MALANG – Pernahkah Anda mendengar atau menonton pertunjukan Jaranan atau Jaran Kepang? Jaran Kepang yang juga dikenal dengan Jaran Kepang Dhor jadi salah satu pertunjukan kesenian khas Malang yang telah ada sejak zaman kerajaan Singhasari.
Nama Jaran Kepang berasal dari kata jaran atau kuda dan kepang yakni anyaman bambu kuda-kudaan yang dibuat pipih dan dicat. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Kualam (2012) menyebutkan sebutan nama kesenian ini bermacam-macam, mulai dari tari kuda lumping, jaran kepang, jaranan dan jathilan.
Intinya adalah tarian menunggang kuda dengan iringan musik gamelan. Seni tradisional ini punya banyak versi yang juga berkembang di beberapa daerah bekas kekuasaan Singhasari seperti Kediri, Blitar, Nganjuk dan Tulungagung.
Ada Jaran Kepang Pegon, Jaran Kepang Sentherewe dan Jaran Kepang Dhor. Perbedaan terletak pada kostum, ragam gerak tari hingga jenis iringan gamelan yang dipengaruhi kearifan lokal.
Jaran Kepang Dhor, Kesenian Khas Malang
Istilah ‘Dhor’ jadi kekhasan jaranan dari Malang karena berasal dari alat musik jedhor yang digunakan. Sugito dalam tulisan Kualam (2012) menjelaskan jika ritme dari suara jedhor ini menentukan koreografi dan gerak langkah para penari.
Jaran Kepang Dhor yang jadi bagian dari kesenian khas malang punya perbedaan tersendiri yang unik dibanding seni jaranan lainnya. Yang paing menonjol, jaranan dor dianggap lebih “keras” dalam pertunjukannya, apalagi saat kalap (kesurupan).
Baca Juga: Mencicipi Soto Lombok, Kuliner Legendaris Khas Malang Sejak 1955
Soal kostum, Jaran Kepang Dhor punya kostum yang khas. Pemainnya menggunakan pakaian yang didominasi warna hitam dan putih. Biasanya kostum terdiri dari baju lengan panjang, rompi hitam serta celana pendek ala panji yang juga berwarna hitam.
Lengkap dengan udheng di kepala dan gongseng di pergelangan kaki. Gongseng atau krimpying sama seperti yang biasa digunakan penari remo dan ludruk. Seiring perkembangan zaman, kostum jaranan dorm akin berkembang dan bervariasi.
Prosesi Pertunjukan Jaran kepang Dhor
Bunyi gendhing yang dimainkan oleh wiyogo atau pengrawit menjadi jadi pembuka pertunjukkan Jaranan Dhor di Malang. Bunyi gendhing Jawa itu kemudian disusul oleh masuknya penari jaranan satu persatu. Biasanya terdapat empat hingga delapan penari.
Para penari menggunakan properti berupa kuda-kudaan yang dibuat dari bambu. Sambil membawa pecut, penari yang mengenakan kostum lengan panjang dan rompi itu kemudian menari mengikuti irama gendhing.
Tempo suara gendhing yang makin cepat dan riuhnya suara penonton menandai usainya tarian. Penari lalu masuk ke prosesi kalap dan dimasukin roh halus. Penari akan bereaksi dengan asal suara siulan dari penonton.
Sesi kalap kemudian diikuti dengan tarian caplokan yang menggunakan properti menyerupai kepala hewan bertaring dan berwarna merah. Kurang dari 30 menit, sang pawang akan menyadarkan para pemain yang kalap. Suara gendhing yang berangsur lirih menandai berakhirnya pertunjukan.
Jaranan Dhor, Desa Kidal dan Raja Anusapati
Dalam penelusuran Rahmi (2017) yang dimuat dalam naskah berjudul Dinamika Kesenian Jaranan Dhor Anusopati Candi Rejo di Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, ditemukan keterkaitan sejarah Jaranan Dhor dan kerajaan Singhasari.
Desa Kidal yang telah ada sejak tahun 1200-an merupakan saksi lahir dan berkembangnya kesenian khas Malang tersebut. Jaranan atau kuda konon adalah kendaraan Raja Anusapati saat sedang singgah di Desa Kidal. Jaranan lalu dikembangkan menjadi kesenian rakyat dengan tujuan mendapat banyak massa.
Baca Juga: Mengenal Wedang Angsle, Minuman Hangat Khas Malang
Raja Anusapati adalah salah satu raja Kerajaan Singhasari yang menurut kitab Pararaton, memerintah Singhasari pada tahun 1247 – 1249 masehi. Desa Kidal juga dikenal dengan adanya Candi Kidal yang dibangun untuk menghormati pemakaman Raja Anusapati.
Tak ada yang tahu pasti kapan pertama kali Jaranan Dhor muncul. Namun menurut penuturan Warsono, tetua Desa Kidal, dalam naskah akademik Rahmi (2017), Jaranan Dhor telah ada sejak tahun 1938. Tepatnya saat desa Kidal dipimpin kepala desa bernama Ibrahim.
Jaranan Dhor dalam kitab Lontara juga menggambarkan serangan prajurit Kediri terhadap Singhasari yang terjadi di Desa Wagir. Tarian jaranan melambangkan atraksi perilaku kuda dalam peperangan.
Sukses menarik minat masyarakat kala itu, Jaranan Dhor akhirnya juga menjadi bagian dari suroan, upacara bersih desa dan sedekah bumi. Masyarakat yang sebagian besar petani masih mempercayai bahwa upacara selamatan akan menghindarkan mereka dari hama, penyakit dan gagal panen.
Jaranan Dhor di Malang yang Lestari dan Coba Bertahan
Jaranan masih lestari hingga kini. Selain kelompok jaranan di Desa Kidal, juga terdapat berbagai kelompok jaranan lainnya di Malang. Salah satunya ialah pelestarian seni jaranan oleh seniman dari Desa Kemantren, Kecamatan Jabung.
Ivada (2019) yang meneliti pelestarian Jaran Kepang Dhor di Desa Kemantren menuliskan jika pertunjukan jaranan dilakukan rutin tiap malam Jumat legi. Dianggap keramat, pertunjukan Jaran Kepang Dhor yang dijadikan media meningkatkan spiritualitas juga dilengkapi sesaji.
Bertahan di zaman milenial jadi tantangan tersendiri bagi kelestarian pertunjukan tradisonal kesenian khas Malang seperti Jaran Kepang Dhor. Penyebaran pertunjukan yang direkam dalam bentuk audio visual. Salah satunya pernah dilakukan oleh Kelompok Jaranan Putra Manggala yang berasal dari Dinoyo. Mereka pernah menyebarkan video pertunjukan dalam bentuk VCD.
Penulis: Imam A. Hanifah
Editor: Herlianto. A