MALANG – Masyarakat yang memiliki konsern terhadap konservasi alam di Malang Raya pasti sudah tidak asing lagi dengan Lembaga Konservasi Sahabat Alam Indonesia (SAI) yang bermarkas di Perumahan Graha Dewata Blok JJ5 No.10, Desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, dan juga memiliki side camp di Pantai Kondang Merak.
Lembaga yang didirikan oleh Andik Syaifudin ini memiliki kepedulian untuk melakukan konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu Sahabat Alam Indonesia juga bergerak di perlindungan hutan dan laut.
“Kita juga sering melakukan pendampingan di Pantai Bajulmati, membantu nelayan di Nganteb, pendampingan di Sendang Biru juga,” terang Andik saat acara ngobrol santai di live Instagram tugumalang.id beberapa waktu lalu.
Andik sendiri bercerita jika Sahabat Alam Indonesia berdiri sejak tahun 2010, namun saat itu dirinya masih berfokus pada konservasi di luar pulau seperti Kalimantan hingga Sumatera. Lalu setelah itu ia memutuskan pulang ke Malang karena melihat di kampung halamannya perusakan lingkungan tak kalah mengkhawatirkan.
“Kita bergerak mulai 2010 sampai sekarang, kenapa sekarang kita juga membantu di Malang Selatan, karena kita dulu pengkhianat, kita lebih dulu melakukan pemberdayaan masyarakat dan konservasi di luar pulau dan luar kota. Dan hampir 10 tahun 6 bulan ini kita tanpa sponsor dan hanya swadaya,” bebernya.
“Lalu timbul suatu pertanyaan, lho mas sampean jauh-jauh dari Malang ngajarin kita baca tulis, bikin rumah baca, memberikan edukasi orang yang pakai potas dan bom ikan sampai akhirnya bareng-bareng jadi pejuang konservasi, gak dibayar lagi. Di daerah mas sudah tah kok perhatian sampai jauh-jauh kemari? Itu yang menjadi salah satu alasan kenapa kita tertampar dan memutuskan pulang ke Malang,” sambungnya.
Selain itu, ia melihat Malang menjadi barometer pecinta alam, pemerhati lingkungan, pusat pendidikan sampai penelitian, begitupun doktor-doktor yang tarafnya nasional sampai internasional.
“Tapi jarang sekali orang Malang yang terjun ke pelosok-pelosok dan hanya berkumpul di kota bahkan luar kota karena banyak alasan mulai dari jalan rusak, sinyal sampai listrik,” ungkapnya kecewa.
Karena hal itu, membuat oknum-oknum perusak lingkungan jadi makin leluasa mengeruk keuntungan di Malang tanpa memikirkan dampak lingkungan yang ditimbulkannya.
“Akhirnya kita kecolongan banyak hal mulai 18 tambang pasir besi, kemudian kasus cagar alam Pulau Sempu digoyang berkali-kali, kemudian perusakan terumbu karang yang pertumbuhannya hanya 1-8cm setiap tahun itu diambil dijual Rp 3 ribu sampai Rp 10 ribu buat aquascape,” tandasnya.
Di tahun 2014, Sahabat Alam Indonesia juga menemukan kasus perusakan stalaktit dan stalakmit gua di Malang Selatan.
“Stalaktit dan stalakmit ini dipotong dan dijual Rp5 ribu per cm. Padahal untum tumbuh 2mm saja itu butuh hampir 10 tahun untuk aquascape, bonsai dan rumah reptil,” mirisnya.
Selain itu, penjualan satwa langka di Malang juga masih sangat mengkhawatirkannya. Banyak satwa eksotis dijual dengan harga yang murah.
“Jual beli satwa, kukang dijual Rp65 ribu per ekor dan landak dijual Rp50 ribu per ekor, trenggiling dijual Rp250 ribu sampai Rp350 ribu per ekor,” bebernya.
Tak kalah mencengangkan, Andik dan kawan-kawan pernah memergoki 40 orang menyangkap ikan hias dan terumbu karang di pantai-pantai Malang Selatan menggunakan potassium dan bom.
“Kita pernah nangkap orang potas laut buat ambil ikan hias sama terumbu karang, mereka bawa truk dan mobil pribadi. Dan yang motas ada 40 orang mulai dari orang Wagir, Blimbing, Kepanjen dan lain-lain,” tuturnya.
Pria ramah senyum ini juga mengatakan jika nelayan-nelayan yang tidak memiliki kesadaran lingkungan juga memburu lumba-lumba, hiu dan penyu dalam jumlah yang tidak sedikit.
“Nelayan kita dalam satu jam bisa bantai 7-12 ekor lumba-lumba dan ada yang dapat 32 ekor. Per Kg dagingnya Rp 5 ribu dan kulitnya Rp 50 ribu, berarti satu ekor lumba-lumba beratnya 100Kg dan kulitnya 5-10Kg. Selain itu nelayan kita dalam satu jam bisa bantai 1-3 ekor penyu yang beratnya bisa mencapai 150Kg per ekor, harga dagingnya Rp 5 ribu per Kg dan Rp 80 ribu per Kg yang ada kikilnya. Nelayan kita juga dalam 2,5 jam bisa membantai 2,5 ton dan jika diuangkan bisa sampai Rp 28 juta, siripnya saja yang kering sekarang bisa mencapai Rp 1 juta per Kg,” paparnya.
Terakhir, Andik mengatakan jika semua ini terjadi karena pemerintah sendiri masih setengah-setengah dalam memberikan sosialisasi terkait konservasi lingkungan.
“Hal ini karena sosialisasi yang kura efektif, bagi pemerintah beberapa hiu dilindungi, bagi orang awam semua hiu dilindungi, dan bagi nelayan semua hiu halal karena mereka sendiri yang dapat. Dan karena peraturan yang mengatakan hiu boleh ditangkap asalkan tidak diekspor, akhirnya nelayan kita kumat dalam 2 hari bisa dapat 14 ton hiu,” pungkasnya.