Tugumalang.id – Sorak Pemilu 2024 sudah terasa. Namun pesta demokrasi itu masih menyimpan keraguan tersendiri. Pasalnya, hampir 60 persen pemilih pada Pemilu 2024 akan didominasi generasi muda.
Seperti diketahui, identifikasi generasi muda yang disebut ialah warga dengan rentang usia 17 hingga 39 tahun. Saat ini mereka kerap dilabeli dengan nama generasi milenial dan generasi z.
Lantas apa masalahnya? Ya, masalah terbesar dalam Pemilu kali ini adalah potensi mereka untuk golput alias tidak berpartisipasi untuk memilih yang diprediksi cukup besar.
Tentu, dinamika dalam Pemilu 2024 ini diprediksi akan berlangsung menarik. Tugumalang.id mencoba berkorespondensi dengan sejumlah generasi muda di wilayah Malang Raya terkait pandangan mereka terhadap Pemilu 2024 mendatang.
Seperti dikatakan salah seorang generasi muda di Kota Malang, Jawa Timur, Rizky (24) misalnya. Dia berkisah pada Pemilu sebelumnya, Rizky mengaku tidak pernah berpikir untuk golput.
Waktu itu, semasa dia kuliah. Dia merasa optimistis dengan kemajuan daerah dan negara dengan ikut mencoblos salah satu nama yang dipercaya. Namun semakin ke sini, dari tahun ke tahun dia merasa tidak ada yang berubah. Terutama dari sisi penegakan hukum dan keadilan.
“Contoh paling dekat saja, soal Tragedi Kanjuruhan. Bisa dilihat gimana penegakan hukumnya? Respons pejabat seperti apa? Respons wakil kita di dewan kayak gimana? Dari situ saja sudah bisa terlihat bagaimana perasaan saya,” kata Rizky pada reporter tugumalang.id, Selasa (14/2/2023).
Rizky mengaku yakin golput adalah pilihannya pada Pemilu 2024. Menurut dia, sudah tidak ada lagi pejabat yang bisa dia percaya agar daerah atau negaranya bisa berkembang lebih baik.
“Daripada repot-repot, saya percaya ke Tuhan saja karena saya yakin mereka hanya butuh suara saya saja, tidak benar-benar ingin menjadi pemimpin kami,” tuturnya.
Pemilu Tak Menarik Lagi
Hal senada dikatakan Johan (24), warga Kota Batu, Jawa Timur yang mengaku ajang Pemilu sudah tak lagi menarik. Sejak apa yang dijanjikan para politisi tidak pernah sama dengan janjinya ketika ‘nyalon’.
“Nanti belakangan kan ketauan sendiri, lagi-lagi nanti yang ada kepentingan lah, itu lah. Sudah bosan sih saya jadinya ngeliat,” kata Johan.
Lagipula, sambung dia, meski nama-nama calon yang diajukan juga berusia muda, namun tetap saja di belakang sosok itu masih ada pejabat lain yang memanfaatkannya. Sosok-sosok pejabat yang dikenal saat ini juga masih identik dengan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN)
“Jadi, esensi Pemilu itu apa sih sebenarnya di mata orang-orang kalangan atas? Omongannya kan pasti enggak sesuai dengan praktiknya,” ujarnya.
Sistem Pemerintahan Tak Ada Perbaikan
Pilihan yang sama juga diakui oleh Prasetya (24), pemuda asal Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Menurutnya, belum ada perbaikan pada sistem pemerintahan yang mana mengelola negara beserta rakyatnya menuju pada kepentingan massa luas dan sejahtera.
Hal ini, kata dia dibuktikan dari beberapa periode Pemilu ke belakang yang mana sejumlah persoalan krusial masih terjadi. Seperti penggusuran lahan, perampasan, kekerasan dan diskriminasi serta pembungkaman ruang demokrasi.
Ia menambahkan tidak ada kebijakan yang benar-benar berpihak pada publik. Produk hukum cenderung hanya melayani kepentingan modal atau penguasa lahir.
Belum lagi kebijakan yang ada justru cenderung lebih memperburuk situasi. Seperti omnibus law, uu pertanahan dan sebagainya. Demokrasi kata dia bukan hanya soal pemilu dalam jangka tahunan tertentu. Tetapi pada jalannya pemerintahan dan pemenuhan hak masyarakat.
“Bagi saya golput adalah pilihan politik dan hak asasi. Saat ini, tidak ada yang dapat menggambarkan pilihan yang tepat. Saya tidak ingin memilih yang lebih baik dari beberapa yang buruk,” ungkapnya.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A