Tugumalang.id – Kasus dugaan kejahatan berupa kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan eksploitasi ekonomi di SMA SPI Kota Batu terus bergulir. Setidaknya, sudah ada 12 orang alumni sekolah telah melapor ke Polda Jatim atas dugaan kejahatan yang diduga dilakukan oleh founder SMA SPI.
Tentu hal itu mengejutkan semua pihak. Pasalnya, sekolah gratis bagi anak kurang mampu itu dikenal sebagai sekolah berkualitas. Bahkan, salah satu kisah dalam sekolah itu pernah diangkat menjadi film layar lebar.
Kepopulerannya juga telah menarik perhatian pejabat tinggi negeri untuk hadir langsung mengunjungi sekolah itu. Tak tanggung tanggung, sekolah tersebut bahkan juga pernah diundang oleh UNESCO menjadi pembicara tentang pendidikan kewirausahaan.
Namun pengakuan mengejutkan muncul dari salah seorang alumni SMA SPI Kota Batu yang tak mau disebutkan identitasnya. Dia mengaku pernah mengenyam pendidikan di sekolah gratis itu.
Dia masuk sekolah itu lantaran ibunya tak mampu membiayainya bersekolah SMA. Sementara ayahnya, telah meninggalkan keluarganya sejak SMP. Usai lulus, dia mengaku langsung bekerja di sekolah itu juga. Namun karena merasa tertindas, dia resign usai bekerja selama 5 tahun disana.
Pengakuan alumni ini muncul usai beredarnya pemberitaan terkait kejahatan yang terjadi di sekolah tersebut. Dia bahkan membenarkan adanya kejahatan berupa kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan eksploitasi ekonomi yang didugakan selama ini.
Hal itulah yang juga membuatnya keluar dari sekolah itu dan memilih kembali ke daerah asalnya. Dia juga memilih tak menceritakan kepada ibunya atas apa yang dia alami di sekolah tersebut.
“Bekerja di sana seperti bekerja rodi, saya merasa sistemnya tidak beres sehingga lebih baik saya mengundurkan diri karena jujur itu tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan,” ujar alumni SMA SPI asal luar Jawa itu.
Dia mengaku, sistem kerja dan sistem penggajian disana tidak sesuai dengan aturan standar pada umumnya. Dikatakan, jam kerja disana lebih dari 8 jam, sementara gajinya dibawah UMR Kota Batu.
“Karena pada dasarnya orang bekerja itu 8 jam tapi di sana tidak seperti itu. Disana melebihi itu, bahkan sangat lebih,” ucapnya.
Untuk masalah gaji, dia tidak begitu mempermasalahkan lantaran sudah mendapat pendidikan gratis di sana. Namun dia sangat menyayangkan atas jam kerja yang ada.
“Sistemnya aja yang bagi saya itu tidak benar. Karena kita ini manusia, mesin saja butuh waktu untuk istirahat apalagi kita manusia,” imbuhnya.
Bahkan, dia juga menceritakan pengalamannya saat menjadi siswa di sana. Dia mengaku jarang mendapat materi pembelajaran akademis dan lebih banyak mendapatkan tugas layaknya bekerja.
Dikatakan, karena di sekolah tersebut juga terdapat hotel umum dan tempat wisata, sehingga para siswa juga dilibatkan dalam pelayanan pengunjung.
Dia juga menceritakan pengalamannya saat mendekati ujian akhir sekolah. Disebutkan, dia hanya mengikuti 1 tryout dari 3 tryout yang ada. Hal itu dikarenakan founder sekolah tersebut mengajaknya untuk rapat di Surabaya hingga berhari-hari.
“Jadi saya tidak ikut tryout 2 kali, tau-tau balik ke sekolah sudah ujian. Di sana saya merasakan sendiri saat jadi siswa, selain jadi siswa juga bekerja,” ungkapnya.
Banyaknya tugas pekerjaan yang dibebankan, membuatnya beberapa kali melewatkan ibadahnya. Tingginya intensitas kerja juga membuatnya harus mengedepankan tugasnya dari pada ibadahnya.
“Kalau anak-anak yang ada disana menurut saya mengalami tekanan psikis. Karena lingkungan yang dibentuk di sana adalah kita seperti punya desa dan kota sendiri. Sehingga kita mau keluarpun intinya kita diminta diam, seminimal mungkin agar tidak bersosialisasi dengan orang luar,” bebernya.
Meski demikian, dia tidak berani memberikan pengaduan kepada pihak manapun dan memilih berdiam diri karena ada rasa takut. Namun, dia memastikan bahwa dia mengetahui apa yang terjadi disekolah tersebut.
“Sementara ini saya memilih untuk diam dulu tapi sebenarnya saya tau yang terjadi seperti apa. Saya memilih untuk benar-benar diam. Tapi untuk apapun kejadian yang ada disana saya tau. Saya memilih untuk mendoakan yang terbaik, saya serahkan persoalan ini kepada pihak berwajib saja,” ujarnya.
Reporter: M Sholeh
Editor: Lizya Kristanti