Perjalanan wartawan senior Abdi Purmono yang mudik dari Malang ke Medan menggunakan sepeda motor telah sampai di wilayah Palembang, Sumatera Selatan. Saat melintas Desa Mulyaguna, Kecamatan Telukgelam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan, Abdi Purmono bertemu pemudik yang balik dari Palembang ke Serpong dengan mengayuh sepeda Surly tipe long houl tracker (LHT) dari arah berlawanan. Abdi tak menyiakan kesempatan untuk sharing pengalaman perjalanannya.
SAAT MASIH menyusuri jalan pantai utara atau Pantura Jawa Tengah, saya menjumpai dua pria bersepeda. Satu orang di jalan arteri Pemalang arah ke Jakarta dan seorang lagi ke arah Semarang.
Saya menduga mereka pemudik walau tidak detail saya perhatikan kecuali sepintas dari barang bawaan mereka. Apabila dugaan saya jitu, maka dua pria ditambah saya jadilah tiga orang pria yang berlebaran di jalanan pada Senin, 2 Mei 2022, bertepatan dengan hari pertama Idul Fitri 1 Syawal 1443 Hijriah.
Saya tak sempat berhenti karena saya sedang konsentrasi memacu sepeda motor bebek Honda Supra X 125D buatan 2007, agar cepat sampai di Jakarta dan melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Merak di Cilegon, Provinsi Banten.

Saya memang dalam perjalanan mudik ke Kota Medan sejak 30 April lalu, dengan menempuh jarak 2.800 kilometer dari Kota Malang yang membentang di 42 kota/kabupaten dalam 10 provinsi: enam provinsi di Pulau Jawa dan empat provinsi di Pulau Sumatera.
Saya kira saya tak bakal melihat lagi penggowes mudik di jalan. Ternyata saya keliru. Tatkala saya melewati tikungan di Kilometer 95 Desa Mulyaguna, Kecamatan Telukgelam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan, saya berpapasan dengan seorang pria yang mengayuh sepeda Surly tipe long houl tracker (LHT) warna hitam dari arah berlawanan, Kamis tengah hari, 5 Mei 2022, atau di hari keempat lebaran.
Saya sempat melewatinya untuk kemudian memutar balik dan menyapa dia. Jadilah kami berkenalan di tepi jalan lintas timur Sumatera (Jalinsum) yang lengang. Ia bernama Veri Sanovri, 47 tahun, dan berprofesi sebagai fotografer Kantor Berita Republik Rakyat Cina Xinhua di Indonesia. Orangnya ramah dan gampang tertawa.

Veri dalam perjalanan pulang menuju rumahnya di Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, setelah menghabiskan tiga hari berlebaran di rumah orangtuanya di Sekip Ujung, Palembang, Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan. Saat kami bertemu, Veri sudah menempuh jarak sekitar 90 kilometer. “Saya memang habis mudik di Palembang dan sekarang harus pulang ke Serpong untuk kerja lagi,” kata Veri.
Veri mengaku mudik tahun ini merupakan mudik kedua menggunakan sepeda. Mudik bersepeda pertama dilakukannya pada masa Juni 2019 atau dua tahun sebelum pandemi Covid-19. Veri tak mengabari keluarganya di Palembang bermudik pakai sepeda. Keluarga baru tahu Veri menggowes ke Palembang saat Veri sudah berada di kapal feri yang menyeberangi para pemudik dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan.
Namun, Veri menukas, waktu itu ia menggowes dari Serpong sampai Palembang, lalu sepedanya dipaketkan ke Serpong. Ia sendiri balik ke Serpong pakai bus.
Di tahun ini, Veri menggowes dari Serpong pada Kamis subuh, 28 April, atau 5 hari sebelum lebaran (H-5). Istrinya tak melepas Veri. Kebetulan pula Mertua Veri berlebaran di Serpong sehingga ada yang menemani sang istri. Penyuka kegiatan alam bebas ini menyusuri jalan sepanjang 522 kilometer selama empat hari menuju Palembang. Sebagai contoh, Serpong-Merak sepanjang 106 kilometer ditempuh selama 6 jam.

Veri mengaku biasa mudik tiap tahun pakai mobil. Namun, gara-gara pandemi Covid-19, ia batalkan mudik bermobil. Baginya, mudik bersepeda di masa pandemi sungguh monumental, bersejarah banget. Ia bukan penggowes nekat lantaran ia sangat perhitungkan betul kondisi tubuh, keamanan sepeda, barang bawaan, dan rute yang dilewati.
“Kalau orang nekat kan biasanya enggak pakai perhitungan, langsung pergi begitu saja. Saya sih pakai persiapan walau persiapannya biasa-biasa saja. Saya nikmati betul perjalanan ini dan enggak terasa saya sudah di Jembatan Ampera (Palembang) pas malam takbiran. Ya, sebenarnya saya ini agak iseng saja,” ujar Veri, tertawa.
Veri memang suka bercanda. Kendati bilang iseng, Veri membawa peralatan lengkap, seperti tenda untuk berkemah, matras, pakaian, kompor portabel dan nesting (peralatan memasak pendaki), dan kantung tidur alias sleeping bag.
Persiapan seperti itu juga dilakukan saat Veri dan kawan-kawan menggowes dari Serpong ke Yogyakarta pada April 2019.
Sebagai fotografer, Veri tidak sembarangan mengeluarkan kamera di jalanan untuk memotret. Veri hafal betul titik-titik rawan keamanan dari Palembang ke Bandar Lampung, seperti di Kayuagung, Pematang Panggang dalam wilayah OKI, serta beberapa titik di wilayah Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung.
Maka, demi keamanan, Veri tidak berjalan di malam hari. Ia rehat di posko mudik, kantor polisi, dan rumah warga yang dianggapnya aman. Veri sempat menginap di sebuah masjid di Bandar Jaya, Kabupaten Lampung Tengah.
Wahai para pembaca, jangan bayangkan perjalanan di Pulau Sumatera sama dengan di Pulau Jawa. Perjalanan jauh di Pulau Jawa relatif lebih aman, dengan infrastruktur jalan yang bagus, serta jumlah penduduk yang padat sehingga lebih mudah untuk dimintai tolong jika dalam kondisi genting.
Sebaliknya, di Sumatera, jalanan bisa sangat panjang, sepi, dan selalu mulus; rumah penduduk berjauhan; kiri-kanan hutan dengan sesekali melintasi perkebunan luas kelapa sawit, karet, atau singkong; serta pom bensin berjumlah sangat sedikit dan tak gampang ditemukan sehingga saya, misalnya, bawa jiriken berisi tiga liter Pertalite yang diikat di belakang bodi motor.
Dan, satu lagi, mayoritas Jalinsum gelap akibat ketiadaan lampu penerangan jalan kecuali di kota-kota. Kondisi sepi dan gelap bisa memudahkan penjahat beraksi. Bandit bisa muncul tiba-tiba keluar dari semak atau jalan kecil untuk mengejar korban, atau menggunakan modus melintangkan batang kayu atau pisang di tengah jalan.
“Kita sama-sama orang Sumatera, tahu sendirilah karakter sebagian pria Sumatera di Jalinsum ini, maka saya tak mau mengundang datangnya hal-hal buruk bagi diri saya. Tiap kali beristirahat, saya pasti hubungi istri agar dia tidak cemas,” ujar Veri, alumni Universitas Sriwijaya kelahiran 1 November 1975.
Memang, kata Veri, banyak polisi dan warga yang memberikan informasi penting untuk keamanan dan kelancaran perjalanan. Bukan cuma informasi, ada juga warga yang bersimpati dengan memberikan sejumlah uang. Kebaikan warga ini terpaksa ditolak karena Veri tak ingin merepotkan si pemberi dan ia belum kehabisan fulus.
Kebiasaan gowes membuat kondisi fisiknya prima. Veri tak terlalu memusingkan asupan nutrisi. Kalau capek, ya beristirahat dan minum teh manis saja sudah cukup.
“Seperti saya bilang tadi, saya tak pakai persiapan khusus. Ini sudah kebiasaan saja. Istirahat kalau capek. Enggak usah dipaksakan harus jalan. Yang penting tahu dan sadari kondisi fisik kita. Perjalanan harus dibawa santai dan dinikmati, dibawa enjoy dan gembira saja,” ujar Veri, seraya menambahkan sangat termotivasi karena sangat merindukan enaknya pempek dan martabak HAR langganannya.
Saat catatan ini ditulis, Veri mengabari dirinya menginap di Simpang Pematang, Kabupaten Mesuji, dan dalam perjalanan menuju Bandar Lampung. Saya sendiri juga sempat menginap Simpang Pematang pada Rabu malam Kamis, 5 Mei.
Reporter: Abdi Purmono
editor:jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id