Tugumalang.id – Flexing kini menjadi fenomena di dunia maya. Kata tersebut berarti memamerkan kekayaan. Namun bukan berarti orang yang melakukan flexing pasti orang kaya.
Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, Prof Rhenald Kasali menyampaikan dalam unggahan di kanal YouTube-nya, flexing justru dilakukan oleh orang yang ingin diakui kaya padahal mereka tidak benar-benar kaya.
Ia menyebutkan tentang poverty screams, wealth whisper atau kemiskinan berteriak, kekayaan berbisik. “Orang yang benar-benar kaya justru malu membicarakan kekayaannya,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan sisi gelap dari fenomena flexing di media sosial tersebut.
Flexing sebagai gaya hidup bohongan
Apa yang ada di media sosial belum tentu kenyataan. Banyak orang berpose dengan menenteng tas dan ponsel mahal lalu menyebut diri mereka sendiri sebagai sultan atau crazy rich. Tak jarang pula yang memamerkan saldo rekening atau tumpukan uang bernilai ratusan juta.
Padahal, apa yang ditunjukkan belum tentu milik mereka. Saat ini ada banyak rental yang menyewakan barang-barang mewah. Siapapun bisa memiliki barang senilai puluhan hingga ratusan juta selama 24 jam dengan harga yang relatif terjangkau.
Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di berbagai belahan dunia.
Di Tiongkok misalnya, seorang blogger bernama Lizhonger menguak kelompok sosialita palsu di Shanghai. Hal ini diungkap di kanal YouTube China Observer dengan judul “Fake Rich of China: The Secret Lives and Lies of Shanghai Socialites”.
Lizhonger melakukan observasi undercover di sebuah kelompok sosialita selama satu setengah bulan.
Untuk bergabung, ia diminta membayar biaya pendaftaran sebesar $75 dan bukti kepemilikan aset senilai $14.891. Tentunya ini nilai yang sangat murah untuk sekelas sosialita.
Kelompok tersebut rupanya bukan berisi sosialita yang banyak membahas tentang produk-produk mewah, melainkan sekelompok perempuan yang berdiskusi mengenai cara-cara agar terlihat kaya.
Para anggotanya patungan untuk menyewa barang mewah dan mereka berfoto dengan barang tersebut secara bergantian. Di media sosial, ini memberi kesan seakan-akan mereka memiliki banyak barang mewah, padahal barang-barang tersebut hanyalah sewaan.
Mereka bahkan menyewa kamar di Hotel Bvlgari yang mewah dan biayanya dibayar secara patungan oleh 40 orang. Setiap orang mendapat giliran untuk berfoto di kamar tersebut. Saat diunggah ke media sosial, mereka seolah-olah menyewa kamar itu seorang diri.
Sementara itu di Korea Selatan, seorang YouTuber bernama Song Jia mendapat kritikan tajam dari masyarakat lantaran mengenakan pakaian-pakaian dengan logo palsu.
Song Jia dikenal sebagai salah satu anggota Single’s Inferno, acara Netflix yang populer. Dalam acara tersebut, ia kerap mengenakan pakaian dengan logo rumah desainer mewah. Ia juga menunjukkan koleksi pakaian dan tasnya di Instagram dan YouTube. Sejak itu ia dikenal sebagai seorang perempuan muda yang kaya dan sukses.
Tak lama setelah namanya naik daun, terungkap bahwa sebagian tas dan pakaian yang ia kenakan merupakan produk palsu.
Kejadian ini ramai diperbincangkan hingga media Dispatch merilis daftar mana produk palsu dan mana produk asli yang dimiliki Song Jia.
Selain itu, banyak influencer dari berbagai negara yang tertangkap basah melakukan kebohongan agar dianggap kaya.
Flexing sebagai alat marketing
Rhenald juga menunjukkan bahwa flexing bisa menjadi alat marketing. Apa yang mereka lakukan merupakan market signalling.
Dilansir dari jurnal penelitian karya Paul Herbig dan John Milewicz yang berjudul “Market Signalling: A Review”, market signalling merupakan aktivitas mengirimkan sinyal marketing. Market signalling bisa berupa pemberian diskon, pembukaan kantor atau pabrik baru, serta melakukan kampanye marketing yang baru. Saat ini, flexing juga bisa menjadi salah satu bentuk market signalling.
“Flexing bisa menarik orang karena mereka ingin bisa menjadi seperti orang-orang yang melakukan flexing ini,” jelas Rhenald.
Tentunya ada orang-orang yang murni berbisnis dengan menggunakan flexing sebagai alat marketing mereka. Namun tak sedikit yang menggunakan flexing sebagai modus penipuan.
Flexing sebagai modus penipuan
Customer yang tidak jeli dan dibutakan oleh keinginan untuk mendapatkan kekayaan dalam waktu singkat bisa menjadi korban penipuan dari orang-orang yang melakukan flexing.
Rhenald memberi contoh kasus First Travel yang terjadi pada tahun 2017 silam. Saat itu pemilik First Travel terbukti melakukan penipuan terhadap jemaah haji dan umroh. Mereka menjanjikan perjalanan ibadah ke tanah suci dengan harga yang sangat murah. Banyak customer yang termakan janji tersebut tanpa mencari banyak informasi terlebih dahulu.
Kepercayaan tersebut rupanya didapat melalui flexing. Kesuksesan yang ditampilkan oleh pendiri First Travel, Andika Surachman dan Aniesa Hasibuan membuat customer percaya bahwa agen perjalanan ini bukan abal-abal. Dari situ, customer tidak menaruh curiga dan berani menitipkan uang mereka pada First Travel.
Rhenald kemudian melanjutkan bahwa ada ciri-ciri flexing yang dilakukan oleh orang yang tidak bisa dipercaya, yaitu:
1. Omongannya selalu tentang harta, uang, mudah, dan gampang.
2. Mereka akan menggunakan cara-cara yang membuat anda percaya. Terkadang menggunakan agama.
3. Tidak mempunyai empati. Mereka memamerkan kekayaan di saat orang lain kehilangan pekerjaan karena pandemi COVID-19.
4. Mereka bermuka dua. Di depan mulutnya manis. Namun jika sudah ada yang tertipu, mereka akan berbalik menyalahkan korban.
5. Mereka memiliki penampilan yang sangat menawan.
6. Mereka menunjukkan bawaan yang narsistik.
Setelah menjelaskan fenomena flexing yang saat digandrungi oleh pengguna media sosial, Rhenald meminta penonton agar tidak mudah meniru apa yang sedang trending. “Apa yang dilakukan oleh orang-orang yang flexing ini, don’t do it!” tegasnya.
Ia kemudian mengingatkan penonton agar terus mencari informasi dan tidak mudah terbuai untuk mendapatkan uang dengan cepat dan mudah karena tidak ada yang mudah di dunia ini.
Reporter: Aisyah Nawangsari
Editor: Lizya Kristanti