Tugumalang.id – Features (fices) adalah cara berbeda menyajikan karya jurnalistik. Bentuknya lebih ke cerita atau story telling. Tujuannya bukan hanya untuk informasi, namun menyentuh aspek emosi pembaca. Dan wartawan kerap dituntut untuk menulis laporan jurnalistik dengan gaya ini.
Dalam sesi terkini di Program Fellowship Jurnalisme Pendidikan (FJP) 2022 Batch IV, pada Selasa (1/3/2022), Asro Kamal Rokan, wartawan senior di era 1980-an yang kini aktif menulis buku, mengupas habis soal kiat-kiat menulis fices.
Tidak ada kiat khusus dari dia bagaimana untuk memulai menulis dengan gaya jurnalisme sastrawi ini. Satu hal yang dibutuhkan dalam memulai menulis dengan gaya fices, kata Asro, tidak perlu berpikir rumit. Sederhana saja. Asro memulainya dengan prinsip ‘risoles’.

”Ceritakan tentang risoles, mulai warna, teksturnya, isinya. Bumbui dengan sejarah dan asal muasalnya. Bantu pembaca semaksimal mungkin agar mereka bisa menghadirkan makanan ini dalam imajinasi pembaca,” kata mantan Pemred Republika ini.
Inti dari fices, menurut Asro, adalah bagaimana cara membawa pembaca tenggelam dalam kisah peristiwa yang sedang kita sampaikan. Sekecil apapun atau setidak penting apapun ceritanya. Tentu ada banyak cara untuk bercerita.
”Butuh sentuhan khas dalam menggambarkan data dan fakta secara utuh. Paling tidak anda dituntut untuk memvisualkan tulisan itu,” jelasnya.
Tentu saja, kata Asro, menulis fices juga bicara soal proses. Tidak ada wartawan yang lahir dan lalu bisa menulis fices dengan baik. Namun jika ingin belajar, seringkali penulis fices terbaik adalah wartawan olahraga.
Kenapa? Karena wartawan olahraga dituntut untuk mendeskripsikan jalannya pertandingan, suasana stadion, hingga skema permainan tanpa ada narasumber.
”Apa jadinya jika berita olahraga hanya ditulis skornya saja? Pencetak gol? Tentu akan sangat kering,” papar Presiden Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (Iswami) ini.
”Pada akhirnya, menulis fices adalah soal proses. Teruslah menulis, pisau tidak akan bisa digunakan jika tidak diasah. Begitu juga menulis, tidak bisa jika tidak ada proses latihan,” tutupnya.

Tri Juli Sukaryana, mentor lain dalam FJP yang digagas oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) bersama PT Paragon Technology and Innovation ini menambahkan, selain gaya fices, menariknya sebuah berita juga terletak dalam makna beritanya.
Dalam jurnalistik, itu disebut dengan news value atau nilai berita. Sebuah berita, kata Tri, mutlak harus memiliki news value. Bisa saja berita itu mempunyai nilai kedekatan (proximity), ketenaran (prominence), aktualitas (timeliness), dampak (impact), keluarbiasaan (magnitude), dan keanehan (oddity).
”News value inilah yang lalu membedakan karya jurnalistik dengan media sosial. Karya jurnalistik harus berkualitas dan tentunya bermanfaat bagi publik,” kata wartawam senior di Media Indonesia ini.
Makna berita inilah yang kemudian menjadi ruh dari laporan jurnalistik berkualitas. Selain ruh, makna dan nilai berita juga membantu pembaca menilai sebuah peristiwa, data, maupun fakta yang sedang terjadi.
”Dalam posisi ini, saya tegaskan untuk menghindari membuat opini. Jadilah wartawan yang kompeten dengan memegang teguh prinsip verifikasi,” tegas Tri Juli.
Perlu diketahui, FJP diinisiasi oleh PT Paragon Technology and Innovation berkolaborasi dengan GWPP. FJP yang akan berlangsung hingga Mei 2022 secara virtual melalui Zoom ini, akan mencakup aspek pelatihan, praktik, dan pendampingan, khususnya dalam mengarusutamakan isu pendidikan.
Ada lima mentor kapabel yang mendampingi yakni Nurcholis MA Basyari, M Nasir, Haryo Prasetyo, Frans Surdiasis, dan Tri Juli Sukaryana.
Dalam FJP Batch IV ini kembali dipilih 15 peserta jurnalis dari berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya Wartawan tugumalang.id, M Ulul Azmy yang terpilih menjadi salah satu peserta.(*)
Reporter: Ulul Azmy
Editor: Lizya Kristanti