Oleh: Irham Thoriq, CEO Tugu Media Group.
Tugumalang.id – Dalam sebuah diskusi, seorang mentor bilang bahwa teman lama adalah orang yang tidak boleh kita jauhi. Teman lama, kata dia, akan tetap menjadi teman meski kita sukses atau tidak sukses.
Dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita loncat dari teman satu ke teman yang lain. Mulai dari teman SMA, teman kuliah, teman kerja dan lain sebagainya. Awal-awal, jangkauan pertemanan kita besar, lalu semakin dewasa mengerucut menjadi kecil. Ini juga yang mungkin banyak dibahas di media sosial, bahwa semakin dewasa teman kita umumnya menjadi semakin kecil.
Mungkin, itu karena kita banyak meninggalkan teman lama kita. Kita larut dengan teman-teman baru kita, di lingkungan baru kita, lalu perlahan-lahan, mungkin tanpa sadar, meninggalkan teman lama kita. Atau mungkin, lupa say hello hanya untuk basa-basi.
Baca Juga: Rokok dan Lontong Sayur Kuswiyoto
Padahal, teman lama kita adalah cermin bagi diri kita. Yakni, cermin yang bisa mengoreksi kita, memberi masukan kita, dan mengukur diri kita, sudah seberapa jauh kita melangkah dan berkembang.
Pekan lalu, saya bertemu dengan beberapa teman lama. Salah satunya M. Yasin Arief, founder Sabda Perubahan. Ikut serta dalam obrolan itu, junior kita saat kuliah, yang juga teman saya, Pendiri Komunitas Gubuk Tulis Muiz Liddinillah, Owner Arkatama Naseh Khudori, dan lain-lain.
Yasin Arief adalah teman pertama kali mencari duit. Yakni, ketika kami berdua mendirikan kafe bernama Logos di belakang kampus UIN Malang. Dengan modal sekitar Rp5 juta, kami membuka kafe yang namanya begitu aktivis itu. Kami berjualan di tempat sempit, yang ketika siang hari, oleh pemilik tempatnya dijadikan berjualan es degan.
Baca Juga: Jeda
Yasin adalah sosok visioner dan imajinatif. Dia mendambakan kesuksesan dan kemakmuran. Bahkan, ketika kami membuka kafe Logos, dia membayangkan kafe kita ramai, dan orang berjajar-jajar untuk memesan ketan spesial, salah satu menu yang ada di kafe itu.
Belakangan, kafe tersebut hanya bertahan 6 bulan. Kemudian saya diterima sebagai wartawan di Jawa Pos Radar Malang, sedangkan Yasin ada kesibukan lain. Maka, kafe Logos harus tutup.
Kita mendirikan kafe itu murni alasan ekonomi. Kita sudah semester tujuh, dan belum ada tanda-tanda lulus. Ketika itu belum ngetren istilah founder seperti saat ini. Seandainya sudah ngetren, kita juga tidak bisa bergaya, karena saat itu kami berdua adalah founder sekaligus karyawan yang siang hari harus belanja, dan habis magrib mulai berjualan.
Hari pertama kami membuka kafe logos begitu banyak pembeli, karena di hari pertama kami gratiskan semua minuman. Di hari pertama itu jugalah, ada kejadian yang membuat terenyuh, yakni sumbangan dari salah senior kami sebesar Rp200 ribu.
Mungkin, sumbangan itu sebagai penyemangat kami. Senior itu adalah Prof Dr Muhtadi Ridwan, kini Ketua Senat UIN Maliki Malang. Ketika menyumbang kami sekitar 11 tahun silam itu, Abah Muhtadi belum guru besar.
Sumbangan dari Abah Muhtadi itu membuat antusiasme kami meningkat. Termasuk antusiasme Yasin. Antusias itu jugalah yang saya lihat dari dia saat kita bertemu pekan lalu, setelah beberapa bulan tak bertemu. Sama seperti antusias ketika sebelas tahun lalu kita merintis usaha pertama kita.
Begitulah teman lama, menurut saya adalah circle yang tidak boleh hilang dengan kita. Dari pertemuan dengan teman lama beberapa waktu lalu, saya menjadi sadar, bahwa hidup boleh naik dan turun, tapi antusiasme harus tetap menyala, sama seperti hari pertama kita masuk kerja, seperti hari pertama kita buka usaha, dan hari pertama kita menikah. Antusiasme harus ada dan berlipat ganda.
Btw, sudah berapa lama tidak mengubungi teman Anda? Tak harus bertemu, cukup say hello via telepon saja, sudah cukup.
Editor: Herlianto. A