Oleh: Abdur Rohman*
Tugumalang.id – Ramadan kali ini begitu spesial bagi saya, bukan karena takjil yang setiap hari terhidang di meja makan, atau makanan kesukaan yang siap untuk disantap. Namun, karena kurang lebih dua puluh hari di tempat kami belajar yakni, Pondok Pesantren Luhur Baitul Hikmah, mengkaji buku Falsafatunā karya Muḥammad Bāqir Ṣadr.
Kami memulai kajian setelah salat subuh sekitar pukul 05.00 pagi dan disudahi kira-kira pukul 09.30 WIB. Tujuh orang termasuk saya dan satu orang guru yang memandu kami untuk menyelam, mengeksplor dan mencari makna dari buku ini.
Tak jarang, rasa kantuk dan sesekali terjaga meramaikan forum kajian. Namun terlepas dari itu semua, kami merasa senang karena mengadakan acara penutupan bincang-bincang terkait kajian ini setelah 20 hari membaca ketat buku tersebut.
Falsafatunā adalah salah satu karya Muḥammad Bāqir Ṣadr, seorang ulama Irak yang berteologi Syiah. Buku ini diterbitkan pada tahun 1959. Ulasan dalam buku adalah kritik terhadap filsafat terutama filsafat Barat dan beberapa ideologinya, di antaranya kapitalisme dan sosialisme. Uniknya, kritik itu dari sudut pandang Islam.
Isi buku ini sarat akan pemikiran filosofis yang dikemas dalam pergolakan dialog antara filsafat Barat dan Islam. Bahkan, dalam mukadimah sang penulis mengatakan bahwa “buku ini bukanlah sebuah karya sastra, novel ataupun sebatas kesenangan intelektual belaka, melainkan membahas tentang problematika pemikiran manusia.”
Tak jarang, karena jenis buku ini mengulas berbagai pemikiran dan kritik pada teori serta doktrin dari pemikiran sebelumnya maka bagi siapa pun yang mengkaji buku ini, agaknya tidak mudah (untuk tidak mengatakan sulit) mencerna dan memahaminya.
Saya sendiri ketika ikut membaca dan menelaah buku ini, sekurang kurangnya, mendapatkan beberapa ibrah untuk bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini saya ulas beberapa ibrah tersebut.
1. Tutorial Berpikir Benar
Tidak sedikit dari kita jatuh ke jurang miskonsepsi tentang satu-dua hal. Banyak buku yang mengulas tentang kesalahan berpikir (fallacy), khususnya dalam buku-buku logika. Saat kita menilai tentang dua-tiga hal, tanpa lebih dahulu mencari konsepnya secara utuh.
Terburu-buru menyimpulkan tanpa membacanya secara lengkap. Semuanya adalah karena jamak di antara kita grasa-grusu mengambil tindakan. Banyak orang yang bertindak tanpa berpikir (dengan benar) dan tidak sedikit pula gandrung dalam pemikiran, namun tiada dalam tindakan.
2. Kecakapan Mencari Celah Kritik
Poin ini, mungkin lebih disukai bagi para mahasiswa, terutama mahasiswa organisatoris yang menyukai forum diskusi. Dalam buku ini pada bab Konsepsi dan Sumber Utamanya, salah satu teori yang masyhur yakni Teori Ingatan Platonik dikritik dengan cara menyodok inti teorinya, yakni pada (1) keazalian jiwa dan (2) arketipe (dunia idea) ala Plato.
Kritik Baqir Shadr sangat menohok di sini. Pelajarannya, ketika kita berdebat, lalu lawan debat menyampaikan argumentasinya, maka yang perlu dilakukan adalah mengkritisi inti dari argumen yang disampaikan, dengan mencari celah kelemahan yang diucapkan lawan.
3. Critical Thinking (Berpikir Kritis)
Poin ini, sudah sangat jarang dimiliki oleh setiap orang, bahkan berpikir secara radikal hingga ke akar-akarnya sangat langka bagi masyarakat kita. Disinformasi berita, membagikan berita palsu, menebar hoax, hingga fanatisme. Itu semua adalah dampak kurangnya berpikir kritis.
Hal demikian, amat sering terjadi di gang-gang nusantara. Lumrah bagi para pembaca buku-buku filsafat untuk kritis dalam membaca realitas, lebih-lebih membaca dan menafsirkan kehidupan. Nah, Falsafatunā tidak hanya membawa kita membaca poin-poin pemikiran filsafat terdahulu, tetapi penuh semangat berpikir kritis.
4. Visionery Thinking (Berpikir Visioner)
Dalam konsep “Briliant Thinker” atau Pemikir Cerdas, salah satu dari sekian indikator seseorang mempunyai pemikiran yang brilian adalah membaca setiap probabilitas (kemungkinan) yang akan terjadi.
Sebelum kita mengambil suatu keputusan yang amat berat, misalnya, kita sudah memprediksi kemungkinan yang terjadi tatkala kita mengambil opsi tersebut. Sehingga kita tidak perlu terlalu kecewa dan kian bersedih atas konsekuensi yang telah dipilih itu.
Empat sisi praktis di atas mungkin terkesan subjektif, namun pembaca bisa membuktikannya sendiri dengan membaca buku Falsafatunā tentunya.
*Santri Ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen Malang
Editor: Herlianto. A