Tugumalang.id – Keberadaan sawit di Kabupaten Malang utamanya di Malang Selatan masih menjadi pro dan kontra. Banyak yang ragu jika pohon sawit pernah eksis di wilayah pesisir pantai selatan tersebut. Namun, beberapa aktivis juga membenarkan keberadaan tanaman asal Nigeria tersebut.
Oleh karena itu, tugumalang.id bersama Lembaga Konservasi Sahabat Alam Indonesia (Salam) bersama Dosen Jurusan Biologi Universitas Brawijaya (UB), Prof Luchman Hakim; serta 2 mahasiswa UB sekaligus Volunteer Salam, Agus Nurrofik dan Afina Aninnas; bersama-sama menguak bagaimana kenyataan di lapangan, apakah sawit benar-benar eksis di Malang Selatan atau tidak?
Wilayah pertama yang didatangi adalah di wilayah Dusun Sumberrejo, Desa Bandungrejo, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Kami mendapatkan informasi bahwa beberapa perkebunan warga sudah ditanami pohon sawit sejak 2012.

Saat kami sampai di Dusun Sumberrejo, ternyata benar ada berhektar-hektar tanah yang ditanami sawit. Warga tidak menjelaskan pasti berapa hektare total luas tanah mereka, yang pasti jika ditotal, ada lebih dari 5 hektare lahan yang ditanami sawit.
Tanah-tanah tersebut adalah milik warga yang mendapatkan bibit sawit secara gratis sejak 2012 lalu. “Saya dapat itu kalau tidak salah sejak 2012 lalu dari salah satu lembaga secara gratis. Katanya kalau kita mau menanam dijanjikan harganya bisa Rp 2.000 per Kg,” tutur salah satu mantan petani sawit, Parmin (50), di rumahnya di Dusun Sumberrejo, pada Rabu (26/05/2021).
Namun kenyataannya, harga sawit terus menurun hingga mencapai Rp 800 per Kg. Hal ini membuat Parmin tidak lagi mengurus perkebunan sawitnya. Tanaman tersebut dibiarkan tumbuh liar karena dia kesulitan memusnahkan tanaman tersebut.

“Mau gimana lagi, harganya sudah anjlok gak sesuai yang dijanjikan. Mau saya tebang juga malah nambah biaya,” tuturnya.
Bahkan, di salah satu petak tanah di Dusun Sumberrejo yang dulunya adalah sawah basah yang ditanami padi, kini tanah tersebut mengering dan tidak ada lagi air mengalir seperti dulu.
Berlanjut ke wilayah lain, lahan sawit juga ditemukan di Desa Tumpakrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang. Di sana, hamparan sawit juga sedikit lebih luas daripada yang ada di Dusun Sumberrejo.

Tidak jauh berbeda dengan yang ada di Dusun Sumberrejo, sawit-sawit di sana juga sudah tidak diurus kembali. Bahkan, beberapa tanaman sawit nekat di tebang menggunakan gergaji mesin. Namun, tetap saja tanaman tersebut masih sulit disingkirkan dan batang-batangnya memutih tidak segera membusuk, sekilas terlihat seperti candi.
Founder Lembaga Konservasi Sahabat Alam Indonesia (Salam), Andik Syaifudin, mengatakan bahwa bukan tanpa alasan pihaknya menolak mentah-mentah rencana Bupati Malang, Muhammad Sanusi, untuk membuka lahan sawit di Kabupaten Malang.
“Sebenarnya kita para aktivis menolak sebuah kebijakan tergantung dampak positif dan negatif sosial lingkungan, mana yang lebih banyak positifnya dan mana yang kebih banyak negatifnya. Jadi, kita tidak serta merta menolak pembangunan, tapi jika kebijakan itu bagus kita dukung dan kalau jelek kita kritis dengan solusi,” terangnya.
Menurutnya, lebih banyak dampak sosial ekonomi yang dibuat oleh sawit daripada tanaman agroforestri yang lainnya.
“Sementara untuk sawit kenapa kita menolak, itu karena dampak sosial lingkungan lebih banyak daripada tanaman agroforestri yang lain seperti kopi, cengkeh, kelapa, karet, dan lainnya. Kita tidak pernah melihat aktivis menolak itu (kopi, cengkeh, dll), tapi ketika sawit mulai dari harga, dampak sosialnya, sampai dampak ekologisnya itu lebih banyak,” ungkapnya.
Menurutnya, Pulau Jawa dan Malang memiliki beban penduduk 65 persen lebih banyak daripada daerah lain di Indonesia.
“Belum lagi di Malang Selatan adalah kawasan karst atau airnya itu di bawah permukaan kapur. Itu juga akan mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat,” bebernya.
“Oleh karena itu, kita selalu mempertanyakan kenapa harus sawit di Malang, kenapa tidak produk-produk agroforestri lain yang sudah ada di Malang seperti cengkeh, kopi, kelapa, dan buah-buahan lainnya,” imbuhnya.
Selain itu, sawit hanya bisa dijual di pabrik sehingga rawan terjadi monopoli harga. Berbeda dengan komoditas lain seperti cengkeh, kopi, kelapa, dan lainnya yang bisa dijual secara bebas.
“Karena kalau itu (cengkeh, kopi, kelapa dan lainnya) dikembangkan, maka akan menjadi sebuah produk ciri khas di Malang itu sendiri. Jadi, ketahanan pangannya lebih kuat, dan akan mendekatkan antara petani dan pembeli. Sehingga para petani tidak akan dipermainkan oleh tengkulak,” paparnya.
“Sedangkan sawit tidak bisa dijual bebas secara umum, karena hanya terpaku kepada pabrik. Sehingga kalau itu menjadi perkebunan homogen dan dijual ke pabrik maka akan terjadi monopoli harga baik harga buah sawit, harga pupuk,” sambungnya.
Selain karena perawatan yang mahal dan melelahkan, untuk beralih dari sawit juga tidak kalah susah. Tanaman tersebut terkenal bandel untuk disingkirkan dan dijadikan lahan komoditas lain.
“Untuk merawat sawit hidup juga lumayan mahal, karena butuh tenaga, waktu, dan materi untuk membersihkan pelepahnya sampai mendekati buah pasir. Dan bagi mereka yang sudah kecewa terhadap harga sawit hancur dan lainnya, itu untuk memotong sawit memerlukan biaya yang lebih mahal,” beber pria ramah senyum ini.
“Kesulitan dari petani yang mau beralih dari sawit sendiri adalah karena yang bisa dimanfaatkan dari sawit hanya buahnya. Sedangkan dari batang sampai pelepahnya tidak bisa dimanfaatkan kecuali dibakar,” tambahnya.
Padahal menurutnya, jika warga menanam kelapa saja, seluruh bagian pohon tersebut bisa dimanfaatkan dan dijual. “Ini berbeda ketika mereka menanam kelapa, kelapa saja kalau sudah tidak produktif kayunya dipotong masih laku. Lalu proses dia tumbuh mulai dari janur, kelapa muda, kelapa tua, serabut kelapa, batok kelapa, daging kelapa, dan air kelapa semua bisa dipakai,” ungkapnya.
Menurutnya, kelapa biasa dalam sebulan bisa menghasilkan uang mencapai Rp 2,5 juta dengan memilih 50 pohon saja.
“Selain itu harganya juga lebih bagus, contohnya kalau warga memiliki 50 pohon mereka panen sebulan sekali dan ada yang 15 hari sekali itu bisa 500 buah pohon,” bebernya.
Sedangkan sawit hanya menghasilkan uang Rp 400 ribu dengan jumlah pohon yang sama, yaitu 50 pohon.
“Kalau sawit anggap saja buah segarnya Rp 800 per Kg, kalau mereka punya 50 pohon sawit katakanlah menghasilkan 10 Kg per pohon, makanya tinggal kalikan 50 dikali 10 Kg dikalikan lagi Rp 800,” jelasnya.
“Makanya itu tidak sebanding dengan tenaga, waktu, pemikiran dan pupuk yang mereka lakukan,” imbuhnya.
Terakhir, Andik mengatakan bahwa penanaman sawit di Kabupaten Malang cepat atau lambat akan menimbulkan bencana ekologi yang baru.
“Kita melawan sawit bukan hanya cocok tidak cocok, tapi dari dampak sosial, ekonomi, dan ekologisnya itu sudah tidak sebanding. Ketika ini sudah dimasifkan (penanaman pohon kelapa sawit), kita sudah bersiap-siap dengan ancaman bencana ekologi baru di Malang Selatan,” pungkasnya.
Reporter: Rizal Adhi
Editor: Lizya Kristanti