Oleh: Irham Thoriq*
Tugumalang.id – Kebiasaan (habit). Kita bisa saja membuat kebiasaan baru. Konsisten satu dua hari. Lalu, pekan depan, kebiasaan itu hilang begitu saja. Kita kembali kepada kebiasaan lama kita, misalnya berjam-jam bermain smartphone, game, rebahan, dan kebiasan lain, yang sebenarnya, kebiasaan itu tidak kita harapkan.
Dalam dua bulan terakhir, istri saya membuat kebiasaan baru, berdasarkan salah satu mentornya di bidang kesehatan. Yakni, tidak boleh makan yang digoreng, bertepung, dan bergula. Pagi hari, istri saya makan roti gandum.
Baru siang hari, makan nasi. Tentu saja, dengan lauk yang tidak digoreng, bukan tepung, dan tidak ada minuman bergula. Malam harinya, minum susu sebagai pengganti makanan berat. Oleh sang mentor, kebiasaan itu harus terus dilakukan selama tiga bulan. Tidak boleh melanggar, meski cuma sehari.
Awal-awal, istri mengaku berat memulai kebiasaan baru itu. Tapi, lama kelamaan mulai terbiasa. Apalagi, kurang dari satu bulan setengah, berat badannya sudah turun sekitar empat kilogram. Perutnya mulai mengecil. Bentuk tubuhnya, jauh berbeda jika dibandingkan dengan foto sebelum mengikuti program ini.
Setelah proses sembilan puluh hari membuat kebiasaan baru itu, diharapkan istri saya terbiasa. Sehingga, ketika tidak melakukan ritual harian dalam hal makanan, maka ada perasaan tidak enak.
Itulah kebiasan. Faktor pendorongnya adalah alam bawah sadar. Bukanlah pikiran sadar. Ketika kuliah psikologi, salah satu teori yang wajib diketahui adalah teori karya Sigmund Freud tentang kesadaran. Dia menyebutkan bahwa 88 persen tindakan seseorang dipengaruhi oleh pikiran alam bawah sadar. Hanya 12 persen saja pikiran sadar yang mempengaruhi tindakan kita.
Kita ingin 15 menit setelah bangun tidur untuk olahraga. Itulah alam sadar kita. Tapi, sebagaimana kita tahu, kita bangun tidur dengan bermain gadget, nonton televisi, membalas chatting, dan eneka kebiasaan lain. Yang sekali lagi, sebenarnya aktivitas itu tidak kita harapkan.
Untuk memulai kebiasaan baru, ada rumus 21/90. Tampaknya, rumus ini yang dipakai mentor istri saya itu. Yakni, memulai kebiasaan baru selama 21 hari. Jika kita sudah berhasil 21 hari, maka lakukan terus hal tersebut sampai 90 hari. 21 yang kita lakukan akan menjadi kebiasaan. 90 hari yang kita lakukan, akan menjadi gaya hidup.
Kita perlu banyak 90 hari untuk mengubah kebiasaan kita. Mari kita list aneka rupa kebiasaan kita. List tiga hal positif yang ingin kita lakukan. Misalnya, membaca buku satu jam dalam sehari. Olahraga 30 menit dan mendoakan 30 orang setiap hari.
Lakukan semua di pagi hari. Jika pagi hari tiga aktivitas positif kita sudah lakukan, maka ini luar biasa karena kita memulai hari dengan sebuah komitmen. Atau, jika aktivitas itu dinilai terlalu berat, kita bisa memecahnya. Urusan olahraga 30 menit misalnya. Kita bisa melakukannya 15 menit sebelum mandi pagi, dan 15 menit sebelum mandi sore.
Kita tahu, semua yang dipecah-pecah, akan terlihat sederhana, bukan? Kita membayangkan membeli mobil itu sulit, karena perlu uang Rp150 juta. Tapi, itu akan terlihat ringan, ketika dipecah ke dalam cicilan, empat tahun. Setiap bulan Rp5 juta, misalnya.
Membangun kebiasaan perlu aktivitas yang berulang-ulang. Kita tahu, kita juga menjadi ahli juga karena aktivitas berulang-ulang. Kenapa tempat kursus bahasa Inggris di Pare, Kediri, dinilai lebih ampuh belajar bahasa Inggris daripada kuliah S1 jurusan bahasa Inggris.
Mungkin salah satunya karena di kursusan, ada kewajiban agar kita berbicara bahasa Inggris setiap harinya. Itu dilakukan berulang-ulang. Sedangkan di S1, kita hanya diajari teori, tanpa kewajiban yang ketat dan berulang-ulang.
Kita tumbuh karena banyak hal positif yang menjadi kebiasan dan gaya hidup. Celakanya, kita hanya perlu konsistensi untuk menjadikan semua itu kebiasaan. Brian Jeffrey Fogg menyebutkan bahwa kalimat motivasi sering kali gagal untuk membuat kebiasaan.
Sering kali, kata dia, kita membuat resolusi tahunan dengan motivasi tinggi. Kita membeli sepeda pancal atau treadmill juga dengan motivasi tinggi. Lalu, kita tahu apa yang selanjutnya terjadi: rencana-rencana tersebut gagal menjadi kebiasaan. Apa yang sudah kita beli, tidak lagi berguna. Apa yang dikatakan Brian, seperti menyindir saya.
Beberapa tahun silam, saya dan istri memberi sepeda pancal dengan semangat menggebu-gebu ingin sehat dan ingin kurus melalui sepeda pancal. Tapi, kini sepeda pancal itu mangkrak. Kini, kita lebih jalan kaki di pagi hari, sebuah tindakan yang awalnya tanpa motivasi, dan terus kita lakukan, karena sudah menjadi kebiasaan.
Untuk membangun kebiasaan, kata Brian, orang juga perlu anchor atau pengingat. Dia mencontohkan dirinya bahwa di pagi hari, dia selalu bilang ‘its gonna be a great day’. Kata itu dia lakukan ketika kakinya pertama kali menyentuh lantai. Jadi, kaki menyentuh lantai pertama kali di pagi hari menjadi anchor.
Begitu juga dengan orang yang ingin berat badannya turun. Orang bisa menjadikan kencing sebagai anchor. Jadi, setelah kencing, wajib push up dua kali. Dengan ada anchor itu, orang mudah ingat, dan mudah melakukan kebiasaan-kebiasaan positif yang kita inginkan.
Begitu juga dengan orang yang ingin merasa cuek saja ketika menemukan orang yang menyebalkan. Yakni, ketika bertemu dengan orang yang menyebalkan, berarti sudah saatnya menyeduh kopi. Teknik ini mengajarkan kita untuk santai saja meski dihadapkan pada situasi yang tidak mengenakan. Dengan ada anchor itu, orang mudah ingat, dan mudah melakukan kebiasaan-kebiasaan positif yang kita inginkan.
Begitu banyak teori tentang kebiasaan. Tapi, ingat bahwa teori tidak akan mengubah apapun. Kecuali kita benar-benar membuat kebiasaan itu selama 90 hari. Terus menerus. Selamat mencoba.
*Penulis adalah CEO Tugu Media Group.
Editor: Herlianto. A