MALANG, Tugumalang.id – Konflik agraria di Indonesia tak hanya terjadi di Rempang yang saat ini hangat diperbincangkan, tetapi juga terjadi di Malang. 10 ribu hektare lahan di Kabupaten Malang saat ini masih menjadi sengketa.
Konflik pertanahan di Kabupaten Malang ini telah berlangsung selama puluhan tahun dan hingga kini belum menemukan penyelesaian. Bahkan, ada konflik yang terjadi hingga tiga generasi.
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Malang telah melakukan riset mendalam di kurun waktu 2022-2023 terkait anatomi konflik agraria yang terjadi di Kabupaten Malang. Riset tersebut dilakukan untuk merumuskan upaya advokasi yang berkelanjutan terhadap konflik agraria ini.
Ketua KNPI Kabupaten Malang, Zulham Akhmad Mubarok, mengatakan bahwa secara umum, konflik agraria di Kabupaten Malang terbagi menjadi tiga kluster, yaitu sengketa antara tentara dengan rakyat, sengketa BUMN dengan rakyat, dan sengketa perusahaan pemilik Hak Guna Usaha (HGU) dengan rakyat.
Baca Juga: 17 Hektare Tanah Hutan di Kota Batu Dibagi-bagikan ke Warga
“Berbagai potensi pelanggaran HAM telah timbul tenggelam menyusul konflik agraria yang tak kunjung reda,” kata Zulham beberapa waktu lalu.
Beberapa bentuk pelanggaran HAM yang terjadi akibat konflik agraria ini adalah hilangnya enam warga Harjokuncaran dan bentrok TNI dengan rakyat.
Konflik Agraria dengan Tentara
Saat ini setidaknya terdapat 14 konflik agraria yang masih berlangsung di beberapa wilayah di Kabupaten Malang. Enam di antaranya merupakan konflik antara tentara dengan rakyat. Kemudian terdapat tujuh konflik antara BUMN dengan rakyat dan satu konflik antara perusahaan swasta dengan rakyat.
Salah satu konflik agraria yang memiliki sejarah panjang adalah sengketa tanah seluas 60 hektare antara rakyat dengan PUSKOPAD Kodam V Brawijaya di Desa Wonorejo Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Konflik ini telah berlangsung selama kurang lebih 60 tahun.
Menurut penuturan warga kepada KNPI Kabupaten Malang, pada tahun 1962-1963, tanah yang digarap oleh para petani dibeli oleh TNI AD untuk pembangunan tempat latihan militer. Namun, para petani tidak mendapatkan uang hasil pembelian tanah.
TNI AD menyatakan pihaknya telah memberikan ganti rugi kepada para petani di tahun 19601-an. Akan tetapi mereka tidak pernah melaporkan kembali kepemilikan tanah kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehingga tanah tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.
Konflik dengan BUMN
Konflik lainnya yang berlangsung lama adalah sengketa tanah perkebunan Kalibakar antara rakyat dengan PT Perkebunan Nusantara PTPN XII. Konflik ini telah berlangsung selama 26 tahun.
Perkebunan Kalibakar yang berada di Kecamatan Dampit, Ampelgading, Tirtoyudo, dan Donomulyo tersebut telah digarap oleh rakyat sejak pendudukan kolonial Jepang di Indonesia. Tanah ini kemudian dikuasai oleh negara yang mengambil alih hak erpfacht empat perkebunan milik Belanda.
Pada tahun 1986 PTPN XII mengajukan permohonan HGU atas kawasan hak erpfacht di empat area perkebunan bekas Belanda tersebut. Padahal, menurut rakyat, tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka yang dirampas oleh Belanda.
Resolusi konflik di perkebunan Kalibakar dimulai pada tahun 1997, namun hingga saat ini masih menemui jalan buntu.
Konflik dengan Pihak Swasta
Sementara itu, sengketa antara rakyat dengan pihak swasta, PT Wonokoyo Jaya Corporindo tengah berlangsung di Desa Majangtengah, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang. Kedua pihak memperebutkan tanah seluas 68 hektare eks HGU PT Margosuko.
Konflik ini terjadi karena PT Margosuko awalnya bekerja sama dengan masyarakat sejak tahun 2010. Namun di tahun 2019, kerja sama tersebut dihentikan karena lahan mereka dialihkan kepada PT Wonokoyo Jaya Corporindo. Pada saat peralihan ini, PT Margosuko tidak melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Konflik ini menyebabkan sejumlah warga dipidanakan oleh PT Wonokoyo Jaya Corporindo. Hingga saat ini, konflik ini masih belum menunjukkan tanda-tanda resolusi dari kedua pihak.
Zulham mengatakan pihak KNPI Kabupaten Malang berpendapat saat ini penting untuk memunculkan kembali ide reforma agraria dari bawah yang berasal dari kehendak rakyat. “Ini sebagai salah satu konsep untuk menghentikan dominasi kuasa tanah oleh negara,” ujarnya.
Menurutnya, melalui reforma agraria, petani akan mendapatkan kuasa atas tanah yang nantinya didistribusikan secara adil. Reforma agraria dari bawah lebih dekat dengan situasi dan kondisi materil rakyat sehingga mereka yang mengetahui seperti apa distribusi tanah yang adil.
Penelitian yang mereka lakukan ini dibuat sebagai dasar penyelesaian konflik melalui metodologi mediasi dengan win-win solution. “Tujuannya agar dapat dicapai solusi permanen terkait konflik pertanahan yang melibatkan TNI, BUMN, dan swasta dengan warga sebagai pemilik kedaulatan tertinggi sebuah negara demokrasi,” kata Zulham.
Ia mengatakan bahwa pihak KNPI Kabupaten Malang berkomitmen untuk mengawal proses reforma agraria ini dengan melakukn advokasi secara berkelanjutan. “Hal ini akan mungkin dilakukan dengan melibatkan unsur pemuda lokal dari setiap kecamatan yang berhimpun di PK KNPI setempat,” pungkasnya.
BACA JUGA: Berita tugumalang.id di Google News
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
editor: jatmiko