Tugumalang.id – Selain terkenal sebagai kota pelajar dan wisata, Malang juga memiliki beberapa tradisi unik yang berbeda dengan bebera daerah lainnya di Jawa Timur. Tradisi ini unik ini masih dilestarikan sampai saat ini.
Kalau Anda berlibur atau sekedar berkunjung ke Malang pada waktu-watu tertentu bisa jadi menjumpai pagelaran budaya-budaya yang adi Kota Dingin ini. Penasaran tradisi apa saja yang ada di Malang, yuk simak penjelasannya.
Baca Juga: Mengenal Batik Malang Kucecwara, Sudah Ada Hak Patennya
1. Grebeg Tirto Aji
Grebeg Tirto Aji tidak kalah menariknya dengan berbagai tradisi lainnya, di mana ritual ini juga dilaksanakan oleh masyarakat adat Tengger di Malang. Upacara adat ini digelar untuk menyambut datangnya hari besar Yadya Kasada yang diperingati setiap hari ke-14 bulan Kasada.
Ritual ini diawali dengan mengarak jampana aneka buah dan sayur yang berasal dari hasil bumi masyarakat adat Tengger sampai pendopo Pemkab Malang.
Acara dilanjutkan dengan Tari Tujuh Bidadari sebagai simbol pengambilan air. Ritual ini dilaksanakan di Sendang Widodaren Wendit, di mana pada acara ini Bupati Malang akan mengambil air suci yang akan diberikan kepada warga dan disaksikan oleh ketua adat Suku Tengger.
Setelah acara pengambilan air suci selesai, dilanjutkan dengan prosesi syukuran yang ditandai dengan pembacaan doa untuk meminta kebaikan dan perlindungan. Warga juga memohon keberkahan serta kelancaran atas hasil tanaman selanjutnya.
Baca Juga: Parade Topeng Malangan di Kampung Topeng Tlogowaru Diwarnai Tampilnya Kesenian Jaranan
Acara ditutup dengan kemeriahan dan antusiasme masyarakat yang memperebutkan jempana buah dan sayur serta nasi tumpeng.
Dibalik ritual ini menyimpan makna yang mendalam. Selain wujud syukur masyarakat atas berkah yang diberikan Sang Pencipta, ritual ini juga untuk berbagi keberkahan dengan sesama masyarakat sekitar melalui jempana yang dibuat.
2. Entas-Entas
Tradisi Entas-Entas merupakan upacara adat yang menjadi bagian dari suku adat Tengger di Desa Tengger Ngada, yang terletak di daerah Poncokusumo Malang. Tradisi ini berlangsung sebagai bagian dari ritual upacara kematian untuk memperingati 1.000 hari masyarakat Tengger yang sudah meninggal.
Acara ini bermakna sebagai simbol untuk menyucikan arwah ruh leluhur yang sudah meninggal agar mendapatkan tempat yang lebih baik dan derajat yang lebih tinggi.
Baca Juga: Lestarikan Budaya Tionghoa, Universitas Ma Chung Gelar Festival Kampung Pecinan
Rangkaian tradisi Entas-Entas meliputi ngresik, mepek, mbeduduk, lukatan, dan bawahan. Tradisi berjalan dengan dipimpin seorang legen yang dibantu oleh dukun wanita (pedandan).
Acara akan berlangsung dengan menghadirkan arwah leluhur dalam bentuk boneka (petra) yang terbuat dari dedaunan dan bunga, selanjutnya “petra” tersebut akan disucikan oleh pemangku adat setempat.
3. Kirab Sesaji
Kirab sesaji merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan saat Tahun Baru Islam atau Satu Muharam. Tradisi ini sudah ada sejak zaman kerajaan, di mana ritual ini diperkenalkan oleh Sultan Agung raja Mataram Islam saat itu. Bagi masyarakat Jawa lebih mengenal tradisi ini dengan sebutan “satu suro”.
Di Malang sendiri mengenal tradisi ini dengan sebutan Kirab Sesaji. Acara berlangsung dengan mengelilingi Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang yang terletak di sekitar kawasan Gunung Kawi. Masyarakat yang berpartisipasi dalam ritual tersebut tak lupa untuk mengenakan pakaian adat Jawa.
Sambil berkeliling menggunakan pakaian adat Jawa, mereka membawa beragam sesaji yang dibawa menuju makam leluhur Eyang Djugo dan RM Iman Soedjono yang dimakamkan di Pesarean Gunung Kawi.
Setibanya di lokasi, pemimpin upacara ritual tersebut akan membacakan doa yang ditujukan untuk leluhur dan meminta keselamatan serta keberkahan bagi masyarakat sekitar.
Setelah menyelesaikan ritual dan doa, acara selanjutnya masyarakat sekitar memperebutkan gunungan yang berisikan berbagai aneka makanan dan tumpeng. Untuk memeriahkan acara, masyarakat juga membuat ogoh – ogoh raksasa kemudian dibakar.
Proses pembakaran ini menjadi simbol agar masyarakat dijauhkan dari segala macam marabahaya. Acara bertambah meriah karena masyarakat sekitar melakukan parade tarian tradisional.
Penulis: Rafida Tri Pitaloka (Magang)
Editor: Herlianto. A