) setelah mengenal Bahjatul Wasail mereka diarahkan orang tuanya ke pondok,” sambungnya.
Hal demikian juga dirasakan Prof. Junaidi dimana kedua orang tuanya berkeinginan melanjutkan pendidikan sang putra bukan di sekolah formal tetapi di pondok pesantren.
Apalagi saudara-saudara Prof. Junaidi nyaris semuanya merupakan lulusan pondok pesantren. Sehingga kedua orang tua Prof. Junaidi ngotot memasukkannya ke pondok pesantren.
“Termasuk saya pun juga begitu, cuma masalahnya mungkin keterbatasan pengetahuan orang tua. Pilihannya ke Ponpes (Pondok Pesantren) Salaf yang tidak ada pendidikan umumnya. Orang tua saya ngotot karena saudara-saudara semua dari ponpes,” bebernya.
Namun saat itu, kepala sekolah SD tempat Prof. Junaidi belajar melihat ada potensi yang dimilikinya. Sehingga amat sayang jika harus berhenti pendidikan formalnya.
Baca Juga: Peringati Hari Santri Nasional, Rektor Unisma Kobarkan Resolusi Jihad
Untuk mensiasati agar kedua orang tua Prof. Junaidi luluh, kepala sekolah SD tersebut menjadikan muridnya itu juara satu saat pengumuman kelulusan. Hal itu dilakukan agar orang tua Prof. Junaidi luluh dan mengizinkan putranya melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Akhirnya kedua orang tua Prof. Junaidi luluh dan mengizinkan anaknya melanjutkan ke SMP tetapi tetap mondok di musala dekat rumah.
“Dijadikanlah saya Juara 1 pada saat lulus SD. Setelah lulus, kepala sekolah mendekati orang tua saya dan barangkali berkata seperti ini, Jun ini pinter kalau yang lain saudara-saudaranya ke pondok. Jun sekolahkan saja ke SMP. Kurang lebih seperti itu,” kenang Prof. Junaidi.
“Waktu itu orang tua bersikukuh tidak, tetapi waktu itu rupanya didesak dan dibujuk terus oleh kepala sekolah sampai orang tua saya akhirnya luluh. Boleh sekolah SMP setelah lulus SMP harus ke pondok,” imbuhnya.
Walau telah mendapat izin melanjutkan sekolah ke SMP. Prof. Junaidi tidak lupa untuk tetap mengaji di mushola yang guru ngajinya adalah pamannya sendiri. Sepulang sekolah dari sore hingga pagi, Prof. Junaidi di mushola untuk menempuh pendidikan agam. Ketika pagi ia siap-siap berangkat ke sekolah, begitu rutinitasnya semasa remaja dulu.
“Kalau pendidikan agama, saya tumbuh di musala kampung. Kalau di musala saya menginap, sore berangkat kemudian pagi baru pulang, lalu siap-siap berangkat ke sekolah. Seperti itu rutinitas waktu dulu,” paparnya.
Lulus dari SMP, keinginan kedua orang tua Prof. Jun agar anaknya masuk pondok pesantren belum juga surut. Tetapi saat itu, Prof. Jun menyampaikan keinginannya kepada orang tua untuk melanjutkan pendidikan formal lagi.
Akhirnya restu diberikan oleh kedua orang tua Prof. Jun tetapi ia diminta untuk melanjutkan ke sekolah guru karena mereka memiliki harapan sang anak menjadi seorang guru. Kemudian Prof. Jun melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang sekarang setara SMA.
“Kebetulan harapan orang tua, saya itu menjadi guru mengaji. Saya diizinkan sekolah asal tetap pilihannya jadi guru dan masuklah saya ke SPG,” tuturnya.
Bidang Pendidikan pun menjadi jalan bagi Prof. Junaidi untuk menunaikan mimpi kedua orang tuanya dan menggapai kesuksesan.
Setelah lulus SPG, Prof. Junaidi melanjutkan studi S1 dan S2 di IKIP Malang yang sekarang menjadi Universitas Negeri Malang (UM). Kemudian menempuh studi S3 di Monash University, Melbourne, Australia.
Kegigihan dan ridho dari orang tua membuat Prof. Junaidi menjadi guru besar hingga dipercaya memimpin Unisma untuk periode 2024-2028.
Kisah dari Prof. Junaidi menjadi inspirasi bagi anak muda untuk merawat semangat belajar dan selalu meminta ridho orang tua dalam menggapai cita-cita di masa depan.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: Bagus Rachmad Saputra
redaktur: jatmiko