Oleh: Busairi Yanto*
Tugumalang.id – Carok merupakan duel satu lawan satu menggunakan celurit dan saling berhadap-hadapan bukan “nyelep” atau dari belakang saat musuh sedang lengah.
Tidak diketahui secara pasti sejak kapan tradis carok mulai dilakukan oleh orang Madura, namun yang jelas budaya ini merupakan alternatif terakhir yang diambil oleh orang Madura untuk menyelesaikan suatu sengketa atau permasalahan yang tidak memiliki titik temu atau tidak bisa diselesaikan secara baik-baik.
Mengganggu istri orang lain menjadi salah satu sebab terjadinya carok. Bagi orang Madura, istri adalah kehormatan maka mengganggu istri sama dengan merusak kehormatan suami.
Baca Juga: Polisi Periksa 12 Saksi Terkait Kasus Pembunuhan dan Penganiayaan di Pakis
Namun motif yang paling dominan terjadinya carok adalah ketika seseorang merasa martabatnya atau harga dirinya dipermalukan atau direndahkan, lalu carok dianggap dapat memulihkan martabat dan harga diri yang telah tercerabut itu.
Latief wiyata dalam buku Carok: Konflik Kekerasan Dan Harga Diri Orang Madura, mengungkapkan beberapa motif terjadinya carok yaitu harga diri, perempuan (istri), kesalah pahaman, utang piutang dan soal tanah warisan.
Dalam beberapa kasus juga ada sentimen agama, namun menurutnya motif yang paling dominan adalah harga diri atau kehormatan.
Baca Juga: Dibacok di 2 TKP, Korban Pembunuhan di Gondanglegi Alami 32 Luka di Sekujur Tubuh
Ango’ apote tolang etembheng apote mata (lebih baik mati dari pada menanggung malu). Ini merupakan falsafah yang dipegang oleh sebagian orang Madura, sebuah falsafah yang membuat mereka menganggap carok sebagai satu-satunya cara mengembalikan harga diri yang telah tercerabut dan diinjak-injak.
Dengan ini pula mereka membenarkan carok secara kultural sebagai sebuah tindakan defensif seseorang dalam mempertahankan harga dirinya.
Ketika ada seseorang merasa terhina entah karena urusan harta atau asmara seperti perselingkuhan atau karena ejekan yang merendahkan harga diri, maka ini dianggap tidak bisa dikompromi.
Dalam keadaan seperti ini seseorang yang melakukan carok akan dimengerti oleh masyarakat karena dianggap hendak menegakkan harga diri dan menghalau rasa malo atau malu.
Jika ada orang yang tidak mau ataupun tidak berani melakukan carok maka akan dikucilkan secara sosial. Seolah-olah dipertanyakan kelelakiannya.
Padahal carok tidak akan pernah bisa menyelesaikan sebuah permasalahan, malah hanya memperkeruh dan memperlebar masalah.
Belakangan carok kembali ramai diperbincangkan ketika ada empat orang terbunuh di tangan kakak beradik yakni Hasan Busri dan Mohammad Wardi di Bangkalan, Madura, pada 12 Januari 2024 lalu.
Kejadian semacam ini hanya akan memperburuk citra Madura di mata orang luar, anggapan bahwa orang Madura berwatak keras dan suka membuat onar.
Kemudian, anggapan bahwa pulau Madura adalah wilayah yang berbahaya penuh dengan kekerasan dan tindak kriminal akan kembali mencuat maskipun anggapan semacam ini tidak sepenuhnya benar dan tidak sesuai fakta di lapangan.
Celakanya, oleh sebagian orang Madura tindakan kekerasan dan tidak manusiawi ini justru dibanggakan dan dianggap sebagai sebuah budaya.
Saatnya Meninggalkan Carok
Dosen fakultas Hukum, universitas Diponegoro, Semarang, Emi Handayani dan Fatih Misbah dalam karya ilmiah berjudul Carok, di Persimpangan Budaya dan Hukum Positif (2019) menganalogikan carok seperti halnya sebuah pengadilan di zaman modern.
Jika di pengadilan fakta-faktalah yang menentukan kemenangan, tapi dalam carok kekuatan fisik dan keberuntunganlah yang menentukan kemengan.
Bisa dikatakan carok adalah pengadilan dengan kekerasan. Masalah atau sengketa yang diselesaikan dengan cara kekerasan seperti ini hanya akan menutup kemungkinan penyelesaian dengan jalur damai dan bentuk penyelesaian seperti ini hanya akan mengakhiri masalah dengan memunculkan masalah baru.
Dulu orang-orang Madura melakukan carok karena ketidakmampuan mereka dalam menghadirkan solusi lain selain kekerasan dalam menyelesaikan sebuah sengketa.
Sehingga, mereka memilih carok sebagai alternatif terakhir dalam penyelesaian sebuah sengketa. Budaya ini terjadi ketika nilai-nilai masyarakat Madura belum bekembang seperti sekarang.
Seorang penyair terkemuka dari Madura, D Zawawi Imron, mengtakan bahwa “dulu carok memang ada. Tapi ini berlangsung saat nilai-nilai masyarakat Madura belum berkembang seperti saat ini. Sementara sekarang, orang Madura harus lebih maju ke depan, bukan malah mengulangi masa lalu,” kata dia.
Salah seorang keturunan Cangkraningrat yakni R. Abdul Hamid menerangkan, budaya carok merupakan pengejawantahan yang dilakukan masyarakat Madura yang dulunya masih banyak memiliki pendidikan rendah.
Ini menunjukkan betapa tidak relevannya lagi carok bagi masyarakat Madura hari ini. Madura sekarang jelas sangat berbeda dengan Madura pada masa lalu, hari ini Madura bukan lagi kawasan gersang dan terisolasi.
Adanya akses pendidikan yang lebih baik dan generasi muda yang semakin terpelajar sudah seharusnya menyadarkan masyarakat Madura bahwa carok tidak lagi relevan dan sudah waktunya untuk menguburnya dalam sejarah dan tak harus mengulanginya lagi.
Dilihat dari sisi manapun carok jelas sangat bertentangan dengan agama maupun hukum negara. Langkah ini bukanlah sebuah budaya yang harus delestarikan.
Bagi D Zawawi Imron sebenarnya tidak ada yang diuntungkan dalam carok, menang masuk penjara, kalau kalah masuk kubur. Karena itu, budaya ini haruslah disudahi.
Ketimbang terjebak dalam pemaknaan sempit tentang harga diri, penyair penulis Celurit Emas itu mendorong pentingnya budi pekerti luhur seperti sikap saling memaafkan dan menebar kasih sayang. Falsafah seperti inilah yang seharusnya dipegang teguh oleh orang Madura.
![Busairi Yanto adalah mahasiswa Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Foto/dok pribadi penulis](https://tugumalang.id/wp-content/uploads/2024/05/c5c39e3f-9500-4342-8c5c-7fff182fb34b.jpg)
Editor: Herlianto. A
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News